Selasa, 24 November 2009

PENGARUH PENGUASAAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF TERHADAP PENYELESAIAN SOAL PROBLEM SOLVING*)

Oleh: Anton Noornia**)


Abstrak

Berkisar dua dasawarsa ini perkembangan dalam psikologi bidang pendidikan berjalan cukup pesat. Salah satunya adalah berkembang konsep metakognisi yang pada intinya menggali pemikiran orang tentang berpikir ”thinking about thingking”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penguasaan kemampuan metakognitif oleh seseorang ternyata berpengaruh pada
kemampuannya akan problem solving matematika. Tentu saja ini menarik karena kemampuan problem solving matematika adalah kemampuan yang paling diharapkan dikuasai siswa setelah mereka belajar matematika. Tetapi ternyata di Indonesia pengetahuan tentang konsep metakognitif ini belum banyak dikaji, oleh sebab itu menarik untuk membahasnya agar hal ini menjadi perhatian dan membuka wawasan mengenai pentingnya kemampuan metakognitif dikuasai oleh siswa. Menurut sebuah penelitian menunjukkan siswa yang menguasai kemampuan metakognitif akan menjadi lebih berkemampuan dalam menghadapi permasalahan. Siswa juga akan memeroleh keuntungan terutama rasa percaya diri (confidence) dan menjadi lebih independen sebagai pebelajar, bahkan siswa yang berkemampuan rendah akan tetapi aktif belajar dengan proses metakognitif ternyata menjadi lebih mampu memecahkan permasalahan standard dibanding siswa yang sama yang tidak belajar dengan pengajaran metakognitif.



A. PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia patut dihargai, walaupun belum sepenuhnya memuaskan berbagai pihak. Pemerintah sedikit demi sedikit telah memberikan perhatian pada proses pendidikan dasar dan menengah dengan memberikan dana bantiuan operasional sekolah (BOS) per siswa, sehingga diharapkan sekolah tidak perlu lagi memungut dana masyarakat yang terlalu besar. Di sisi lain, pemerintah juga telah memberikan kebebasan yang lebih luas kepada sekolah untuk memenej adminstrasi sekolah
*) Disajikan pada Konferensi Matematika II dan Kongres Guru Matematika I di UPI 25 – 27 Agst 2007
**) Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
dengan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sedangkan di bidang materi pelajaran, melalui penetapan Kurikulum 2006 atau orang sering menyebutnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah telah memberi kebebasan pada guru dan sekolah untuk merancang sendiri penyajian materi, urutan dan proses pembelajarannya.
Bila melihat isi KTSP tidaklah terlalu banyak berbeda dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sebelumnya dicangkan akan diterapkan. Perbedaan mendasar hanyalah pada uraian kurikulum yang lebih simpel dan memberi ruang kepada guru untuk berimprovisasi dengan materi. Hal yang mendasar seperti tujuan belajar dari tiap materi tetaplah relatif sama. Kita ambil contoh matematika. Tujuan belajar matematika yang tertuang dalam kurikulum adalah sebagai berikut (Diknas, 2006).
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah .
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Tujuan ini tidak terlalu banyak berbeda dengan tujuan kurikulum bidang matematika sebelumnya. Ternyata isi kurikulum ini juga tidak terlalu berbeda dengan kurikulum di negara-negara lain, sebutlah Singapura yang kemampuan matematika siswanya dianggap telah lebih maju, dimana kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah (problem solving) menjadi tujuan utama dalam belajar matematika. Dalam tulisannya seorang peneliti bidang matematika di Singapura menyatakan (Foong. 2005) bahwa dalam kurikulum matematika di Singapura kini, kemampuan penyelesaian masalah merupakan tujuan dari proses belajar-mengajar matematika., seperti terlihat pada gambar di bawah ini





.




