Minggu, 31 Mei 2009

MENGGAGAS ARTI DISIPLIN

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kedisiplinan memang menyenangkan untuk dibicarakan. Tidak heran pula bila hingga kini banyak pengertian tentang kedisiplinan yang diajukan, baik oleh ahli bahasa, ilmuwan, maupun pihak-pihak yang berkepentingan dengan kata "disiplin". Namun demikian, secara umum disiplin banyak diartikan sebagai "kerja tepat waktu". Definisi tersebut memang benar tetapi terasa sangat sempit, karena indikatornya kurang lengkap. Sehingga untuk melaksanakan kedisiplinan secara tepat dan menyeluruh pun terasa sulit. Menurut pemahaman penulis, kata “disiplin” akan lebih tepat dan menyeluruh untuk dilaksanakan manakala


kita telah memberikan indikator disiplin yang tepat dan menyeluruh juga. Di dalam Al-Quran diajarkan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai indikator dari disiplin, antar lain niat, istiqomah, sabar, penghargaan waktu, penyiapan segala kemampuan doa dan tawakal Niat Disiplin tidak akan terwujud tanpa ada tujuan dari perbuatan yang diharapkan. Sedangkan sebaik-baik tujuan adalah tujuan yang pertama kali ditargetkan dalam niatan ibadah. Di sini, ada keterkaitan lahir dan batin secara vertikal dengan Tuhan. Sehingga, hal ini menjadi kekuatan batiniah yang mendukung pencapaian tujuan. Sedangkan tujuan itu sendiri juga harus jelas dan ditargetkan. Kapan dan tujuan apa yang harus dicapai hendaknya sudah dipikirkan dalam niat. Istiqomah Secara harfiah, istiqomah berarti teguh dalam pendirian. Konsistensi terhadap apa yang diniatkan haruslah kuat. Seperti perumpamanan tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan. Setiap langkah yang ditempuh haruslah mengacu kepada tujuan yang diniatkan. Karena ketika ada perubahan niat, sudah pasti langkah yang ditempuh pun banyak yang menyimpang dari proses tindakan yang telah direncakan. Inilah mengapa istiqomah menjadi salah satu syarat bagi terlaksananya kedisiplinan. Penghargaan waktu Apa pun bentuk tingkah laku, termasuk disiplin, sudah pasti mempertimbangkan waktu. Bagaimana kita dapat memanfaatkan waktu seefektif mungkin, haruslah sudah dipikirkan dalam setiap langkah. Jangan sampai tenaga dan pikiran yang dikeluarkan itu mubadzir. Pada batasan target telah tergambarkan what (tujuan apa yang akan dicapai), when (kapan tujuan itu harus tercapai), dan how (bagaimana cara mencapinya). Dengan penghargaan waktu dalam kedisiplinan. Penyiapan segala kemampuan Untuk dapat melaksanakan kedisiplinan, haruslah dicurahkan segala kemampuan secara optimal. Malas merupakan bentuk pencurahan kemampuan yang tidak optimal. Di sini kualitas kedisiplinan berbanding lurus dengan keoptimalan pencurahan kemampuan yang ada. Sabar Dalam kondisi tertentu, dapat saja diartikan sebagai tidak tergesa-gesa, mau antri, tidak nguyawara, atau mungkin alon-alon waton kelakon. Namun definisi di atas sangat jauh dari arti sabar yang sebenarnya. Sepanjang pemahaman penulis dari keterangan-keterangan yang tersirat dalam Al-Quran, sabar itu memuat sifat dan sikap yang memanifestasikan perencanaan tindakan, taktik, dan teknis pencapaian tujuan. Sementara kedisiplinan tidak akan terlaksana tanpa ada perencanaan tindakan yang matang, taktik (strategi dalam proses), dan teknis (langkah riil yang tepat sasaran) dalam pencapaian tujuan. Dalam konteks sabar, tidak ada istilah berhenti merencanakan, menyusun taktik, dan melaksanakan teknis sebelum tujuan itu tercapai. Berdoa Beroda adalah menyadarkan harapan kepada Allah di tengah-tengah kita bekerja (berdisiplin) akan memberikan semangat batin yang kuat. Di samping dapat menghindarkan dari sifat-sifat buruk seperti sombong, iri, dengki, riya’, dan sifat buruk lainya. Kita pun insya Allah akan diberi kekuatan dan kemudahan dari Allah sehingga yang kita harapakan dapat tercapai. Tawakkal Dalam kedisiplinan tidak mengenal putus asa ketika tujuan tidak terapai, berserah dirilah kepada Allah setelah berusaha (tawakkal). Kalimat ini mengingatkan pikiran kita pada keterpautan hati dengan Tuhannya. Manusia bukanlah robot yang ketika sudah diprogram dengan komputer serta merta tujuan akan terapai. Pada suatu saat Tuhan pasti akan menguji umat-Nya yang beriman. Namun sebagai wujud rasa syukur kita atas pemberian akal, kita harus optimis dan membenarkan bahwa sudah menjadi jaminan sosial bahwa tujuan hanya akan tercapai jika ada kedisiplinan. Meskipun orang boleh berkata kegagalan adalah keberhasil yang tertunda, setidaknya telah dilaksanakan kedisiplinan di atas sebagai wujud kita telah berusaha. Inilah indikator dari pelaksanaan disiplin. Semakin tepat dan menyeluruh indikator dipilih yang kita berikan, semakin tepat dan menyeluruh pula disiplin yang dilaksanan. Niat, istiqomah, penghargaan waktu, penyiapan segala kekuatan, sabar, doa dan tawakkal menjadi indikator utama terlaksananya kedisiplinan .

MENJADI GURU KAYA

Menjadi Guru Kaya Ditengah Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Guru Profesionalisme Guru Mencari Makna Guru Kaya
Jika kita sesekali bercanda atau berdialog dengan teman-teman guru, baik disaat santai waktu istirahat PBM, MGMP maupun pertemuan-pertemuan lainya tentang guru yang kaya maka akan kita dapati beragam komentar tentang guru kaya. Diantaranya mereka akan berpendapat guru yang kaya itu dalah guru yang gajinya mencukupi semua kebutuhan keluarga, guru yang besar gajinya, guru yang bisa memenuhi kebutuhan primer mapun sekudernya, guru yang dapat menyekolahkan anaknya sampai

perguruan tinggi, guru yang terhindar dari hutang yang besar untuk memenuhi kebutuhan primernya, dan seabrek pengertian lainnyayang dapat bermuara pada uang sebagai simbol kekuasaan materialistic Sementara ada juga guru berpendapat bahwa pada situasi yang ada seperti sekarang ini, guru yang dapat dimaknai sebagai guru yang mampu mengendalikan kebutuhan yang mengharuskan mengeluarkan biaya yang diluar kemampuannya. Seperti menunda memiliki rumah daripada berhutang atau kredit rumah yang fasilitasnya tidak memadai yang memungkinkan berpikir untuk melengkapi fasilitasnya, tidak mengambilkredit sepeda motor apalagi mobil jika untuk kebutuhan makan saja pas-pasan, tidak perlu punya HP. Jika untuk membayar pulsa saja keberatan, atau seabrak bentuk pengeluaran lainnya yang membuatkan kemampuan untuk mencukupi kebtuhan pokok berkurang. Meskipun kepemilikan rumah, kendaraan untuk bekerja, HP untuk sarana komunikasi dan koordinasi sangat dibutuhkan. Melihat pendapat-pendapat yang beragam itu, lalu apa makna guru kaya yang tepat itu? Menurut Amir Tengku Ramly (2005:10) Guru kaya dapat diartikan dalam 4 hal utama terkait dengan dirinya dan dunia pengajaran : disebut guru kaya, bila seorang guru memiliki cara pandang bahwa jabatan guru dalah ”profesi”, karenanya ia senantiasa harus dilatih keahliannya sehingga melahirkan sosok guru pemilik (guru yang ahli, menjadi pusat intelektual dan mampu mengendalikan sistem) dan guru perancang (guru yang memahami makna profesinya, memiliki visi dan merancang pengajaranya secara hidup; (2) disebut Guru kaya, bila seorang guru memilki pola hubungan khusus dengan siswa yang mengedepankan sikap proaktif dan mentalitas yang kaya; (3) Disebut Guru kaya, bila seorang guru melakukan proses pengajaran yang senantiasa tidak mematikan potensi siswa dan terkait antara dunia pengajaran dengan dunia realitas , dan (4) disebut Guru Kaya, bila seorang guru mau senantiasa belajar dengan mensinergiskan otak kir, otak kanan, pancaindera dan hatinya untuk memperoleh sumber ilmu yang hakiki. Kiat Guru Menjadi Guru Kaya Selama ini Beragamnya pendapat tentang makna guru kaya ternyata berpengaruh pada kiat kebanyakan guru untuk menjadi guru kaya. Sebagaian besar guru menginkan menjadi guru kaya melaui usaha meningkatkan kesejahteraan. Seperti kita ketahui bersama bahwa ada beberapa guru untuk meningkatkan kesejahteraan dengan menjalankan usaha diluar. Ada yang melaksanakan les privat atau klasikal di rumah, ada yang membuka dealer kendaraan, ada yang makelar serba bisa, ada yang buruh rental, ada yang jualan di rumah, ada yang buka sewa kesenian organ tunggal, ada yang menjadi penyanyi panggilan dan lain sebagainnya. Itulah realitas yang kita jumpai didaerah kita. Kiat di atas tidak ada yang menyalahkan tetapi apakah kiat itu tepat. Menimbang pengaruh kiat menjadi guru kaya melalui usaha peningkatan kesajahteraan. Sebagaian yang menganggap boleh-boleh saja melaksankan usaha di luar sekolah untuk mewujudkan kiat meningkatkan kessejahteraan guru. Selama tidak menganggu tugas utama sebagai guru seperti mengajar dikelas, memenuhi administrasi sekolah, dan lain-lain. Namun kita pun perlu memikirkan sebuah pertanyaan ’’ bukankah setiap aktivitas manusisa pasti mencurahkan tenaga, waktu dan pikiran juga ada batasanya? Berawal dari pertanyaan itulah mungkin kita akan berandai-andai betapa nikmatnya hidup seorang guru yang dapat berkosentrasi penuh terhadap tugas utamanya mengajar dan mendidik, cukup waktu unuk menuliskan pengalaman membelajarkan siswa tanpa susah-susah menambah penghasilan dari usaha luar. Sebab dengan melakukan uasaha luar, fisik kita akan lebih mudah cepek dan pikiran kita juga akan mudah kelelahan karena kemampuan manusia terbatas. Sementara kalau kita cermati secara seksama makna guru kaya menurut Amir Tengku Ramly dalam bukunya Perubahan Paradigma to Be Quadran, memang sedikit memberikan ruang kepada kita untuk dapat bisnis/ usaha/ bekerja diluar sekolah untuk meningkatkan kesejahteraan demi pengakuan sebagai guru kaya. Penulis akan mengajak para pembaca untuk merenungkan bersama terhadap statemen bahwa bisnis/usaha/bekerja/ di luar sekolah cenderung akan menuntun guru bersikap materalistik dan seorang materialis tidak akan pernah merasa kaya sepanjang hidupnya. Ia secara kejiwaan akan selalu merasa kurang meskipun berlebihan materi. Orang kaya yang tudak merasa kemiskinannya. Inilah yang mendasari lahirnya mentalitas kaya yang merupakan bagian terpenting dari kekayaan itu sendiri. Disisi lain, penulis melihat kenyataan bahwa ada sebagian guru yang tampak tidak bisa hidup layak jika tidak sambil bekerja diluar sekolah. Penulis juga melihat kenyataan bahwa tidak sedikit guru SD yang secara kejiwaan kelelehan untuk mengajar karena gajinya minus. Penulis juga melihat kenyataan bahwa banyak SD yang siswanya makin lama makin tertinggal pengusaan pelajarannya sehingga giliran masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi mereka sangat berat mengikutu pelajaran. Para pembaca dapat membayangkan seperti apa Mutu SD jika tiap tahun 65% lebih siswanya yang masuk SMP mampu menjamin dalam satu bulan siswa kelas 1 awal hafal perkalian, namun beranjak pada materi lain siswa sudah lupa lagi. Memang benar kata pak Muthas guru waktu sekolah di kelas 3 SDN Subah 1 pada 22 tahun yang lalu”kalau mau hafal perkalian dengan berawal dari konsep penjumlahan berbilang maka sulit nanti melupakannya.kamu akan menjadi mudah membagi bilangan dan berhitung lainnya pada sekolah yang lebih tinggi.’’ Demikian kata yang sudah penulis bahasakan sendiri tanpa mengubah subtansinya. Menjadi guru kaya di tengah upaya meningkatkan kesejahteraan dan Profisionalisme Guru. Kalu kita memperhatikan uraian di atas, kita akan mendapati beberapa alur berpikir yang landasan sosiologinya berbeda. Ibarat dua orang yang berangkat dari dua kutub yang berlawanan (kutub utara dan kutub selatan) tetapi akan pergi dengan tujuan yang sama yaitu menjadi ”Guru Kaya”. Tanpa mengabaikan realitas hidup guru sekarang dapat menjadi guru yang kaya, kita memang benar-benar akan menjadi Guru Kaya sebenarnya (Guru kaya –Amir Tengku Ramly, red). Kutub utara akan diisi oleh semua guru di Indonesia dengan upaya-upayanya: (1) membangun mental penuh percaya diri, bangga dan senantiasa bergairah menjalani tugas profesinya, (2) mensyukuri nikmat yag diterima Tuhan, (3) mau mengubah nasibnya sendiri, (4) menjaga ketenangan jiwa dan berorentasi untuk ibadah kepada Allah SWT, (5) optimis dalam mengembangkan profesi melalui kebiasaan mengajar yang baik dan menulis pengalaman mengajar, serta (6) berusaha menempatkan profesi guru menjadi profesi terhormat diantara profesi lainnya. Sementara kutub selatan akan diisi oleh upaya-upaya pemerintah dan wakil rakyat dalam mensejahterakan guru atau mendukung terwjudnya guru yang kaya. Pemerintah dan wakil rakyat harus menjamin kesejahteraan guru agar guru di Indonesia memilki tenaga untuk meningkatkan mutu pendidikan. Selam guru belum mampu memenuhi kebutuhan primer saja dan memaksa guru bekerja di luar sekolah, maka selama itu pula pemerintah wakil rakyat dikatakan belum mampu memperjuangkan majunya dunia pendidikan di negara kita. Debat mengenai korelasi peningkatan mutu pendidikan dengan peningkatan mutu pendidikan dengan peningkatan kesejahteraan guru yang sudah lama dilakukan. Namun kita prlu belajar dari sejarah. Bagaimana dulu kondisi pendidikan di indonesia dibanding dengan negara-negara se-Asia. Lalu sekarang begaimana. Sebab program pemerintah yang ditempuh selama ini sebenarnya sudah tepat dan mendukung kemajuan pendidikan. Baik melalui program pendidikan dan pelatihan peningkatan mutu pendidikan bagi guru, kepala sekolah, pemilik, penjabat-penjabat penting lainnya di lingkungan Dinas Pendidikan, program bantuan block grant dan matching grand untuk pengadaan sarana dan prasarana sekolah, program peringanan biaya sekolah seperti BOS dan beasiswa, dan program-program stimulus lainnya seperti penghargaan guru /pengembangan profesi lewat even-even nasional (simposium Guru, lomba keberhasilan dalam pembelajaran, dll); dan tidak kalah pentingnya, pemerintah sekarang berencana akan memberikan tambahan kesejahteraan guru sejalan dengan status pengembangan profesi. Semoga saja ini benar-benar terlaksana karena akan memberikan spirit bagi guru-guru yang berpotensi. Jadi dibanding dengan negara Asean lainnya sebenarnya Indonesia tidak kalah di dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Hanya mungkin ada satu yang kurang (kesejahteraan guru), dan yang satu itu justru belum menjamin terwujudnya Guru Kaya sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan baik oleh guru maupun pemerintah menjadi terhambat. Pemerintah belum saatnya berbangga hati dengan dapat meningkatkan gaji guru belum lama ini. Sudah saatnya pemerintah menempuh langkah riil untuk penuhi kesejahteraan guru semestinya. Guru di Indonesia tidak menghendaki gaji yang besar, tetapi hanya menghendaki gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primernya.sudah saatnya guru Di Indonesia dilepaskan dari tekanan psikologis beban kehidupan primernya. Sudah berpuluh-puluh tahun mereka bersabar menghadapinya, sesabar mereka berusaha menjadi Guru Kaya, yang sebenarnya (Guru kaya-Amir Tengku Ramly,red).