Selanjutnya Foong berpendapat (2002: 135) bahwa mengajar melalui pemberian masalah-masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun konsep matematika dan mengembangkan keterampilan matematikanya. Masalah akan mengarahkan siswa untuk menggunakan heuristik seperti untuk menyelidiki dan menggali pola sebaik mereka berpikir secara kritis. Untuk menyelesaikan masalah, murid harus mengamati, menghubungkan, bertanya, mencari alasan, dan mengambil kesimpulan. Keberhasilan dalam memecahkan masalah sangat erat hubungannya dengan tingkat kemampuan dan pengamatan seseorang terhadap proses berpikir siswa sendiri.
Untuk menguasai kemampuan problem solving matematika, ternyata seorang peserta didik dituntut untuk menguasai sekurang-kurangnya 5 aspek, seperti yang digambarkan oleh kurikulum matematika Singapura di atas, yaitu; kemampuan konsep matematika, kemampuan dalam menguasai skill algoritma matematika, kemampuan proses bermatematika, mampu bersikap yang positif terhadap matematika dan kemampuan metakognisi. Tiga aspek yang pertama umumnya telah dilakukan oleh guru kita di depan kelas. Aspek keempat yaitu sikap positif kini juga mulai banyak dimiliki siswa terutama dengan ditetapkannya matematika sebagai salah satu materi yang diujikan dalam UAN, dan juga munculnya bentuk kompetisi-kompetisi yang baik, seperti olimpiade tingkat nasional dan internasional disemua jenjang pendidikan, banyak memacu sekolah dan siswa untuk menguasai matematika.
Sejauh ini aspek yang belum banyak disentuh berkenaan dengan syarat penguasaan problem solving adalah aspek kemampuan metakognisi. Istilah ini memang asing bagi telinga sebagian besar guru. Bahkan mungkin banyak yang tidak mengetahui mengenai aspek kemampuan metakognisi, Apa sebenarnya metakognisi ini? Di luar negeri sendiri penelitian tentang metakognisi ini baru dimulai sekitar 1 atau 2 dekade terakhir. Walaupun istilahnya telah dimasukkan dalam kosakata psikologi pendidikan selama dua puluh tahun terakhir, masih saja terjadi debat berkenaan dengan apa metakognisi itu. Satu alasan yang menjadi kebingungan para ahli adalah fakta bahwa terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu fenomena yang sama (contoh self-regulation, executive control), atau suatu aspek dari fenomena itu (contoh, meta-memory), dan istilah ini sering digunakan dan dapat dipertukarkan dalam sebuah literatur berkaitan dengan arti metakognisi.
Menarik untuk dikaji lebih jauh, benarkah kemampuan ini berpengaruh terhadap kemampuan problem solving matematika siswa? Sejauh mana sumbangsih kemampuan metakognisi ini dalam proses problem solving matematika? Apakah jika kemampuan itu tidak dimiliki maka siswa akan sulit menyelesaikan problem solving matematika? Bagaimana tehnik mengajarkan kemampuan metakognitif oleh guru kepada siswa? Sejauhmana penelitian-penelitian telah mengembangkan kemampuan metakognitif ini, dan bagaimana hasilnya berkaitan dengan kemampuan problem solving matematika? Pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah menarik untuk dibahas, lewat pembahasan ini diharapkan akan membuka cakrawala kita mengenai salah satu aspek penting dalam meningkatkan kemampuan problem solving matematika siswa kita.
B. PERMASALAHAN
Permasalah yang diangkat dan dibahas pada tulisan ini adalah,
1. Apa sebenarnya metakognitif itu?
2. Bagaimana peran kemampuan metakognitif dalam meningkatkan kemampuan problem solving matematika siswa, didasarkan pada kajian hasil penelitian yang telah dilakukan?
3. Bagaimana strategi mengajarkan kemampuan metakognisis ini pada siswa?
C. PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih jauh mengenai metakognisi, terlebih dahulu akan membicarakan mengenai kedudukan problem solving dalam matematika. Menurut Gagne, sebenarnya kedudukan problem solving adalah sebagai objek tidak langsung dari belajar matematika. Gagne berpendapat (Bell. 1978: 108),
“ ... These objects of mathematics learning are those direct and indirect things which we want students to learn in mathematics. The direct objects of mathematics learning are facts, skills, concepts, and principles; some of the many indirects objects are transfer of learning, inquiry ability, problem solving ability, self-discpline, and appreciation for structure of mathematics. ...”
Penjelasan Gagne tadi jelas mengungkapkan bahwa problem solving dalam matematik adalah merupakan objek tidak langsung darii belajar mateatika. Itu berarti bahwa problem solving dalam matematika akan tumbuh sendirinya jika siswa belajar matematika dengan baik di dalam kelas. Tampaknya pandangan ini sekarang berubah, problem solving dalam matematika tidak lagi dipandang sebagai objek langsung. Kini penguasaan problem solving matematika tidak lagi menunggu untuk tumbuh dengan sendirinya di dalam diri siswa, akan tetapi banyak pendidik justru menjadikan problem solving matematika sebagai objek langsung yang harus dipelajari oleh siswa di dalam kelas. Hal ini seperti tergambar pada kurikulum Singapura di atas tadi. Kini para pendidik justru mengajarkan problem solving dalam matematika itu agar siswa mampu menghadapi tugas-tugas yang bersifat problem solving.
Ketika seseorang diihadapkan pada permasalahan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, maka dia harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelesaikannya. Terdapat empat aspek yang harus diperhatikan ketika seseorang berhadapan dengan problem solving, yaitu;(1) memahami masalah, (2) beragam pendekatan, dan (4) penyelesaian masalah, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah kreativitas. (Matlin, 2003: 360).
Dalam bukunya mengenai penyelesaian masalah, yaitu ‘How to solve it’ G. Polya menawarkan cara menyelesaikan sembarang masalah, tidak terkecuali matematika, yaitu dalam 4 langkah perencanaan (Houston, 2005: 18):
1. Understand the problem.(memahami masalah)
2. Devise a plan.(merancang/memikirkan rencana penyelesaian)
3. Execute the plan.(melaksanakan rencana)
4. Look back.(memeriksa kembali)
Selama memahami masalah banyak metode alternatif yang bisa diterapkan, misalnya dengan membuat gambar, tabel, diagram atau bagan untuk lebih memahami secara visual dari masalah yang diberikan. Masalah adalah konstruksi dari suatu penyajian internal Greeno menyatakan, bahwa memahami masalah memiliki 3 syarat yaitu: koheren, korespondensi dan hubungan dengan latar belakang pengetahuan (Matlin, 2005: 362).
Untuk membuat pendekatan terhadap masalah dapat digunakan beragam strategi, seperti algoritma, heuristik (aturan yang disepakati dalam pemecahan masalah, meliputi pencarian secara efektif, melihat proporsi ruang masalah yang lebih memungkinkan menghasilkan solusi), analogi (Matlin, 2005: 370–376). Sedangkan yang hal-hal yang mempengaruhi dalam memecahkan masalah oleh masing-masing individu adalah:
• Keahlian, apakah dia pemula atau expert
• Pengetahuan dasar
• Memori atau ingatan
• Kemampuan menyajikan pemikiran
• Ragam penguasaan pendekatan pemecahan masalah
• Elaborasi keadaan awal
• Kecepatan dan ketelitian
• Ketrampilan metakognitif
• Kesiapan mental
Bila kita melihat hal-hal yang mempengaruhi dalam memecahkan masalah, ternyata di dalamnya terdapat apa yang disebut keterampilan metakognitif. Apa sebenarnya kemampuan metakognitif itu?
“Metakognis" merupakan istilah terbaru di dalam psikologi pendidikan. Apa sebenarnya metakognisi itu? " Metakognisi " sering secara mudah didefinisikan sebagai "thinking about thinking." Walaupun istilahnya seperti sesuatu yang menakutkan akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Bila kita menyadari, sebenarnya selama beraktivitas dalam keseharian setiap orang selalu bekerja dengan metakognitifnya. Kesadaran akan keberadaan metakognisi memungkinkan seseorang berhasil sebagai pelajar, dan hal itu berkaitan kecerdasan atau inteligen. Mengetahui dan menyadari bagaimana kita belajar dan mengetahui strategi kerja mana yang terbaik adalah sebuah kecakapan berharga yang membedakan pebelajar ahli (expert learners) dari pebelajar pemula (novice learners).
Banyak para ahli yang menyatakan mengenai arti dari metakognitif ini. Ada yang berpendapat bahwa metakognisi atau kesadaran terhadap proses belajar adalah resep untuk keberhasilan dalam belajar (Winn, W. dan Snyder, D., 1996). Akan tetapi bila para ahli mendengar istilah metakognitif, mereka selalu mengaitkannya dengan pandangan Flavell (1979), dia mengatakan,
”Metacognition consists of both metacognitive knowledge and metacognitive experiences or regulation. Metacognitive knowledge refers to acquired knowledge about cognitive processes, knowledge that can be used to control cognitive processes”
.
Dalam pendangannya metakognisi itu berisi pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada bagaimana seseorang memeroleh pengetahuan tentang proses kognitif, yaitu pengetahuan yang dapat digunakan orang tersebut untuk mengontrol proses kognitifnya. Jadi jelas dalam hal ini metakognitif adalah sesuatu aktivitas abstrak, yang kasat mata dan terkadang tidak disadari telah dimiliki oleh seorang individu karena dia merupakan proses mental. Sedangkan pengalaman metakognitif adalah hasil langkah dan tahapan olah pikirnya selama ini dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya (regulation). Sementara itu Flavell (1979) lebih jauh mengatakan bahwa “metacognitive knowledge devide into three categories:. knowledge of person variables, task variables and strategy variables”.
Padangan lain terhadap metakognitif diajukan oleh Winn, W. & Snyder, D. (1996), yaitu bahwa
“Metacognition is an important concept in cognitive theory. It consists of two basic processes occurring simultaneously: monitoring your progress as you learn, and making changes and adapting your strategies if you perceive you are not doing so well”

Winn dan Snyder ingain menegaskan seperti halnya Flavell bahwa metakognisi merupakan konsep mental yang sangat penting dalam teori kognitif. Aktivitas metakognitif sebenarnya merupakan dua proses kognitif yang mendasar yang muncul pada saat bersamaan ketika seseorang memanfaatkannya, yaitu: memonitor peningkatan/kemajuanmu selagi seseorang itu belajar, dan pada saat yang sama seseorang itu juga membuat pengubahan dan adaptasi strateginya ketika dia merasa dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Jadi metakognisi adalah sesuatu yang berkenaan dengan refleksi diri, tanggungjawab pribadi dan inisiatip seperti halnya seseorang mempersiapkan tujuan dan memenej waktu dalam bekerjanya.
Banyak para ahli yang memperdebatkan arti dari metakognisi ini. Akan tetapi walaupun terdapat beberapa perbedaan antara definisi, semua pada prinsipnya menekankan pada sebuah peran metakognitif, yaitu proses eksekutif dan proses mengatur kognitif.(Livingston, 1997). Lebih jauh, ia dalam situsnya yang dia beri judul Metacognition: An Overview menyatakan bahwa,