MENJADI GURU MATEMATIKA YANG IDEAL

A. Pendahuluan Pendidik merupakan jabatan yang amat strategis dalam menunjang proses dan hasil kinerja pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidik merupakan gerbang awal sekaligus sebagai representasi kondisi dan kinerja pendidikan. Dalam hubungan ini, penampilan seorang pendidik harus terwujud sedemikian rupa secara efektif sehingga dapat menunjang dinamika dan keefektifan pendidikan. Kinerja penampilan pendidik didukung sejumlah kompetensi tertentu yang berlandaskan kualitas kepribadian yang harus dapat diwujudkan secara nyata.
Menurut M Surya (2003),
kepribadian merupakan keseluruhan perilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif akan membentuk keunikan atau kekhasan seorang dalam interaksi dengan lingkungan di berbagai situasi dan kondisi. Dengan demikian sifat utama seorang pendidik adalah kemampuannya dalam mewujudkan penampilan kualitas kepribadian dalam interaksi dengan lingkungan pendidikan agar kebutuhan dan tujuan dapat tercapai secara efektif. Dengan kata lain, seorang pendidik hendaknya memiliki kompetensi kinerja yang mantap. Kompetensi tersebut akan tercermin dalam penampilan yang bersumber pada komponen penampilan, komponen penguasaan subyek, kualitas professional, penguasaan proses, dan kemampuan penyesuaian diri, serta berlandaskan kualitas kepribadiannya.
1. Komponen penampilan, yaitu unsur kemampuan mewujudkan berbagai perilaku kinerja
yang nampak sesuai dengan bidang jabatan dan tugasnya sebagai pendidik. 2. Komponen Subyek, yaitu unsure kemampuan penguasaan bahan/substansi pengetahuan yang
relevan dengan bidang jabatan dan tugas pendidik sebagai prasyarat bagi penampilan kinerjanya secara
tepat dan efektif, 3. Komponen professional, yaitu unsure kemampuan penguasaan substansi pengetahuan dan keterampilan
teknis keahlian khusus dalam bidang jabatan dan tugas pendidik yang diperoleh melalui pendidikan dan
atau latihan secara khusus, 4. Komponen Proses, yaitu unsure kemampuan penguasaan proses-proses mental intelektual yang mencakup
proses berfikir (logis, kritis, rasional, kreatif) dalam pemecahan masalah, pembuatan keputusan dan
sebagainya sebagai prasyarat bagi terwujudnya penampilan kinerja pendidik, 5. Komponen Penyesuaian diri, yaitu unsure kemampuan penyerasian dan penyesuaian diri terhadap
tuntutan lingkungan berdasarkan karakteristik pribadi untuk mencapai keefektifan kinerja kependidikan 6. Komponen Kepribadian, yaitu kualitas keseluruhan perilaku sebagai prasyarat fundamental bagi
terwujudnya penampilan kinerja secara keseluruhan. B. Kepribadian Efektif Kepribadian efektif akan terwujud melalui berfungsinya keseluruhan potensi manusiawi secara penuh dan utuh melalui interaksi antara diri dengan lingkungannya. Potensi manusiawi itu berbentuk daya nalar sebagai pilar penyangga dengan empat jenjang anak anak tangga yang berupa: (1) Coping, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan dalam menghadapai dunia sehari-hari dengan baik, (2) Knowing, yaitu memahami kenyataan dan kebenaran dunia sehari-hari, (3) Believing, yaitu keyakinan yang melandasi berbagai tindakan, dan (4) Being, yaitu perwujudan diri yang otentik dan bermakna (William D.Hitt dalam Surya, 1997). Berfungsinya seluruh potensi manusiawi untuk mencapai kepribadian efektif didukung oleh lima unsur yang harus terwujud secara utuh yaitu: 1. Penalaran Penalaran merupakan kemampuan untuk mengfungsikan potensi akal pikiran secara efektif dengan bentuk bertanya, mencari, menguji, dan menjawab berbagai fenomena sehingga menjadi sesuatu yang bermakna. Potensi penalaran ini didukung oleh lima kecakapan yang mencakup: (a) ketrampilan konseptual, yaitu kecakapan yang berkenaan dengan aabstraksi dan generalisasi dalam taraf yang lebih tinggi, (b) berfikir logis, yaitu kecakapan untuk memecahkan masalah dengan menerapkan pendekatan system, (c) berfikir kreatif, yaitu kecakan untuk membawa gagasan imajinatif menjadi suatu kenyataan, (d) berfikir holistic, yaitu kecakapan untuk menangkap keseluruhan situasi, dan (d) komunikasi, yaitu kecakapan untuk melakukan dialog sejati dengan pihak lain untuk menemukan kebenaran bersama. 2. Sumber-sumber daya Dalam melaksanakan tugas kependidikan secara efektif, sekurang-kurangnya harus memiliki tiga prinsip sumber daya atau kekuatan yaitu: (a) Staf, yaitu pihak-pihak lain yang menjadi mitra kerja yang siap, mau dan mampu, (b) Informasi, yaitu seperangkat pengetahuan yang dimiliki untuk menunjang jalannya tugas-tugas, (c) Jaringan kerja, yaitu kontak-kontak pribadi untuk berbagai gagasan, informasi, dan sumber-sumber. 3. Pengetahuan Penguasaan pengetahuan merupakan pilar penunjang bagi perwujudan kepribadian pendidik yang efektif. Untuk perwujudan kepribadian efektif seorang pendidik, pengetahuan yang harus dikuasai secara utuh mencakup: (a) Pengetahuan tentang diri sendiri, yaitu sejauh mana mengenal, memahami, dan menerima berbagai aspek tentang dirinya secara utuh dan benar, (b) Pengetahuan tentang tugas atau pekerjaan, yaitu pemahaman mengenai berbagai tugas-tugas utama yang harus dilaksanakan dalam hubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, (c) Pengetahuan tentang organisasi, yaitu pemahaman mengenaiberbagai aspek organisasi tempat bertugas, (d) Pengetahuan tentang bisnis utama, yaitu pemahaman visi dan misi secara khusus organisasi tempat bertugas, dan (e) Pengetahuan tentang dunia, yaitu pemahaman mengenai berbagai aspek lingkungan dan perkembangannya baik local, nasional maupun global. 4. Fungsi-fungsi utama Pribadi yang efektif akan senantiasa setia dan konsisten terhadap keyakinan dasar yang menjadi panduan dalam hidupnya. Dengan kata lain, kepribadian efektif akan tercermin dari keseluruhan perilaku yang dilandasi dan dibimbing oleh nilai-nilai yang berakar pada keyakinannya. Atas dasar itu, ada enam fungsi-fungsi dasar yang dilakukan oleh pendidik berkepribadian efektif yang meliputi: (a) Valuing, yaitu kemampuan penguasaan nilai-nilai yang baik dalam lingkungan pendidikan dan mampu menterjemahkan nilai-nilai itu dalam praktek, (b) Visioning, yaitu memiliki gambaran mental yang jelas mengenai masa depan yang diinginkan bagi pendidikan, (c) Coaching, yaitu membantu orang lain mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai visi, (d) Empowering, yaitu memberdayakan orang lain untuk bergerak maju mencapai visi, (e) Team Building, yaitu mengembangkan kebersamaan dengan oranmg-orang yang bersedia untuk bersama-sama mencapai visi, (f) Promoting Quality, yaitu mencapai satu reputasi meningkatnya mutu kinerja lembaga pendidikan. 5. Kualitas Watak Kualitas watak merupakan perwujudan potensi kepribadian pada tingkatan yang paling tinggi melalui penampilan diri secara otentik dan paripurna. Kepribadian efektif pendidik dalam tingkatan ini meliputi: (a) Identitas, atau jati diri yaitu keaslian diri dengan rasa keutuhan dan keterpaduan, (b) Kebebasan diri, yaitu menjadi orang yang lebih banyak terkendali secara internal daripada terkendali secara eksternal, (c) Otentisitas atau keaslian, menyatakan diri secara benar dan memelihara keterpaduan antara diri bagian dalam (inner self) dengan diri bagian luar (outer self), (d) Tanggungjawab, yaitu menjadi akuntabel dalam keputusan dan tindakan sendiri, (e) Keteguhan hati, yaitu mempertahankan jatidiri meskipun dalam menghadapi rintangan, (f) Integritas, yaitu terbimbing oleh seperangkat prinsip-prinsip moral dan diakui oleh orang lain sebagai orang yang memiliki keutuhan diri. C. Mengenal Potensi Pribadi Potensi pribadi merupakan bagian dari keseluruhan kepribadian dalam bentuk kecakapan-kecakapan yang terkandung baik aspek fisik, emosional, maupun intelektual. Apabila potensi pribadi ini dapat dikembangkan secara efektif, maka akan menjadi kecakapan nyata yang secara terpadu membentuk kualitas kepribadian seseorang. Pencapaian guru matematika yang ideal dapat diperoleh melalui suatu perencanaan yang sistematis dengan menata dan mengembangkan potensi-potensi pribadi. Perencanaan ini merupakan suatu rangkaian proses kegiatan yang terarah dan sistematis dalam mengenal, menata, dan mengembangkan potensi pribadi dalam rangka mempersiapkan perjalanan hidup seseorang agar mencapai suatu perwujudan diri yang bermakna. Oleh karena itu, setiap guru seharusnya membuat perencanaan dan pengembangan potensi secara tepat. Untuk itu perlu mengenal potensi diri sejak dini dan mengembangkannya ke arah yang diinginkan. M Surya (2003) juga menyatakan bahwa ada lima tingkatan potensi yang harus dikembangkan sehingga memberi makna dalam keseluruhan hidup secara efektif. Kelima tingkatan dalam lingkup potensi dari level 5 ke level 1 adalah Potensi Pribadi (Pemimpin, Kontributor, Partisipan, Pengamat, Pengeluh), Potensi Fisik (Stamina, Intensitas, Adaptasi, Bertahan, Sakit-sakitan), Potensi Emosional ( Berinisiatif, Ramah tamah, Merespon, Menghampiri, Tidak ada perhatian), dan Potensi Intelektual (Program, Objectif, Princip ,KonsepFakta). Di antara kelima tingkatan, tingkatan yang menggambarkan kondisi sempurna bagi guru matematika yang ideal adalah tingkatan kelima yakni (i) Potensi Fisik Stamina, yaitu kondisi potensi fisik yang sehat dan sempurna sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup efektif, (ii) Potensi Emosional Berinisiatif, yang berarti mampu memberikan respon emosional secara aktif dalam hubungan antar pribadisehingga penuh kehangatan dan saling pengertian dalam pergaulan, (iii) Potensi Intelektual Program, yang berarti memiliki kemampuan intelektual untuk mengenal masalah, melihat tujuan dan mengembangkan program untuk mencapai tujuan, dan (iv) Potensi Pribadi Pemimpin, yaitu kinerja pribadi sebagai pemimpin yang mamp[u menciptakan situasi yang sedemikian rupa sehingga mampu menggerakkan orang-orang di lingkungannya untuk berbuat mencapai tujuan bersama. D. Langkah-langkah Menjadi Guru Matematika yang Ideal Berbekal Kepribadian Efektif. Untuk menjadi guru matematika yang ideal berbekal kepribadian efektif, maka guru matematika harus mampu merencanakan dan mengembangkan kepribadian efektif mulai dengan mengkaji kecakapan, minat, kepribadian, nilai-nilai diri, unjuk kerja dan gaya hidup sampai kepada penggunaannya dalam memanfatkan unsur-unsur kepribadian dan potensi pribadi secara optimal. 1. Kecakapan-kecakapan Ada dua macam kecakapan dalam diri yaitu kecakapan nyata atau prestasi dan kecakapan potensi. Kecakapan nyata adalah segala sesuatu yang telah dimiliki baik melalui pengalaman ataupun proses pembelajaran. Sedangkan kecakapan potensial (intelegensi dan bakat) dapat terwujud melalui proses pembelajaran dan latihan. Guru matematika yang ideal memiliki atau setidaknya berupaya untuk memiliki dua macam kecakapan di atas. 2. Minat-minat Minat menggambarkan rasa senang atau tidak senang terhadap sesuatu. Melakukan suatu kegiatan tanpa didasari rasa senang, akan menimbulkan rasa tidak betah atau siksaan bagi yang melakukannya. Guru matematika yang ideal menjadikan niat bertanggung jawab dan beribadah sebagai modal minat dalam menjalankan tugas mendidik dan mengajar. Dengan demikian, perasaan senang, optimisme dan semangat yang tinggi menjadi bagian dari kehidupannya dalam mendidik dan mengajar matematika. 3. Kepribadian Ciri-ciri kepribadian harus sesuai dengan tuntutan kependidikan. Oleh karena itu, guru matematika yang ideal mengusahakan dirinya untuk mengenal dan memahami seluruh ciri-ciri kepribadian kemudian dibandingkan dengan tuntutan yang telah direncanakan. 4. Nilai-nilai diri Untuk melakukan kegiatan yang dapat memberikan kepuasan, hendaknya sesuai dengan sistem nilai yang ada dalam diri seseorang. Nilai ini hendaknya merupakan sesuatu yang diyakini oleh guru matematika secara konsisten untuk dilakukan agar dapat mengarahkan dirinya kearah yang diyakini. 5. Kesempatan Mempelajari berbagai informasi yang berkaitan dengan kesempatan berupa pendidikan, pekerjaan, kegiatan, aktualisasi diri, waktu, ruang, dsb. Semua harus memiliki kejelasan diskripsi baik isi maupun cara memperolehnya dan tidak pernah melewatkannya dengan sia-sia. Guru matematika yang ideal berupaya menjalani setiap kesempatan yang tersedia dengan rasa syukur dan optimis dengan adanya kebajikan dibalik setiap kesempatan. 6. Unjuk kerja Bila telah sampai pada posisi yang direncanakan, harus menunjukkan unjuk kerja yang memadai sesuai dengan tuntutan posisi diri. Bila tidak, maka akan kecil peluang ,meraih kesuksesan dan kepuasan. Oleh karena itu, guru matematika yang ideal harus mengetahui dan memahami standar tuntutan dari lingkungan kerja dan belajar memenuhi tuntutan secara tepat. 7. Gaya Hidup Gaya hidup merupakan seperangkat pola perilaku sehari-hari yang relative konsisten dilakukan untuk mencapai kepuasan diri. Potensi pribadi ditentukan oleh kemampuan memadukan gaya hidup dengan pilihan-puilihan yang tersedia. Sangat penting bagi guru matematika untuk mengenal gaya hidup masing-masing diri. Gaya hidup guru matematika mungkin akan berubah pada suatu saat karena pengaruh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Daftar Pustaka: . Surya, M.2003. Menuju Guru yang Profesional dan Bermoral. Makalah Simposiun Guru Tingkat Nasional Tahun 2003.. Malang: tidak diterbitkan.

KAJIAN KESETARAPAN ANTARA PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION

I. Pendahuluan Orientasi pendidikan kita selama ini mempunyai ciri: (i) cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; (ii)guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; (iii) materi bersifat subject-oriented; dan (iv) manajemen bersifat sentralistis(Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara

apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000). Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000): 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Atas dasar alasan itulah pemerintah dan pakar pendidikan matematika berupaya untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa tidak hanya tertuju kepada kurikulum berbasis kompetensi seperti yang digalakkan di sekolah sekarang ini, bahkan dalam rangka mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika, sekarang ini tengah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Seperti pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Menurut Howey (2001: 105), di Amerika Serikat juga tengah dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan masalahmasalah contextual. Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut. Pendidikan nasional antara lain bertujuan mewujudkan learning society dimana setiap anggota masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for all) dan menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat pilar pendidikan dari UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Impelementasi dalam pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in mathematics). II. Kajian Pendekatan Kontekstual Dan Realistic Mathematics Education A. Pendekatan Kontekstual Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkm persoalan dalam kehidupm.jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi pada kebanyakan sekolah-sekolah di Indonesia. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses penibelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dalam buku ringkas ini dibahas persoalan yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya. 1. Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar yang Mendasari Pendekatan Kontekstual Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut : a. Proses Belajar • Belajar tidak hanya sekedar menghafal. siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. • Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. • Pra ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter). • Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. • Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. • Siswa perlu dibiasakan memmecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. • Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajangkan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku. b. Transfer Belajar • Siswa belajar dari mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain. • Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit-demi sedikit. • Penting bagi siswa tahu "untuk apa" ia belajar, dan "bagaimana" ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. c. Siswa sebagai Pembelajar • Manusia mempunyai kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak menpunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. • Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. • Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. • Peran orang dewasa (guru) mebantu menghubungkan antara "yang baru" dan yang sudah diketahui. • Tugas guru "memfasilitasi" agar informasi baru bermakna memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. d. Pentingnya Lingkungan Belajar • Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton" ke "siswa bekerja dan berkarya, guru mengarahkan". • Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibanding hasilnya. • Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. • Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. 2. Teori yang Melandasi CTL a. Knowledge-Based Constructivism, menekankan kepada pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. b. Effort-Based Learning/Incremental Theory of Intellegence, bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan dengan komitmen untuk belajar. c. Socialization, menekankan bahwa belajar merupakan proses sosial yang menentukan tujuan belajar. Oleh karenanya, faktor sosial dan budaya perlu diperhatikan selama perencanaan pengajaran. d. Situated Learning, pengetahuan dan pembelajaran harus dikondisikan dalam fisik tertentu dan konteks sosial(masyarakat, rumah, dsb) dalam mencapai tujuan belajar. 3. Ciri Pendekatan Pembelajaran Kontekstual • Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah faktual sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar perpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, sehingga mereka memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep yang esensial dari materi pembelajaran. • Pengajaran otentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mempelajari konsteks bermakna terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. • Belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. • Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran yang komprehensif. Lingkungan belajar siswa dirancang agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah otentik, termasuk pendalaman materi dan pelaksanaan tugas bermakna yang lain. • Belajar berbasis kerja (work based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pembelajaran, serta menerapkan kembali materi pembelajaran tersebut di dalam tempat kerja tersebut. • Belajar jasa-layanan (service learning), yaitu belajar yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah, atau menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Penerapan pendekatan ini akan menuntun terjadinya penerapan praktis dari pengetahuan baru dan keterampilan siswa untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lain. • Belajar kooperatif (cooperative learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. 4. Prinsip Pendekatan Kontekstual Ada tujuh prinsip(komponen) yang sekurang-kurangnya terdapat dalam pendekatan kontekstual. a. Konstruktivis Konstruktivisme (constructivisvism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar, itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses "menkonstruksi" bukan "menerima" pengetahuan. dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, straegi "memperoleh" lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan : (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengelaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara , yaitu asimilasi atau akomodasi. asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru. b. Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Siklus inkuiri : o Obsevasi (Observation) o Bertanya (questioning) o Mengajukan dugaan (Hyphotesis) o Pengumpulan data (Data gathering) o Penyimpulan (Conclussion) Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) : (1). Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun) (2). Mengamati atau observasi (3). Menganalsis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya (4). Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain c. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari "bertanya". Questioning merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya, Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk : (1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis (2) mengecek pemahaman siswa (3) membangkitkan respon kepada siswa (4) mengetahui sejauh mana keinginantahuan siswa (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa (6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa Pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan; antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dsb. Kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk "bertanya".
d. Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya "Bagaimana caranya? tolong bantu aku!" Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat belajar (learning community). Hasil belajar diperoleh dari "sharing" antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat-belajar. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya hiterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang "ahli' ke kelas. Misalnya tukang sablon, petani jagung, peternak susu. teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang reparasi kunci, dan sebagainya. "Masyarakat-belajar" bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, "Seorang guru yang mengajari siswanya" bukan contoh masyarakat-belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa bukan guru. dalam masyarakat-belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik "learning community" sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terujud dalam:  Pembentukan kelompok kecil  Pembentukan kelompok besar  Mendatangkan "ahli' ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu, dsb.)  Bekerja dengan kelas sederajat  Bekerja kelompok dengan kelas diatasnya  Bekerja dengan masyarakat e. Pemodelan (Modelling) Komponen CTL selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris, dan sebaginya. Atau, guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang "bagaimana cara belajar" Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat dengan memanfaatkan gerak mata (scanning). Ketika guru mendemonstrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa menagamati guru membaca dan membolak balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scanning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan pembelajran menemukan kata kunci secar cepat. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci, guru menjadi model. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberikan contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa "contoh" tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai "standar" kompetensi yang harus dicapainya. Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli berbahasa Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi "model" cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya. f. Refleksi (Reflection) Refleksi juga bagian penting dalam pembelejaran dengan pendekatan CTL. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Kunci dari semua adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir prmbrlajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa :  pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu  catatan atau jurnal di buku siswa  kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu  diskusi  hasil karya g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment)) Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir priode (cawu/semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti) EBTA/EBTANAS, tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Data dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa gar mampu mempelajari (learning how to learn) bukan ditekan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. di luar kelas itulah yang disebut data autentik. Kemudian belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil. Adapun karakteristik autentic assessment antara lain :  Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung  Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif  Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.  