“Metacognition refers to higher order thinking which involves active control over the cognitive processes engaged in learning. Activities such as planning how to approach a given learning task, monitoring comprehension, and evaluating progress toward the completion of a task are metacognitive in nature. …”

Livingston ingin mengatakan bahwa metakognisi mengacu pada berpikir tingkat tinggi yang merupakan proses kognitif yang dilibatkan secara aktif selama proses belajar. Aktivitas-aktivitas belajar seperti merencanakan bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap tugas yang diberikan, memonitor pengertian, mengevaluasi kemajuan ke arah penyelesaian tugas adalah merupakan kemampuan metakognitif yang alami. Oleh karena itu, ternyata metakognisi memain peranan yang sangat penting dalam kesuksesan belajar siswa. Mengembangkan kemampuan metakognitif ternyata penting sekali untuk mempelajari aktivitas dan belajar dan untuk membantu siswa menentukan bagaimana mereka dapat belajar lebih baik dalam memanfaatkan sumber daya kognitif mereka yaitu dengan cara mempertajam kemampuan metakognitifnya.
Sedangkan pendapat para ahli lain seperti Ridley, Schutz, Glanz & Weinstein (1992) mengenai kecakapan metakognisi adalah bahwa
"Metacognitive skills include taking conscious control of learning, planning and selecting strategies, monitoring the progress of learning, correcting errors, analyzing the effectiveness of learning strategies, and changing learning behaviors and strategies when necessary."

Pada prinsipnya jika dikaitkan dengan proses belajar, kemampuan metakognitif adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari tahap perencanaan, memilih strategi yang tepat sesuai masalah yang dihadapi, kemudian memonitor kemajuan dalm belajar dan secara bersamaan mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama memahami konsep, menganalisis keefektifan dari strategi yang dipilih. Dan bagian akhir sebagai bentuk upaya refleksi, biasanya seseorang yang memilki kemampuan metakognitif yang baik selalu mengubah kebiasaan belajar dan juga strateginya jika diperlukan, karena mungkin hal itu tidak cocok lagi dengan keadaan tuntutan lingkungannya.

1. Pengertian metakognisi dalam kedudukannya sebagai strategi berpikir
Seperti telah disebutkan di awal tadi bahwa mengetahui dan menyadari bagaimana kita belajar dan mengetahui strategi kerja mana yang terbaik adalah sebuah kecakapan berharga yang membedakan pebelajar ahli (expert learners) dari pebelajar pemula (novice learners). Bagaimana keduanya dibedakan adalah sebagai berikut (Ertmer, P.A. & Newby, T.J., 1996).
“Novice Learners don't stop to evaluate their comprehension of the material. They generally don't examine the quality of their work or stop to make revisions as they go along. Satisfied with just scratching the surface, novice learners don't attempt to examine a problem in depth. They don't make connections or see the relevance of the material in their lives. Expert learners are "more aware than novices of when they need to check for errors, why they fail to comprehend, and how they need to redirect their efforts."
Artinya kurang lebih, bahwa seorang pebelajar pemula (Novice Learners) tidak terbiasa mengevaluasi pengertian mereka terhadap materi. Mereka biasanya tidak menguji kualitas pekerjaan mereka atau berhenti untuk membuat perbaikan selama mereka bekerja. Cukup merasa nyaman hanya dengan membahas masalah di permukaannya saja, novice learners tidak mencoba untuk menguji masalah lebih dalam. Mereka tidak membuat hubungan atau melihat relevansi dari materi dengan kehidupan nyata mereka. Sedangkan Pebelajar Ahli (Expert Learners) lebih peduli/sadar dibandingkan novices learners, dimana mereka selalu butuh mengecek setiap kesalahan yang mungkin dibuat, bertanya mengapa mereka gagal memperoleh kemajuan/mendapatkan hasil, dan bagaimana mereka butuh mengalihkan tujuan dari usaha yang telah dilakukan.
Blakey and Spence (1990) (Schafersman, 1991) menggambarkan tehnik untuk memfasilitasi metakognisi atau "thinking about thinking. (berpikir tentang berpikir)” adalah sebagai berikut,
“Citing the educational value of student-owned learning, the authors suggest that thinking about one's own behavior is the first step towards directing that behavior and learning how to learn. The strategies they discuss as a means to developing metacognition include: "identifying 'what you know' and 'what you don't know'"; "talking about thinking"; "keeping a journal"; "planning and self-regulation"; "debriefing the thinking process"; and "self-evaluation."”

Mereka bependapat bahwa nilai pendidikan, dari sebuah proses belajar belajar siswa sendiri, diartikan bahwa memikirkan tingkah laku diri sendiri adalah langkah pertama yang mengarah ke arah kepada tingkah laku belajar dan belajar bagaimana belajar. Suatu strategi yang mereka diskusikan sebagai sebuah arti bagi pengembangan metakognisi, termasuk di dalamnya: "mengidentifikasi 'Apa yang kamu tahu' dan 'Apa yang kamu tidak tahu'"; "bicara tentang berpikir"; "mengembangkan atau membuat jurnal"; "merencanakan dan regulasi diri"; "debriefing (bertanya kembali untuk memperoleh informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan untuk melengkapi) proses berpikir"; dan "evaluasi diri."
Jadi dalam hal ini metakognisi dikembangkan melalui proses berpikir seseorang berkenaan dengan tingkah laku yang dilakukannya. Mengembangkan metakognisi pada dasarnya adalah meningkatkan proses berpiikir seseorang dalam rangka mengontrol apa yang dipikirkannya, apa yang dikerjakannya itu, berkenaan dengan tugas yang diberikan, telah memenuhi tuntutan yang diminta dari tugas tersebut atau belum. Hal itu dapat dilakukan selama dia bekerja atau setelah selesai mengerjakan sebuah tugas, dan hal ini dapat dilakukan dengan menuliskan jurnal.
Kaitan antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis (critical thingking). Schafersman (1991) berpendapat bahwa “Critical thinking means correct thinking in the pursuit of relevant and reliable knowledge about the world. Another way to describe it is reasonable, reflective, responsible, and skillful thinking that is focused on deciding what to believe or do”. Jadi pemikiran kritis berarti berpikir dengan benar dalam rangka pencarian pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang sesuatu di sekitar kita. Cara yang lain untuk mengartikannya berpikir kritis adalah masuk akal (reasonable), reflektif, berbertanggung jawab, dan berpikir cakap dan terampil yang kesemuanya itu dipusatkan untuk memutuskan apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Lebih lanjut Schafersman (1991) menyatakan Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang relevan, secara efisien dan kreatif mereka menyusun dan berbuat melalui informasi yang dikumpulkannya itu, bernalar secara logika berdasar informasi, dan datang dengan kesimpulan yang reliabel dan dapat dipercaya tentang lingkungan yang memungkinkannya tinggal dan berhasil di dalamnya. Pemikiran kritis bukanlah kemampuan berpikir biasa, yaitu berpikir yang tidak sekedar mampu memproses informasi, seperti misalnya mengetahui tanda lampu mereah adalah untuk berhenti atau mampu mengetahui besarnya jumlah uang kembalian dari kasir supermarket. Kemampuan berpikir kritis yang benar adalah berpikir tingkat tinggi (higher-order thingking), yang memungkinkan seseorang untuk hal-hal yang global, luas dan analitis, sehingga dengan berpikir kritis memungkinkan seseorang menjadi individu yang lebih bertanggung jawab
Anak-Anak tentu saja tidak memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk berpikir kritis, mereka pun belum mampu mengembangkannya kemampuan ini secara alami. Pemikiran kritis adalah suatu kemampuan belajar yang harus dipelajari. Kebanyakan individu tidak pernah mempelajarinya secara sengaja. Pemikiran kritis tidak bisa diajarkan dengan mempercayakan kepada siswa sebaya atau oleh kebanyakan orang tua menyampaikannya. Diperlukan instruktur yang berpengetahuan tentang berpikir kritis itu, dan mereka terlatih dalam menyampaikan ketrampilan dan informasi yang sesuai dalam berpikir kritis. Para instruktur atau guru matematika dan ilmu pengetahuan alam atau sains, umumnya adalah orang-orang tepat dalam mengajarkan dan dianggap memiliki informasi dan ketrampilan ini.
“Critical thinking is the ability to think for one's self and reliably and responsibly make those decisions that affect one's life. Critical thinking is also critical inquiry, so such critical thinkers investigate problems, ask questions, pose new answers that challenge the status quo, discover new information that can be used for good or ill, …” (Schafersman, 1991)