Berkesinambungan  Terintrgrasi  Dapat digunakan sebagai feed back Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa : (1) Proyek/kegiatan dan laporannya (2) PR (3) Kuis (4) Karya Tulis (5) Presentasi atau penampilan siswa (6) Demonstrasi (7) Laporan (8) Jurnal (9) Hasil tes tulis (10) Karya tulis 6. Karakteristik Pembelajaran Berpendekatan CTL • Kerja sama • Saling menunjang • Menyenangkan dan tidak membosankan • Belajar dengan penuh gairah • Pembelajaran terintegrasi • Menggunakan berbagai sumber • Siswa aktif • Sharing dengan teman • Siswa kritis guru kreatif • Dinding kelas dan lorong-lorong penuh hasil karya siswa, peta-peta, gambar-gambar, artikel, humor dan lain-lain. • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dll. 7. Langkah-langkah Penerapan CTL Penerapan CTL dalam kelas secara garis besar, langkahnya adalah berikut ini. (1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkostruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. (4) Ciptakan 'masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-kelompok). (5) Hadirkan 'model' sebagai contoh pembelajaran. (6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan. (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara !. B. Pendekatan Realistic Mathematic Education 1. Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar yang Mendasari Pendekatan Kontekstual Pembelajaran matematika oleh sekolah di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma mengajarnya. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan. Guru ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi adalah guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi. Dan, semua itu terbukti tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari. Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika lemah karena tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah. Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa. Menurut Marpaung (2003), paradigma mengajar seperti di atas tidak dapat lagi dipertahankan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima secara pasif. Dengan demikian, siswa sendirilah yang harus aktif. Paradigma belajar juga seturut dengan teori Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan Freudenthal bahwa pengetahuan matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi. Oleh karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi (mengkreasi kembali) pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, tetapi menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal. 2. Landasan Teori RME Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan matakognisi). Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan operasionalisasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda dengan nama Realistic Mathematics Education (RME) yang artinya pendidikan matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual (contextual problems) sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Perlu dicermati bahwa suatu hal yang bersifat kontekstual dalam lingkungan siswa di suatu daerah, belum tentu bersifat konteks bagi siswa di daerah lain. Contoh berbicara tentang kereta api, merupakan hal yang konteks bagi siswa yang ada di pulau Jawa, namun belum tentu bersifat konteks bagi siswa di luar Jawa. Oleh karena itu pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik harus disesuaikan dengan keadaan daerah tempat siswa berada. Msalah dalam pembelajaran matematika merupakan suatu “keharusan” dalam menghadapi dunia yang tidak menentu. Siswa perlu dipersiapkan bagaimana mendapatkan dan menyelesaikan masalah. Masalah yang disajikan ke siswa adalah masalah kontekstual yakni masalah yang memang semestinya dapat diselesaikan siswa sesuai dengan pengalaman siswa dalam kehidupannya. 2. Ciri PMR PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995). 3. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik Ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu: a) guided reinvention and progressive mathematizing, b) didactical phenomenology, dan c) self-developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: a. Guided reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali terbimbing/ pematematikaan progresif) Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru di awal pembelajaran, kemudian dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan. Sebagai sumber inspirasi untuk merancang pembelajaran dengan pendekatan PMR yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-invention), dapat digunakan sejarah penemuan konsep/prinsip/rumus matematika. Menurut penulis, prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar. b. Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran) Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu masalah kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1) topik-topik matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran. c. Self - developed models (model-model dibangun sendiri). Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan pengembangan model belajar yang bottom up. Selain di atas terdapat prinsip-prinsip RME lainnya seperti aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal dalam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-interkoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan). 4. Karakteristik Pembelajaran Metematika Realistik Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, PMR memiliki lima karakteristik, yaitu: a) the use of context (menggunakan masalah kontekstual), b) the use models (menggunakan berbagai model), c) student contributions (kontribusi siswa), d) interactivity (interaktivitas) dan e) intertwining (terintegrasi). Penjelasan secara singkat dari kelima karakteristik tersebut, secara singkat adalah sebagai berikut. a. Menggunakan masalah kontekstual. Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung. Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran, hendaknya masalah sederhana yang dikenali oleh siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas). b. Menggunakan berbagai model. Istilah model berkaitan dengan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa dalam mengaktualisasikan masalah kontekstual ke dalam bahasa matematika, yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal. c.Kontribusi siswa. Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai. d. Interaktif. Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa. e. Keterkaitan. Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Dalam tesis ini karakteristik ini tidak muncul. Dari prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik di atas maka dapat dikatakan bahwa permulaan pembelajaran harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret sesuai realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan siswa. Sehingga mereka dengan segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. 5. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. a. Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Siswa diberi masalah/soal kontekstual, guru meminta siswa memahami masalah tersebut secara individual. Guru memberi kesempatan kepada siswa menanyakan masalah/soal yang belum dipahami, dan guru hanya memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan kondisi masalah/soal yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi. b. Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami. c. Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri. Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model. d. Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran. Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan. Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan. Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi. e. Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur. Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru. III. Kajian Kesetarapan Dua Pendekatan Untuk menentukan bahwa kedua pendekatan memiliki kesetarapan atau tidak, maka diperlukan kajian kesetarapan dengan membandingkan aspek-aspek pada kedua pendekatan tersebut. Aspek-aspek yang dimaksud adalah(i) dasar pemikiran, (ii) landasan teori, (iii)ciri-ciri pendekatan, (iv) prinsip-prinsip, (v) karakteristik dan (vi) langkah-langkah. Adapun kajian kesetarapan pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR dapat ditunjukkan dalam table 1 berikut ini: Tabel 1 Kajian Kesetarapan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan RME/PMR Aspek Kajian Kesetarapan Pendekatan Kontekstual Realistik Matematic Education/PMR Nilai Kesetarapan Dasar Pemikiran Proses pembelajaran menghendaki mengkonstruksi pengetahuan sendiri, mengalami sendiri, belajar dengan cepat hal-hal baru,memerlukan lingungan, membutuhkan komunitas belajar Paradigma mengacu pada siswa belajar bukan guru mengajar, proses belajar digeluti, dipikirkan dan dikonstruksi siswa, memanfaatkan realitas dan lingkungan, mempelajari masalah kontekstual Pada kedua pendekatan, pembelajaran terjadi ketika siswa mengkonstruksi pengetahuan, mengalami sendiri, membutuhkan masalah kontekstual(hal-hal baru dalam realitas), dan memanfaatkan lingkungan Landasan Teori - Knowledge-Based Constructivism, Effort-Based Learning, Socialization, Situated Learning Dikembangkan oleh Howey, Amerika Serikat - Belajar dengan pola guided reinvention, pemanfaatkan realitas dan lingkungan, mempelajari masalah kontekstual Dikembangkan oleh Hans Freudenthal, Belanda Keduanya beraliran konstruktivis, mangadopsi masalah sosial(realitas,socialization, situated, dsb) dan berkaitan erat dengan lingkungan Ciri-ciri Pendekatan -Belajar berbasis masalah, inquiri, proyek, kerja, jasa layanan, dan kooperatif. - Pengajaran outhentic Terdapat proses menemukan kembali(to reinvention, dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia riil Sama-sama mengedepankan proses menemukan dalam kaitannya dengan situasi(outhencic) dan dunia riil (masalah kontekstual) Prinsip Konstruktivis, inquiry,Questioning, Learning community,modelling,reflecting Guided reinvention/progresif mathematizing,didactical phenomenology,self-developed models Konstruktivis, inquiry dan questioning adalah bagian dari proses reinvention dan didactical phenomenology serta developed models. Sedang learning community dan reflecting adalah sesuatu yang mungkin dibutuhkan ketika menguji hasil penemuan. Karakteristik Kerja sama, saling menunjang, menyenangkan,belajar penuh gairah, pembelajaran terintregasi, menggunakan berbagai sumber, sharing, dsb. Menggunakan masalah kontekstual dan berbagai model, kontribusi siswa, interaktif, dan keterkaitan dengan dunia nyata siswa Kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, dan belajar penuh gairah mendukung optimalisasi konstribusi siswa. Keduanya berkaitan dengan dunia riil(realitas) siswa Langkah-langkah Terstruktur secara Fleksibel dan demokratik mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan Terstruktur secara Fleksibel mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan Sama-sama fleksibel dalam strukturisasi sintaks pembelajaran, yang penting mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan. Dengan memperhatikan hasil kajian kesetarapan di atas, maka dapatlah di sampaikan beberapa hal antara lain: 1. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia. 2. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut. 3. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut di bawah bimbingan guru yang bertindak sebagai fasilitator. 4. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi. IV. Penutup Dengan melihat nilai-nilai kesetarapan pada tiap-tiap aspek kajian, maka dapat diperoleh hasil kajian kesetarapan pendekatan kontekstual dengan pendekaran Realistic Mathematic Education Kajian. Mudah-mudahan hasil kesetarapan ini sangat bermanfaat bagi para pembaca. Utamanya dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran di Indonesia yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pula prestasi akademik baik dalam mata pelajaran matematika khususnya maupun mata pelajaran lainnya pada umumnya. V. Daftar Pustaka Areds Richards I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands. Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD- Press, the Netherlands. Nur, M., Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press-UNESA. Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Zamzani, 2008. Hanout, Model-model Pembelajaran yang Relevan. Yogjakarta: UNY

IMPLIKASI TEORI PERKEMB. KOGNITIF

1. Kajian teori Piaget tentang perkembangan kognitif Menurut Jean Piaget (1886-1980) manusia tumbuh, beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional, dan perkembangan kognitif. Khususnya perkembangan kognitif sebagian besar bergangtung kepada seberapa jauh anak mampu memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu
struktur, isi dan fungsi. Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan organisme kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Fungsi kedua yang melandasi perkembangan intelektual adalah adaptasi. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya. Piaget mengemukakan dalam teorinya bahwa kemampuan kognitif manusia berkembanga menurut empat tahap dari lahir sampai dewasa. Tahap-tahap tersebut beserta urutannya berlaku untuk semua orang. Akan tetapi usia pada saat seseorang mulai memasuki sesuatu tahapan tertentu selalu sama untuk setiap orang. Keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahap sensori-motor (sensory-motor stage) Tahap sensori motor berlangsung sejak manusia lahir sampai berusia 2 tahun. Pada tahap ini pemahaman anak mengenai berbagai hal terutama bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh beserta alat-alat indera. Sebagai contoh, pada tahap ini anak tahu bahwa di dekatnya ada sesuatu barang mainan kalau ia sentuh barang itu. Pada tahap ini, tanpa menggunakan kegiatan tubuh atau indera, anak belum bisa memahami sesuatu. 2. Tahap pra-operasional (pre-operational stage) Tahap pra-operasional berlangsung dari kira-kira usia 2 tahub sampai 7 tahun. Pada tahap ini, dalam memahami segala sesuatu, anak tidak lagi hanya bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh atau inderanya. Dalam arti anak sudah menggunakan pemikirannya dalam berbagai hal. Akan tetapi, p;ada tahap ini pemikiran anak masih bersifat egosentris. Artinya, pemahamannya mengenai berbagai hal masih terpusat pada dirinya sendiri. Pada tahap ini anak berfikir bahwa orang-orang lain mempunyai pemikiran dan perasaan seperti yang ia alami. Dengan kata lain, pada tahap ini anak belum berpikir secara obyektif, lepas dari dirinya sendiri. Pada tahap ini anak masih kesulitan dalam melakukan pembalikan pemikiran (reversing thought). Pada tahap ini anak masih juga mengalami kesulitan dalam berfikir secara induktif mapun deduktif. Tetapi pada tahap ini anak cenderung berfikir transduktif (dari hal khusus ke hal khusus lainnya), sehingga cara berfikirnya belum tampak logis. 3. Tahap operasi konkret (concrete-operational stage) Tahap ini berlangsung kira-kira dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap ini tingkat egosentris anak sudah berkurang. Dalam arti bahwa anak sudah dapat memahami bahwa orang lain mungkin memiliki pikiran dan perasaan yang berbeda dengan dirinya. Dengan kata lain, anak sudah bisa berfikir secara obyektif. Pada tahap ini anak juga sudah bisa berfikir logis tentang berbagai hal, termasuk yang agak rumit, tetapi dengan syarat bahwa hal tersebut disajikan secara konkret (disajikan dalam wujud yang bisa ditangkap dengan panca indera. Tanpa adanya benda-benda konkret, anak akan mengalami kesulitan dalam memahami banyak hal dan dalam berpikir logis. Sehingga, untuk anak yang berada dalam tahap ini, pengajaran lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat verbal. 4. Tahap operasi formal (formal operational stage) Tahap ini berlangsung kira-kira sejak usia 12 tahun ke atas. Pada tahap ini anak atau orang sudah mampu berfikir secara logis tanpa kehadiran benda-benda konkret; dengan kata lain anak mampu melakukan abstraksi. Akan tetapi, perkembangan dari tahap operasi konkret ke tahap ini tidak terjadi secara mendadak, ataupun berlangsung sempurna. Tetapi terjadi secara gradual. Sehingga bisa terjadi pada tahun-tahun pertama ketika anak berada pada tahap ini. Kemampuan anak dalam berpikir secara abstrak masih belum berkembang sepenuhnya. Sehingga dalam berbagai hal, si anak mungkin masih memerlukan bantuan alat peraga. Di samping itu, ada cukup banyak anak yang memasuki tahap ini lebih lambat daripada anak lainnya. Dengan demikian ada kemungkinan, sekalipun anak sudah berada di bangku SMP, perkembangan kemampuan berfikirnya masih berada pada tahap operasi konkret. Untuk anak yang seperti, pembelajaran yang hanya menekankan pada simbol-simbol dan hal-hal yang bersifat verbal akan sulit dipahami. Oleh karena itu guru perlu memperhatikan secara seksama kemampuan berfikir tiap-tiap siswa, sekalipun usia mereka relatif sama. Agar guru bisa memberikan perlakuan yang sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berpikirnya. Teori Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti: 1. Kematangan (maturation), yaitu pertumbuhan otak dan sistem syaraf manusia karena bertambahnya usia dari lahir sampai dewasa. 2. Pengalaman (experience) yang terdiri dari: a. Pengalaman fisik, yaitu interaksi manusia dengan obyek-obyek dilingkungannya. b. Pengalaman logika matematis, yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia yang bersangkutan. 3. Transmisi sosial, yaitu interaksi dan kerja sama yang dilakukan oleh manusia dengan manusia lainnya. 4. Penyeimbangan (equilibration) yaitu proses struktur mental (struktur kognitif) manusia kehilangan keseimbangan sebagai akibat dari adanya pengalaman-pengalaman atau pembelajaran-pembelajaran baru, kemudian berusaha untuk mencapai keseimbangan baru melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses dimana informasi-informasi dan pengalaman-pengalamana baru diserap (dimasukkan) ke dalam struktur kognitif manusia. Sedangkan akomodasi adalah penyesuaian pada struktur kognitif manusia sebagai akibat dari adanya informasi-informasi dan pengalaman baru yang diserap. Adaptasi merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Jika dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat beradaptasi, maka terjadi ketidakseimbangan (disequili-brium). Akibat ketidakseimbangan ini terjadi akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau timbul struktur baru, barulah terjadi equilibrium. Setelah terjadi equilibrium seseorang berada pada tingkat kognitf yang lebih tinggi dari sebelumnya dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. 2. Kajian teori Vygotsky tentang perkembangan kognitif Teori Vygotsky menekankan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky berpendapat bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi individu dengan orang lain merupakan faktor yang terpenting yang mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang. Sebagai contoh, seorang anak belajar berbicara sebagai akibat dari interaksi anak itu dengan orang-orang disekelilingnya. Terutama orang yang lebih dewasa. Interaksi ini akan memberikan rangsangan dan bantuan bagi anak untuk berkembang. Proses-proses mental yang dilakukan atau dialami oleh seorang anak dalam interaksinya dengan orang lain diinternaslisasi oleh si anak. Dengan cara ini kemampuan kognitif si anak berkembang. Vygotsky berpendapat juga bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila si anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain suasana lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan atau pendampingan seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa, misalnya seorang guru. Menurut Vygotsky, setiap anak mempunyai apa yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development), yang oleh Vygotsky didefinisikan sebagai ”jarak” atau selisih antara tingkat perkembangan si anak yang aktual, yaitu tingkat yang ditandai dengan kemampuan si anak untuk menyelesaikan soal-soal tertentu secara independent, dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi yang bisa dicapai oleh si anak jika ia mendapat bimbingan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten. Dengan kata lain, zone perkembangan proksimal adalah selisih antara apa yang bisa dilakukan seorang anak secara independen dengan apa yang bisa dicapai oleh anak tersebut jika ia mendapat bantuan dari seseorang yang lebih kompeten. Bantuan dari orang yang lebih dewasa dimaksudkan agar si anak mampu untuk mengerjakan soal-soal atau tugas-tugas yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada perkembangan kognitif yang aktual dari anak yang bersangkutan disebut dukungan dinamis atau scaffolding. Bentuk dari bantuan itu dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, penguraian langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, atau segala sesuatu yang dapat mengakibatkan siswa mandiri. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan/kerjasama antar siswa sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap. Dari uraian di atas nampak bahwa kontribusi penting dari Vygotsky adalah pada sifat alami sosiokultural dari pembelajaran. Pembelajaran berlangsung ketika siswa bekerja dalam zone of proximal development . B. IMPLIKASI TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET DAN VIGOTSKY TERHADAP PEMBIMBINGAN PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR MATEMATIKA Implikasi teori Piaget terhadap pembimbingan peserta didik dalam belajar matematika adalah sebagai berikut: 1. Orientasi pembelajaran matematika bukan sekedar pada hasilnya. Pembelajaran matematika lebih dipusatkan pada proses berfikir atau proses mental. Di samping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban itu. 2. Pembimbingan peserta didik dalam pembelajaran matematika dapat dilaksanakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menampilkan perannya dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas, penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak di dorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. 3. Pemakluman akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan diperlukan dalam pembelajaran matematika. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melalui urutan perkembangan yang sama. Namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Implikasi teori Vigotsky terhadap pembimbingan peserta didik dalam belajar matematika adalah bahwa tugas guru adalah menyediakan dan mengatur lingkungan belajar bagi siswa dan mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan, serta memberikan dukungan yang dinamis, sedemikian sehingga setiap siswa berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal masing-masing. C. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran matematika itu memuaskan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, yang tidak sekedar kepada hasilnya, mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika, dan memaklumi perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangannya. Bagi guru matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena menggunakan teori itu, guru akan bisa mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berfikir anak-anak dikelas atau disekolahnya. Dengan demikian guru bisa memberikan perlakukan yang tepat bagi para siswanya. Misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat peraga, dan sebagainya sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berfikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Selain itu guru matematika di SMP perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa atau tidak, dengan mengingat kemampuan berfikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Guru kiranya bisa memanfaatkan baik teori Piaget maupun teori Vygotsky dalam upayanya untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif. Disatu pihak guru perlu mengupayakan setiap siswa berusaha agar bisa mengembangkan dirinya masing-masing secara maksimal, yaitu dengan mengembangkan kemampuan berfikir dan bekerja sama secara independen (sesuai teori Piaget). Di lain pihak, guru perlu juga mengupayakan supaya tiap-tiap siswa aktif berinteraksi dengan siswa-siswa lain dan orang-orang lain di lingkungan masing-masing (sesuai dengan teori Vygotsky). Jika kedua hal ini dilakukan, perkembangan kognitif tiap-tiap siswa akan bisa terjadi secara optimal. REFERENSI: F.J.Monk, dkk.2006. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sarlito Wirawan Sarwono.1998. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tim Direktorat Dikdasmen.2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika Buku 2. Jakarta: Depdiknas