Pemikiran kritis adalah kemampuan untuk berpikir bagi dirinya sendiri, dengan kemampuan itu seseorang menjadi percaya diri dan bertanggung jawab dalam membuat keputusan yang mempengaruhi kerjanya. Pemikiran kritis adalah juga inkuiri yang kritis, seperti halnya berpikir kritis dalam menyelidiki permasalahan, itu berarti kritis dalam bertanya, kritis dalam bersikap terhadap jawaban lain yang menantangan sebagai sesuatu yang belum pasti benar salahn ya (status quo), dan juga kritis terhadap informasi baru yang dapat digunakan untuk sesuatu yang baik atau jelek.
Berikut dinyatakan beberapa sifat dan karakteristik seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang disampaikan oleh Raymond S. Nickerson (Schafersman, 1997), terjemahan beberapa di antaranya adalah:
• menggunakan bukti dengan terampil dan seimbang
• mengorganisir pemikiran dan mengartikulasikannya dengan singkat dan dengan jelas
• memahami perbedaan antara memberi alasan/menalar dan merasional-kan
• memahami gagasan pada derajat/tingkat kepercayaan tertentu
• berusaha untuk mengantisipasi konsekwensi tindakan alternatif yang mungkin
• dapat belajar independen dan memiliki kerpercayaan dalam melaksana-kannya
• menerapkan teknik dan strategi pemecahkan masalah dalam menyelesai-kan materi apapun
• dapat membangun sebuah permasalahan yang disajikan secara informal ke dalam bentuk yang formal, seperti matematika, dan sekaligus dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah.
• terbiasa mempertanyakan pendapatnya sendiri dan berusaha untuk memahami pandangan/asumsinya secara kritis juga implikasi dari pandangannya itu
• mengenali kemungkinan yang keliru dari pendapatnya sendiri, mengenali kemungkinan penyimpangan yang mungkiun dari pendapatnya, dan menyadari bahaya pada bukti menurut pilihan pribadi
• menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas
Semua kemampuan di atas tidaklah dapat dikuasai seseorang tanpa dia sendiri menyadari akan kemampuan dirinya. Seseorang yang memiliki kemampuan menyadari kemampuan diri dan sekaligus dapat mengontrolnya, dapat dikatakan seseorang tersebut memiliki kemampuan metakognitif.

2. Apa yang menyebabkan seseorang memiliki kemampuan metakognitif
Seperti telah diuraikan bahwa kemampuan kognitif dapat dipelajari seseorang dengan bantuan instruktur yang ahli dan mengenrti bagaiamana cara mengembangkan kemampuan metakognitif melalui proses berpikir kritis. Akan tetapi untuk anak-anak berusia muda, umumnya mereka tidak cukup hanya diajarkan oleh instruktur yang berpengalaman dalam mengembangkan kemampuan metakognitif ini, mereka juga harus cukup matang kognitifnya untuk siap menerima bentuk proses kognitif yang tinggi ini. Sehingga pada walnya mereka mungkin hanya menguasai dasarnya saja dalam menguasai ketrampilan ini. Hal ini juga diungkapkan pula oleh Brown, Armbruster, & Baker, 1984; Brown, Day, & Jones, (1983) dalam buku mengenai metakognitif yang tersedia secara on line sebagai berikut.
“Young children possess only the beginnings of metacognitive and cognitive skills. They are able to direct their attention (the beginning of a metacognitive skill) but they lack other sophisticated skills needed to integrate higher order thought processes. In contrast, mature thinkers and strategy users possess a wide variety of higher-order, goal-specific, monitoring skills, in addition to factual and rocedural knowledge to which they can apply these thinking skills”


Anak-Anak yang masih kecil hanya mampu menguasai kemampuan ketrerampilan awal dari kognitif dan metakognitif. Mereka sudah mampu mengarahkan perhatian mereka (sebagai suatu awal dari keterampilan metakognitif), akan tetapi mereka kurang menguasai ketrampilan canggih yang lain yang diperlukan untuk mengintegrasikan proses berpikir tingkat tinggi. Sebaliknya, siswa yang lebih dewasa dan pengguna strategi memiliki suatu variasi tingkat tinggi yang lebih luas, tujuan yang lebih spesifik, keterampilan memonitor, sebagai tambahan pengetahuan faktual dan prosedural yang mereka dapat terapkandalam keterampilan berpikir.
Oleh karena itu, dengan adanya tambahan kemampuan dalam memahami dengan baik strategi yang lebih luas, pelajar dewasa juga dapat mengetahui kapan, dimana, dan bagaimana cara menerapkan strategi dan pengetahuan mereka. Mereka mengembangkan ketrampilan ini melalui perolehan dan strategi overlearning (belajar yang lebih jauh dan mendalam) dan penggunaannya dikombinasikan dengan pengetahuan yang senantiasa ditingkatkan. Saat ini pengetahuan tentang pengembangan kognitif dan ketrampilan metakognitif baru mulai ke berkembang. Sebagai pengetahuan yang meluas, satu cara cara yang lebih efektif untuk melatih berpikir ketrampilan metakognitif, adalah ketika belajar di dalam kelas. (Pressley & Levin, 1983a, 1983b; Pressley, 1986; Pressley, Borkowski, & Schneider, 1987)
Teori Kognitif dan metakognitif secara mendasar berakar pada konstruktivisme, termasuk di dalamnya ide dari Piaget,dan dalam pandangan kontemporer dari sains kognitif dan pemrosessan informasi. Satu alasan berkembangnya operasional formal pada seorang pebelajar dewasa adalah bahwa mereka lebih berkemampuan dibandingkan anak-anak yang lebih muda pada penggunkaan kemampuan metakognisi yang tepat, terutama untuk mangasimilasi dan mengakomodasi informasi. Sudah barang tentu, pebelajar dewasa memeroleh kemampuan metakognitif tingkat tinggi ini menlalui proses bertahap dari asimilasi dan akomodasi seperti ketika mereka meningkat dari tahap sensorimotor ke tahap operasional formal..
Sepanjang hidupnya, seorang pemikir yang sukses sudah mengembangkan banyak keterampilan berpikir. Akan tetapi banyak juga pelajar mampu mengembangkan ketrampilan berpikir efektif "automatically" melalui berpikir mengenai permasalahan pada tingkatan masalah dengan kompleksitas yang sesuai dengan kemampuannya. Sehingga baru-baru ini, perhatian sedikit lebih spesifik telah ditujukan kepada pengajaran metakognitif atau ketrampilan pemikiran lain. Hal ini dikarenakan sejumlah besar pebelajar, terutama yang memiliki masalah di sekolah, telah melakukan strategi yang tidak efektip dalam rangka mengambangkan kemampuan berpikirnya, sudah barang tentu sebagai akibatnya fokus lebih besar kini dialamatkan kepada bagaimana cara memberi pengajaran ketrampilan berpikir yang baik dan benar sehingga akan lebih produktif.
Jika seorang pebelajar akan menggunakan kemampuan kognitif dan strategi kognitif yang efektif, mereka harus memiliki kecakapan seperti yang diungkapkan Garner berikut ini, seperti yang tertulis dalam buku on line yang berjudul Teaching Thinking Skills.
1. Mereka harus dapat memonitor proses kognitif mereka.
2. Mereka harus menentang menggunakan strategi primitif yang dengan pemikiran dangkal dalam melaksanakan pekerjaan
3. Mereka harus memiliki pengetahuan dasar yang memadai..
4. Mereka harus menyiapkan sekumpulan tujuan dan membuat atribut-atribut yang mendorong penggunaan strategi kognitif .
5. Mereka harus mentransfer strategi berpikir untuk situasi yang baru yang mana mereka akan gu akan dengan tepat.
3. Ragam strategi metakognitif dalam Problem Solving
Bila kita ingin melihat beragam strategi metakognitif yang bisa dilakukan siswa, maka kita dapat mengkajinya melalui tahapan-tahapan kerja dalam penyelesaian masalah. Kemampuan problem solving atau pemecahan masalah telah banyak menjadi tujuan belajar matematika di hampir semua negara di dunia. Penguasaan terkadap kemampuan ini sekarang menjadi kecakapan yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan hidup di masa-masa yang akan datang. Kemampuan mengontrol berpikir diri sendiri ini juga ada dalam tiap tahapan dalam problem solving. Pada tiap tahap dalam menyelesaikan masalah siswa harus memonitor berpikirnya sekaligus membuat keputusan-keputusan dalam melaksanakan tahapan yang dipilihnya itu agar masalah dapat terselesaikan dengan baik bahkan pada tahap akhir, siswa harus mempertanyakan kembali atas jawaban yang dibuatnya apakah jawabannya benar-benar telah sesuai dan apakah memungkinkan ada cara lain yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah yang diberikan itu. Uraian ragam kemampuan metakognitif dalam tiap tahapan penyelesaian masalah asdalah sebagai berikut. (Pugalee, 2004)
• Tahap Orientasi: meliputi strategi pengertian, analisa informasi dan kondisi-kondisi, penilaian kefamiliaran dengan suatu tugas awal dan penyajiannya kemudian, penilaian kesukaran masalah dan harapan untuk berhasil, diawali dengan siswa mencoba untuk menjadi terbiasa dengan situasi masalah. Perilaku metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi;
 reading/rereading
 pengenalan dan penyajian bagian-bagian,
 analisa kondisi-kondisi dan informasi, dan
 penilaian terhadap tingkat kesukaran soal
• Tahap Organisasi: meliputi identifikasi sasaran antara dan tujuan utama, perencanaan global, dan perencanaan lokal diperlukan guna menyelesaikan rencana global. Perilaku metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi,
 identifikasi sasaran antara dan utama/akhir,
 membuat dan menerapkan rencana global, dan
 organisasi data. Perilaku umum seperti ini membantu siswa dalam pemahaman bagaimana informasi pada masalah berhubungan dengan tugas pemecahan masalah, mencakup perumusan tujuan dan rencana.
• Tahap Execution: meliputi capaian tindakan lokal, monitoring kemajuan rencana global dan lokal, dan membuat keputusan. Perilaku Metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi;
 mengadakan tujuan lokal,
 membuat kalkulasi,
 monitoring tujuan dan
 pengalihan rencana
• Tahap Verifikasi: meliputi evaluasi keputusan dan hasil rencana yang dieksekusi. Peneliti menentukan bahwa empat kategori perilaku ini berdampak pada performance penyelesaian suatu tugas mathematika yang luas. Perilaku metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi;
 keputusan mengevaluasi dan
 keputusan hasil.