USAHA GURU DALAM MELIBATKAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA A. PENDAHULUAN

Hasil Penelitian The Third International Mathematic and Science Study Repeat (TIMSS-R) pada tahun 1999 menyebutkan bahwa di antara 38 negara, prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika. Sementara hasil nilai matematika pada ujian Nasional, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah.
Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika merupakan induk ilmu pengetahuan dan ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan. Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit, dengan kata lain sebagaimana dituturkan oleh ahli matematika ITB Iwan Pranoto, setiap orang bisa bermatematika. Menurut Iwan, masalah fobia matematika kerap dianggap sangat krusial dibandingkan bidang studi lainnya karena sejak SD bahkan TK, siswa sudah diajarkan matematika. Kalau fisika, baru diajarkan di tingkat SMP. Karena itu, fobia fisika menjadi tidak begitu krusial dibandingkan matematika. Apalagi Kimia yang baru diajarkan ketika tingkat SMA. Pernah dalam suatu diskusi ada pertanyaan unik. Apa kepanjangan dari Matematika? Dalam benak saya, apa ada kepanjangan Matematika, selama ini yang diketahui kebanyakan orang, Matematika adalah tidak lebih dari sekedar ilmu dasar sains dan teknologi yang tentunya bukan merupakan singkatan. Setelah berfikir agak lama hampir mengalami kebuntuan dalam berfikir akhirnya Nara Sumber menjelaskan, bahwa Matematika memiliki kepanjangan dalam 2 versi. Pertama, Matematika merupakan kepanjangan dari MAkin TEkun MAkin TIdak KAbur, dan kedua adalah MAkin TEkun MAkin TIdak KAruan. Dua kepanjangan tersebut tentunya sangat berlawanan. Untuk kepanjangan pertama mungkin banyak kalangan yang mau menerima dan menyatakan setuju. Karena siapa saja yang dalam kesehariannya rajin dan tekun dalam belajar matematika baik itu mengerjakan soal-soal latihan, memahami konsep hingga aplikasinya maka dipastikan mereka akan mampu memahami materi secara tuntas. Karena hal tersebut maka semuanya akan menjadi jelas dan tidak kabur. Berbeda dengan kepanjangan versi kedua, tidak dapat dibayangkan jika kita semakin tekun dan ulet belajar matematika malah menjadi tidak karuan alias amburadul. Mungkin kondisi ini lebih cocok jika diterapkan kepada siswa yang kurang berminat dalam belajar matematika (bagi siswa yang memiliki keunggulan di bidang lain) sehingga dipaksa dengan model apapun kiranya agak sulit untuk dapat memahami materi matematika secara tuntas dan lebih baik mempelajari bidang ilmu lain yang dianggap lebih cocok untuk dirinya dan lebih mudah dalam pemahamannya. Terkait dengan rasa apriori berlebihan terhadap matematika ditemukan beberapa penyebab fobia matematika di antaranya adalah yang mencakup penekanan belebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal ini, peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya peran guru dalam mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnya, pengajaran matematika terfokus pada hitungan aritmetika saja, maka saat ini, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematis. Sekedar diketahui bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian karena bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu, materi matematika bukan lagi sekadar aritmetika tetapi beragam jenis topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Dari aspek psikologi, menurut psikolog Alva Handayani, peranan orang tua pun dibutuhkan untuk mengatasi fobia matematika. Menurutnya, mengajar matematika bukan sekadar mengenal angka dan menghafalnya namun bagaimana anak memahami makna bermatematika. Orang tua harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi, observasi dalam keadaan rileks. Para orang tua tidak perlu khawatir dengan kemampuan matematika para putra-putri mereka. Yang terpenting dalam menumbuhkan cinta anak pada matematika adalah terbiasanya anak menemukan konsep matematika melalui permainan dalam suasana santai di rumah dalam rangka mempersiapkan masa depan anak. Jika anak sering menemukan orang tua menggunakan konsep matematika, anak akan menangkap informasi tersebut dan akan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, pengaturan uang saku dan tabungan hingga pengaturan jadwal kereta api atau penerbangan, Tetapi, yang penting untuk diketahui dan dijadikan pegangan adalah bahwa matematika itu merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains (basic of science) dan sangat berguna dalam kehidupan. Dalam perdagangan kecil-kecilan saja, orang dituntut untuk mengerti aritmetika minimal penjumlahan dan pengurangan. Bagi pegawai/karyawan perusahaan harus mengerti waktu/jam, Bendaharawan suatu perusahaan harus memahami seluk beluk keuangan. Ahli agama, politikus, ekonom, wartawan, petani, ibu rumah tangga, dan semua manusia sebenarnya dituntut menyenangi matematika yang kemudian berupaya untuk belajar dan memahaminya, mengingat begitu pentingnya dan banyaknya peran matematika dalam kehidupan manusia. Fakta menunjukkan, tidak sedikit siswa sekolah yang masih menganggap matematika adalah pelajaran yang bikin stress, membuat pikiran bingung, menghabiskan waktu dan cenderung hanya mengotak-atik rumus yang tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya, matematika dipandang sebagai ilmu yang tidak perlu dipelajari dan dapat diabaikan. Selain itu, hal ini juga didukung dengan proses pembelajaran di sekolah yang masih hanya berorientasi pada pengerjaan soal-soal latihan saja. Hampir belum pernah dijumpai proses pembelajaran matematika dikaitkan langsung dengan kehidupan nyata. Pandangan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah tentang kondisi pendidikan di Indonesia dalam sebuah media cetak adalah (1) produk pendidikan Indonesia masih kurang memenuhi harapan, (2) hal lain yang urgen untuk dibahas serius dan terbuka adalah persoalan metode pengajaran atau persoalan yang berkaitan dengan kualitas guru, (3) metode pengajaran diharapkan sesuai dengan tuntutan jaman, (4) agar guru dan murid lebih aktif, kreatif, mandiri dan berfikir problem solving, (5) pendidikan tidak berorientasi pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek kognitif saja, melainkan juga harus berorientasi pada cara anak didik dapat belajar dari lingkungan, pengalaman dan kehebatan orang lain, serta kekayaan dan luasnya hamparan, sehingga mereka dapat mengembangkan sikap kreatif dan daya fikir imajinatif (Media Indonesia dalam Dwi Astuti, 2003) Akibat dari permasalahan pendidikan di atas maka wajar jika siswa di Indonesia kebanyakan pasif atau kurang terlibat dalam pembelajaran matematika. B. PERMASALAHAN Menyikapi hal tersebut di atas, menurut hemat penulis dalam rangka menyelamatkan nyawa matematika, maka satu hal yang segera dilakukan adalah bagaimana membuat siswa dapat terlibat aktif dalam pembelajaran matematika? C. USAHA GURU DALAM MELIBATKAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Secara umum, tugas guru matematika di antaranya adalah: Pertama, bagaimana materi pelajaran itu diberikan kepada siswa sesuai dengan standar kurikulum. Kedua, bagaimana proses pembelajaran berlangsung dengan melibatkan peran siswa secara penuh dan aktif, dalam artian proses pembelajaran yang berlangsung dapat berjalan dengan menyenangkan. Merupakan tantangan bagi guru matematika untuk senantiasa berpikir dan bertindak kreatif di tengah kegelisahan dan keterpurukan nasib guru. Namun, penulis yakin masih banyak pendidik yang menanggapi kelesuan hidup tersebut dengan sikap optimistik dan penuh tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban sebagai guru. Tugas yang kedua ini berkaitan erat dengan permasalahan di atas. Usaha yang dapat ditempuh guru dalam melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran matematika antara lain: 1. Menerapkan Model Pembelajaran yang Efektif Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama, yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Ketiga komponen tersebut pada akhirnya bermuara pada area proses dan model pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki nilai relevansi dengan pencapaian daya matematika dan memberi peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana belajar mandiri selain dapat menarik perhatian siswa dan sejauh mungkin memanfaatkan momentum kemajuan teknologi khususnya dengan mengoptimalkan fungsi teknologi informasi. Agar tujuan pembelajaran Matematika dapat tercapai maksimal, maka