4. Ragam dan hasil kajian mengenai Metakognitif
Penelitian mengenai pengaruh penguasaan kemampuan metakognitif terhadap peningkatan kemampuan problem solving matematika telah cukup banyak dilakukan.
a. Ditinjau dari kedudukan guru dalam meningkatkan kemampuan metakognitif siswa
Kedudukan guru dalam meningkatkan kemampuan metakognitis siswanya sangatlah penting. Guru dapat bertindak sebagai fasilitator yang memberikan arahan dan bimbingan melalui pertanyaan-pertanyaan menggiring, sehingga siswa menyadari akan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Sejak akhir 1970, metakognisi memperoleh banyak perhatian dalam literatur pendidikan. Swanson mendefinisikan metakognisi sebagai “…the knowledge and control one has over’s thingking and learning activities. …” (Kramarski et. al.,2002; 225). Pada sekitar akhir abad ke 20 Schoenfeld, Mayer (1987); Lester, Garofalio dan Kroll (1989); Cardel-Elawar (1995); serta Kramarski dan Mevarech, (1997) telah memulai mendisain metode pengajaran yang berbasis pada melatih siswa untuk mengaktifkan proses metakognitif selama penyelesaikan tugas matematika. (Kramarski et. al., 2002: 226). Bentuk ini kemudian dikenal dengan pengajaran metakognitif.
Elemen umum yang utama dari pengajaran metakognitif adalah melatih siswa yang bekerja dalam kelompok kecil untuk mampu beralasan secara matematika seperti merumuskan dan menjawab serangkaian pertanyaan metakognitif yang ditujukan pada diri sendiri (Kramarski et. al., 2002: 228). Pertanyaan ini difokuskan pada:
(a) comprehending the problem, (contoh, Bicara tentang apa soal yang sedang dihadapi ini sebenarnya?);
(b) membangun connections (hubungan) antara pengetahuan lama dan baru (contoh, Apa perbedaan atau persamaan antara soal yang sedang ditangani dengan soal yang pernah kamu selesaikan? dan mengapa?);
(c) menggunakan strategi yang tepat untuk menyelesaikan soal (Strategi/ taktik/prinsip apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan soal? Dan mengapa?);
(d) reflecting pada proses dan penyelesaian (contoh, Kesalahan apa yang telah saya lakukan di sini? Atau Apakah penyelesaiannya masuk akal?).
Hal yang menarik adalah bahwa dalam kebanyakan penelitian seperti Schoenfeld (1987), Kramarski dan Mevarech (1997), dan van Hoek, den Eden dan Terwel (1999), pengajaran matekognitif dikerjakan dalam setting kooperatif dimana sejumlah kecil siswa 4 – 6 orang belajar bersama. Pendekatan kooperatif-metakognitif didasarkan pada teori kognitif dalam belajar yang menekankan pentingnya peran elaborasi dalam membangun pengetahuan baru. Penerapan pengajaran metakognitif dalan setting belajar kooperatif dapat menyajikan kondisi yang tepat untuk siswa mengelaborasi penalaran matematika mereka (Kramarski et al. 2002).
Tampak jelas bahwa peran guru dalam mengembangkan kemampuan metakognitif siswa sangatlah penting. Tidak hanya mengembangkan pengajaran metakognitif, pada beberapa penelitian guru juga didorong untuk menerapkan strategi dalam belajar-mengajarnya, sehingga strategi yang diterapkannya dapat memacu munculnya kemampuan metakognitif siswa. Seperti penelitian yang dilakukan Lobato dan Clarke (2005: 102) yang memperlihatkan bagaimana pembelajaran yang memungkinkan guru cukup banyak berbicara ketika mengajar ternyata mampu meningkatkan pemahaman siswa akan konsep yang disajikan. Akan tetapi dalam hal berbicara banyak ini, berbicara yang dimaksud adalah berbicara yang lebih menekankan pada 3 hal,
1) Dalam hal sebuah fungsi berbicara (yang mana melibatkan perhatian kepada niat (intention) guru, sesuatu yang alamiah dari kegiatan mengajar, dan interpretasi siswa terhadap kegiatan mengajar/belajar) dibanding suatu bentuk dari aksi komunikatif guru.
2) Dalam hal konseptual dari apa yang dibicarakan dibanding prosedural isi dari informasi baru.
3) Dalam hal suatu hubungan terhadap aksi yang lain dibanding sebagai sebuah aksi terisolasi. Reformulasi ini menyelesaikan kembali beberapa perhatian dalam mengajar sebagai suatu kegiatan TELLING, dan membantu menetapkan legitimasi dari penyajian informasi baru dengan perspektif konstruktivis pada belajar.
b. Beberapa hasil penelitian
Beberapa penelitian menunjukkan, apabila siswa diberi kesempatan dan latihan untuk mengembangkan kemampuan metakognitif, maka mereka akan menjadi penyelesai soal yang baik. Karena mereka menjadi memiliki kemampuan mengidentifikasi proses berpikirnya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Oleh karena itu, Memberikan siswa cara dimana mereka dapat memonitor belajar dan proses berpikir mereka sendiri dapat menjadi sesuatu yang efektif dalam membantu mereka menjadi penyelesai masalah yang lebih baik dan akhirnya menjadi pemikir yang lebih baik untuk setiap tugas matematika. Menurut Schraw (1998) Mempromosikan metakognisi mulai dengan membangunan suatu kesadaran berpikir di antara pelajar bahwa metakognisi itu ada, akan sangat membantu dalam menjadikan siswa menjadi lebih dasar dan peduli akan kemampuan yang dimilikinya, dan ini tentu sedikit berbeda dengan kognisi dan pengaruh sukses akademis. Jadi memang langkah pertama untuk mencapai pengertian yang mendalam terhadap mental model kita sendiri sederhananya adalah menjadi individu yang sadar akan proses berpikirnya sendiri (Gartmann, Freiberg. 1998; Panoura, Phillipou. 2005)
Menuliskan apa yang dipikirkan dan respon-respon yang muncul selama menyelesaikan tugas-tugas matematika ternyata sangat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah selanjutnya. Hal ini disebabkan dengan melihat-lihat kembali proses berpikirnya melalui catatan yang dibuatnya sangat mambantu siswa untuk melihat bermacam alternatif pendekatan dalam menyelesaikan tugasnya. Guru perlu menyadarkan siswa, bahwa lewat menuliskan apa yang dipikirkan selama menyelesaikan tugas ternyata sangat memungkinkan untuk mereka mendapatkan dan mencari alternatif jawaban lain. Hal ini sejalan dengan hasil kesimpulan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa para siswa yang menuliskan proses memecahkan masalah mereka, menghasilkan solusi benar yang lebih tinggi secara statistik dibanding siswa yang menggu-nakan think-aloud proses. Di sisi lain ternyata terdapat hubungan antara keberhasilan siswa dalam menyelesaaikan soal semacam problem solving yang memiliki beragam alternatif cara menjawab dibandingkan jenis soal yang sedikit memiliki kemungkinan cara menjawab (Gartmann, Freiberg. 1998; Pugalee. 2004).
Sebaliknya penelitian juga memperlihatkan, bila siswa nampak tidak acuh pada ketidakberhasilan/ketakefektifan terhadap semua strategi yang digunakanya. Niscaya siswa tersebut atau pun kita tidak akan dapat meningkatkan capaiannya. Pelajar yang trampil di dalam metakognitif, mengukur-diri dan, oleh karena itu, sadar akan kemampuan mereka akan melakukan pikiran secara strategis lebih baik daripada mereka yang tidak acuh pada pada kerja sistem mental mereka sendiri (Panaoura, Philipou, 2005).
Strategi atau pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru juga mengisyaratkan dapat memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan dan melatih kemampuan kognitifnya. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang menyimpulkan bahwa nilai dari ekspresi verbal dalam membantu memperjelas berpikir. Hal itu bisa terjadi ketika mereka bekerja dalam kelompok, seperti belajar kooperatif, membuat log atau jurnal, dan menulis laporan. Hal ini didukung oleh penelitian lain yang menempelkan pengajaran metakognitif pada proses belajar yang menerapkan pendekatan belajar kelompok kooperatif. Hasilnya siswa yang berkemampuan rendah akan tetapi aktif belajar dengan proses metakognitif ternyata menjadi lebih mampu memecahkan permasalahan standard dibanding siswa yang sama yang tidak belajar dengan pengajaran metakognitif. (Gartmann, Freiberg. 1998; Kramarski et. al., 2002)
Mengutip Scrhraw (2000) Panaoura berpendapat bahwa kebanyakan peneliti setuju bahwa metakognisi adalah bangunan yang sangat penting untuk belajar, tetapi sangat sulit diukur. Utamanya hubungan permasalahan dengan metakognisi adalah menemukan cara untuk merekam dan membuat tersedianya sebuah pemikiran metakognitif lain. Mengidentifikasi dan mengukur metakognisi keduanya yang sekarang ini lebih dipercayakan pada penafsiran subjektif peneliti dalam mengukur mengenai apa kognitif dan metakognitif. Dimana niscaya tidaklah mudah untuk para siswa yang sangat muda untuk menyatakan pemikiran mereka tentang sistem kognitif mereka dan kemampuan kognitif mereka. Kita mendukung pandangan bahwa dalam usaha kita untuk mengukur kemampuan metakognitif, adalah sangat mungkin kita mencampuri proses metakognitif siswa selagi mereka sedang sibuk berpikir dengan keras memikirkan sistem kognitif mereka sendiri. Oleh sebab itu harus terus diupayakan untuk menemukan cara dalam rangka mengevaluasi dan menemukan bagaimana sebenarnya, terutama siswa-siswa yang masih muda, mereka berpikir dalam rangka menyelesaikan tugas matematika. Menuliskan apa yang dipikirkan bisa merupakan suatu alat untuk pendukung suatu kerangka metacognitive dan bahwa proses ini jadi lebih efektif dibanding penggunaan proses think-aloud. Siswa yang membangun dan menuliskan rencana global terlebih dahulu memungkinkan untuk mencapai keberhasilan dalam memecahkan masalah dimana rencana itu dinyatakan atau termasuk dalam uraian dari proses memecahkan masalah mereka. Jadi memang masih sangat terbuka penelitian yang menggali pengetahuan tentang pemanfaatan kemampuan metakognitif oleh siswa dalam melakukan aktivitas keseharian, terutama ketika mereka berhadapan dengan soal-soal problem solving.
Melihat keunggulan dari penguasaan kemampuan metakognitif terhadap kemampuan dalam problem solving matematika berdasar hasil-hasil penelitian, sudah barang tentu kemampuan ini perlu dikuasai oleh siswa. Siswa yang menguasai kemampuan metakognitif akan menjadi lebih berkemampuan dalam menghadapi permasalahan. Siswa juga akan memeroleh keuntungan terutama rasa percaya diri (confidence) dan menjadi lebih independen sebagai pebelajar. Kemandirian seperti ini akan mengarah pada kesadaran akan ownership (kepemilikan), akibatnya siswa dapat mengejar kebutuhan intelektual mereka sendiri dan menemukan bahwa informasi dunia bisa beraada dalam genggamannya. Adalah tugas pendidik untuk mengakui keberadaan, menanamkan, memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan metakognitif dari semua siswanya.
Sebuah situs menuliskan bagimana efek membelajarkan kemampuan metakognitif pada siswa akan menjadikan mereka:
Pebelajar yang dikembangkan dengan baik secara metakognitif:
• Percaya bahwa mereka dapatg belajar (Are confident that they can learn).
• Membuat ukuran akurat terhadap pertanyaan Mengapa mereka berhasil dalam belajar?. (Make accurate assessments of why they succeed in learning)
• Berpikir jernih mengenai ketidaktepatan ketika kegagalan muncul selama menyelesaikan tugas (Think clearly about inaccuracies when failure occurs during tasks)
• Mereka secara aktip mencari untuk memperluas daftar ragam/literatur mengenai strategi belajar (Actively seek to expand their repertoire of strategies for learning)
• Mencocokkan strategi dengan tugas belajar, membuat penyesuaian ketika diperlukan (Match strategies to the learning task, making adjustments when necessary.)
• Bertanya untuk memperoleh bimbingan pada teman sebaya atau guru. (Ask for guidance from peers or the teacher)
• Mengambil waktu untuk berpikir mengenai apa yang mereka pikirkan (Take time to think about their own thinking)
• Memandang diri sendiri sebagai pebelajar dan pemikir terus-menerus. (View themselves as continual learners and thinkers) (http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/learning/lr1metp.htm)
Tentu saja menjadikan siswa memiliki kemampuan metakognitif bukanlah hal yang sederhana. Tetapi karena besar manfaatnya bagi siswa dalam mencapai kemampuan problem solving matematika, maka hal ini layak untuk dicoba. Cara mengajarkan dan melatihkan kemampuan metakognitif ini dikenal dengan istilah CSI (Cognitive Strategy Instruction). CSI adalah sebuah pendekatan pengajaran yang menekankan pada pengembangan kecakapan dan proses berpikir sebagai sebuah arti untuk meningkatkan belajar. Tujuan dari CSI adalah untuk memungkinkan semua siswa untuk menjadi lebih strategis dalam belajar terutama dalam menyelesaikan soal problem solving matematika, meyakinkan diri, fleksibel, dan produktif dalam perolehan belajarnya (Scheid, 1993). Halpern (Livingston. 1997) dalam tulisannya menyebutkan CSI didasarkan pada sebuah asumsi bahwa terdapat strategi kognitif yang dapat diidentifikasi, yang sebelumnya dipercaya digunakan hanya oleh siswa yang terbaik dan terpandai tapi sebenarnya dapat juga dipikirkan juga oleh kebanyakan siswa. Penggunaan strategi ini telah dihubungkan dengan keberhasilan belajar (Borkowski, Carr, & Pressley, 1987; Garner, 1990).
Strategi metakognitif harus langsung diajarkan kepada siswa setelah siswa memperoleh sebuah pemahaman terhadap konsep atau kemampuan matematika. Guru dapat menjadi model bagi siswa untuk mengembangkan strategi kognitif ini, dan ini biasanya sangat efektif untuk meyakinkan siswa dapat mengerti bagaimana itu bekerja, bagaimana menggunakannya, dan dalam keadaan bagaimana itu harus digunakan. memberi kesempatan siswa untuk berlatih menggunakan strategi metakognitif adalah juga komponen yang sangat penting dari pengajaran strategi metakognitif. Selain itu membuat poster-poster mengenai beragam strategi metakognitif yang ditempelkan di dinding kelas juga akan sangat membantu untuk menyajikan isyarat visual. Strategi ini selain dapat ditempatkan pada dinding kelas atau papan buletin; strategi ini dapat juga ditulis pada buku individu siswa.
Berikut beberapa tips penting untuk guru yang ingin mengimplementasikan strategi metakognitif pada siswa di kelasnya.
1. Strategi harus diimplementasikan setelah siswa memperoleh pengertian/pemahaman mengenai konsep atau skill.
2. Strategi harus diajarkan menggunakan pengajaran secara sistematik yang jelas.
3. Strategi harus memberi siswa kesempatan berlatih secara mandiri, dimana, pada gilirannya, mereka akan membangun secara lancar dan menguasai kecakanan itu secara mandiri.
4. Strategi terutama akan sangat membantu untuk siswa yang memiliki kesulitan bergerak dari sebuah level pemahaman representasional ke level pemahaman abstrak karena strategi itu mengharuskan siswa secara independen melatih pemecahan masalah pada level abstrak. Melakukan pengulangan kerja sering dibutuhkan siswa untuk menetapkan sebuah kerja memorinya terhadap konsep atau skill yang sedang dipelajari.
5. Siswa menggunakan dan menampilkan sesuatu menggunakan strategi yang harus bisa dimonitor, baik oleh guru maupun dirinya sendiri. Strategi siswa memang hanya ada dalam pikiran siswa sendiri. Oleh sebab itu penting bagaimana seorang guru dapat membimbing mereka untuk menyertakan atau menggunakan strategi yang dipilih siswa sendiri dalam memecahkan masalah matematika, itulah kuncinya
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang di urakan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut
• Metakognisi itu berisi pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada bagaimana seseorang memeroleh pengetahuan tentang proses kognitif, yaitu pengetahuan yang dapat digunakan orang tersebut untuk mengontrol proses kognitifnya.
• Aktivitas metakognitif sebenarnya merupakan dua proses kognitif yang mendasar yang muncul pada saat bersamaan ketika seseorang memanfaatkannya, yaitu: memonitor peningkatan/kemajuan selagi seseorang itu belajar, dan pada saat yang sama seseorang itu juga membuat pengubahan dan adaptasi strateginya ketika dia merasa dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak benar.
• Metakognisi adalah sesuatu yang berkenaan dengan refleksi diri, tanggungjawab pribadi dan inisiatip seperti halnya seseorang mempersiapkan tujuan dan memenej waktu dalam bekerjanya.
• Kaitan antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis (critical thingking).
• Berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan problem solving matematika, karena permasalahan non-rutin yang biasa muncul dalam tugas-tugas berbentuk problem solving menuntut kecakapan berpikir tingkat tinggi.
• Untuk menguasai kecakapan problem solving matematika dibutuhkan penguasaan sekurang-kurangnya 5 aspek, yaitu; kemampuan memahami konsep matematika, kemampuan dalam menguasai skill algoritma matematika, kemampuan proses bermatematika, mampu bersikap yang positif terhadap matematika dan kemampuan metakognisi.
• Siswa yang diberi kesempatan dan latihan untuk mengembangkan kemampuan metakognitif akan menjadi penyelesai soal yang baik. Mereka menjadi berkemampuan mengidentifikasi proses berpikirnya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Oleh karena itu, Memberikan siswa cara dimana mereka dapat memonitor belajar dan proses berpikir mereka sendiri dapat menjadi sesuatu yang efektif dalam membantu mereka menjadi penyelesai masalah yang lebih baik dan akhirnya menjadi pemikir yang lebih baik untuk setiap tugas matematika.
• Strategi metakognitif harus langsung diajarkan kepada siswa setelah siswa memperoleh sebuah pemahaman terhadap konsep atau kemampuan matematika. Guru dapat menjadi model bagi siswa untuk mengembangkan strategi kognitif ini.
• Cara mengajarkan dan melatihkan kemampuan metakognitif ini dikenal dengan istilah CSI (Cognitive Strategy Instruction). CSI adalah sebuah pendekatan pengajaran yang menekankan pada pengembangan kecakapan dan proses berpikir sebagai sebagai sebuah usaha untuk meningkatkan belajar.








DAFTAR KEPUSTAKAAN



Bell, Frederick H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). Washington: Win. C. Brown Publishers

Carr, M., Kurtz, B. E., Schneider, W., Turner, L. A., & Borkowski, J. G. (1989). Strategy acquisition and transfer among German and American children: Environmental influences on metacognitive development. Developmental Psychology, 25, 765-771

Ertmer, P.A. & Newby, T.J. (1996). The expert learner: strategic, self-regulated, and reflective. Instructional Science 24: 1-24. Netherlands: Kluwer Academic Publishers [ON LINE] Tersedia: http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/metacognition/start.html (24 Feb 2007)

Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive monitoring: A new area of cognitive-developmental inquiry. American Psychologist, 34, 906-911.

Foong, Pui Yee .(2002). Using Short Open-ended Mathematics Questions to Promote Thinking and Understanding. National Institute of Education, Singapore, [ON LINE] Tersedia: http://www.math.unipa.it/~grim/ SiFoong.PDF

Garner, R. (1990). When children and adults do not use learning strategies: Toward a theory of settings. Review of Educational Research, 60, 517-529.

Gartmann, Shirley and Freiberg, Melissa. (1998) Metacognition and Mathematical Problem Solving: Helping Students to Ask The Right Questions. The Mathematics Educator. Volume 6 Number 1

Houston, Kevin, (2005). How to Think Like a Mathematician. Leeds:University of Leeds

Kramarski, Bracha et al. (2002). The Effects of Metacognitive Instruction on Solving Mathematical Authentic Tasks. Educational Studies in Mathematics. Vol. 49, No. 2

Livingston, Jennifer A (1997). Metacognition: An Overview. [ON LINE] Tersedia: http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html (24 Feb 2007)

Lobato, Joanne et. al. (2005) Initiating And Eliciting In Teaching: A Reformulation Of Telling. Journal for Research in Mathematics Education 36: 101–136, 2005. NCTM

Matlin, Margaret W. and Geneseo, Suny. (2003). Cognition (5th Ed.). New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Miles, Don et. al. (2003) Experiences With The Metacognitive Skills Inventory. 33rd ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference. November 5-8, 2003, Boulder, CO.

Mohamed, Mohini and Nai, Tan Ten, (2005). The Use Of Metacognitive Process In Learning Mathematics. The Matthemattiics Educattiion iintto tthe 21stt Centtury Projjectt. Uniiversiittii Teknollogii Mallaysiia Reform, Revolution and Paradigm Shifts in Mathematics Education. Johor Bahru, Malaysia, Nov 25th – Dec 1st 2005

Panaoura, Areti, and Philippou, George (2005) Young Pupils´ Metacognitive Abilities in Mathematics in Relation to Working Memory and Processing Efficiency. University of Cyprus, Cyprus

Price, J. (1996). President’s Report: Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603-608

Pugalee, David K. (2004). A Comparison of Verbal and Written Descriptions of Students’ Problem Solving Processes. Dalam Educational Studies in Mathematics. 55: 27 – 47. New York: Kluwer Academic Publishers

Ridley, D.S., et.al. (1992). Self-regulated learning: the interactive influence of metacognitive awareness and goal-setting. Journal of Experimental Education 60 (4), 293-306.

Scheid, K. (1993). Helping students become strategic learners: Guidelines for teaching. Cambridge, MA: Brookline Books.

Schafersman, Steven D. (1991) An Introduction To Critical Thinking [ON LINE]


Winn, W. & Snyder D. (1996). Cognitive perspectives in pyschology. In D.H. Jonassen, ed. Handbook of research for educational communications and technology, 112-142. New York: Simon & Schuster Macmillan [ON LINE} Tersedia: http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/metacognition/start.htm

_________. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan . Jakarta: DEPDIKNAS
_________, Teaching Thinking Skills. [ON LINE] Tersedia: http://education.calumet.purdue.edu/vockell/EdPsyBook/Edpsy7/edpsy7_intro.htm (24 Feb 2007)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI BLOG FORUM ILMIAH GURU KAB. BATANG

Alasan saya membuka blog ini , selain tugas saya sebagai sekbid.pengembangan profesi di Forum Ilmiah Guru adalah juga sebagai salah satu wahana untuk sharing komunikasi tentang kegiatan ilmiah guru yang berkaitan langsung dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di kabupaten Batang. Mulai dari pembicaraan bagaimana pembelajaran berkualitas dilaksanakan, kegiatan MGMP dan Lesson Study, sampai pada bagaimana seharusnya guru membuat Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Baik berupa Artikel, Makalah, KTI, dan sebagainya. Dalam blog ini rencana akan saya sajikan semua Naskah PTK hasil LKTI pada kegiatan Forum Ilmiah Guru Tahun 2007 dan 2008. Demikian juga untuk kegiatan-kegiatan lain seperti Lomba Inovasi Pembelajaran, Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran, Lomba Pembelajaran Berbantuan Komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya baik yang di adakan Depdiknas, LPMP, ITSF, dan pihak-pihak penyandang dana penelitian/penggagas lomba lainnya. Saya optimis bahwa sangatlah mungkin guru-guru di kabupaten Batang nantinya mampu berkompetensi dalam kegiatan Ilmiah. Terbukti selama dua tahun mengadakan FIG, wakil dari Batang mampu menyumbang nama harun bagi Pemerintah Kab. Batang. Peserta dari Batang banyak yang memperoleh kejuaraan di tingkat Propinsi. Semua berkat kerja sama dan kinerja yang optimal dari guru dan pengurus FIG Kab. Batang. Trimakasih anda ikut berkarya, mari kita bangun Batang tercinta ini.