harus diupayakan agar semua siswa lebih mengerti dan memahami materi yang diajarkan daripada harus mengejar target kurikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Dalam prakteknya, pembelajaran berorientasi pada siswa ini dapat dilaksanakan dengan cara pendampingan siswa satu persatu atau per kelompok. Penjelasan materi dan contoh pengerjaan soal diberikan secara klasikal di depan kelas. Kemudian ketika siswa mengerjakan latihan soal guru (beserta asistennya) keliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Tugas guru adalah membantu siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sampai benar. Siswa yang pandai akan mendapat perhatian yang kurang sementara siswa yang lemah akan mendapat perhatian yang lebih intensif. Hal yang paling esensial ketika mendampingi (terutama bagi yang berkemampuan rendah) adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri siswa bahwa saya (baca: siswa) bisa dan mampu mengerjakan soal. I can do it. Guru harus berusaha menghilangkan persepsi dalam diri siswa bahwa matematika itu sulit dan mengusahakan agar siswa memiliki pengalaman bahwa belajar matematika itu mudah dan menyenangkan. Kiranya model pembelajaran ini dapat berjalan efektif jikalau kapasitas siswa setiap ruang adalah berkisar 15 - 20 siswa. Tetapi jika lebih, maka pembelajaran model yang demikian tetap dapat berlangsung namun harus dibantu oleh beberapa guru atau asisten. 2. Menerapkan Penilaian Kelas yang Memotivasi Siswa Pada umumnya guru di dalam menilai siswa didasarkan kepada nilai tes formatif baik itu nilai ulangan harian, nilai ulangan tengah semester maupun nilai ulangan akhir semester. Yang terjadi adalah siswa yang berkemampuan kognitif rendah maka selamanya akan dinilai rendah. Begitu sebaliknya, siswa yang berkemampuan kognitif tinggi maka selamanya akan dinilai tinggi. Sebab nilai tes formatif yang selama ini dilaksanakan berbanding lurus dengan kemampuan kognitif. Keaktifan siswa yang berkaitan dengan kemampuan afektif dan psikomotorik dalam hal ini lepas dari penilaian. Jika ini yang terjadi, maka siswa selain dirugikan juga kurang termotivasi dalam belajar. Penilaian kelas seharusnya dapat mengukur semua kemampuan siswa. 3. Melakukan Pengelolaan Kelas yang Tepat Usaha selanjutnya adalah mengusahakan bagaimana agar suasana ruang kelas yang digunakan untuk belajar siswa adalah kondusif. Dengan kata lain tata letak perabot kelas tidak harus diatur secara formal. Sering kita jumpai, ada siswa yang malas belajar ketika harus duduk tenang dan serius. Mereka lebih senang dan nyaman ketika belajar sambil tidur-tiduran di atas karpet. Menyikapi hal ini guru sebaiknya memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar atau mengerjakan soal latihan di atas bangku atau di lantai. Ada juga siswa yang dalam belajarnya harus mendengarkan musik. Memang, musik tidak berkaitan langsung dengan matematika. Musik bukan merupakan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Namun musik memainkan peran dalam membantu untuk menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Musik hanya merupakan pengiring ketika para siswa mengerjakan soal. Sehingga musik dapat membuat siswa lebih nyaman ketika belajar matematika. Namun, dalam hal ini etika dan menghargai teman lain juga perlu diperhatikan. Rasanya tidak mungkin jika dalam satu kelas tersebut lalu guru memberi kebebasan kepada siswa membawa tape, radio yang berukuran besar. Tapi, hal ini dapat dilakukan misalnya memberi izin kepada siswa untuk menggunakan walkman, atau lainnnya yang penting tidak mengganggu konsentrasi siswa lainnya. Selain tersebut, dijumpai juga siswa yang senang ngemil atau makan-makanan yang ringan seperti permen, kerupuk atau lainnya. Menyikapi siswa yang demikian tentunya guru juga tidak dapat melarang serta merta kepada siswa untuk makan di dalam kelas. Pada intinya, apapun yang dapat menjadikan siswa nyaman dan senang untuk belajar matematika sebaiknya oleh sang guru tidak dilarang secara keras. Berikan kebebasan bergerak dan befikir kepada siswa yang tentunya juga tetap dalam batas-batas kewajaran. 4. Penampilan guru yang hangat dan menumbuhkan partisipasi positif. Sikap guru tampil hangat, bersemangat, penuh percaya diri dan antusias, serta dimulai dan pola pandang bahwa siswa adalah manusia-manusia cerdas berpotensi, merupakan faktor penting yang akan meningkatkan partisipasi aktif siswa. Segala bentuk penampilan guru akan membias mewarnai sikap para siswa. . Apabila tampilan guru sudah tidak bersemangat, jangan harap akan tumbuh sikap aktif pada diri siswa. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya dapat dan selalu menunjukkan keseriusannya terhadap pelaksanaan KBM, serta dapat meyakinkan bahwa materi pelajaran serta kegiatan uang dilakukan merupakan hal yang sangat penting bagi peserta didik, sehingga akan tumbuh minat yang kuat pada diri siswa. 5. Memberi tahu siswa tentang maksud dan tujuan pembelajaran. Apabila siswa mengetahui maksud atau tujuan dari pembelajaran yang sedang mereka ikuti, mereka akan terdorong untuk melaksanakan kegiatan tersebut secara aktif. 6. Menyediakan fasilitas, sumber belajar, dan lingkungan yang mendukung. Apabila di dalam kegiatan pembelajaran matematika telah tersedia fasilitas dan sumber belajar yang menarik dan cukup untuk mendukung kelancaran KBM, hal itu akan menumbuhkan semangat belajar siswa. Demikian pula faktor kondisi dan situasi lingkungan yang juga penting untuk diperhatikan. Jangan sampai faktor itu memperlunak semangat dan keaktifan peserta didik dalam kegiatan belajar. 7. Menerapkan prinsip pengakuan penuh atas pribadi setiap siswa. Agar kesadaran akan potensi, eksistensi, dan percaya diri pada siswa dapat terus tumbuh, guru berkewajiban ,emjaga situasi interaksi agar dapat berlangsung dengan berlandaskan prinsip pengakuan atas pribadi setiap individu. Sehingga kemampuan individu, pendapat atau gagasan, maupun keberadaannya perlu diperhatikan dan dihargai. Hal penting lainnya adalah guru hendaknya rajin memberikan apresiasi atau pujian bagi siswa antara lain dengan mengumumkan hasil prestasi, mengajak siswa yang lain memberi selamat atau tepuk tangan, memajang hasil karyanya di kelas atau bentuk penghargaan lainnya. 8. Mewujudkan konsistensi dalam penerapan aturan atau perlakuan oleh guru di dalam pembelajaran matematika. Apabila terjadi kesalahan dalam hal perlakuan oleh guru di dalam pengelolaan kelas pada waktu yang lalu, hal tersebut berpengaruh negatif terhadap kegiatan selanjutnya. Penerapan peraturan yang tidak konsisten, tidak adil, atau kesalahan perlakauan yang lain akan menimbulkan kekecewaan dari para siswa, dan hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat keaktifan belajar peserta didik. Oleh karena itu, di dalam memberikan sanksi harus sesuai dengan ketentuannya, memberi nilai sesuai kriteria, dan memberi pujian tidak pilih kasih. 9. Memberikan penguatan dalam KBM Penguatan adalah pemberian respons dalam interaksi belajar mengajar, baik berupa pujian maupun sanksi. Pemberian penguatan ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keaktifan belajar dan mencegah terulangnya kesalahan dari siswa. Penguatan bersifat positif dapat dilakukan dengan kata-kata: Bagus!, Baik !, Betul!, Hebat! Namun semua itu tidak disajikan dengan cara berpura-pura, tetapi harus tulus dari nurani guru. Pemberian penguatan dapat juga dengan gerak; acungan jempul, tepuk tangan, menepuk bahu, menjabat tangan dan lain-lain. Ada pula dengan cara memberi hadiah, seperti hadiah buku, benda kenangan atau diberi hadiah khusus berupa boleh pulang duluan atau pemberian perlakuan menyenangkan lainnya. 10. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan menantang. Agar siswa dapat tetap aktif dalam mengikuti kegiatan atau melaksanakan tugas pembelajaran, perlu dipilih jenis kegiatan atau tugas yang sifatnya menarik atau menyenangkan bagi siswa di samping juga bersifat menantang. Pelaksanaan kegiatan hendaknya bervariatif, tidak selalu harus di dalam kelas, misalnya siswa diberikan tugas yang dikerjakan diluar kelas seperti diperpustakaan, dan lain-lain. Penerapan model” belajar sambil bekerja” (learning by doing) sangat dianjurkan. Bahkan dijenjang sekolah dasar. Pembelajaran matematika dapat saja dilakukan sambil bernyanyi atau belajar sambil bermain. Untuk lebih mengaktifkan siswa secara merata dapat diterapkan pemberian tugas secara individu atau kelompok belajar (group learning) yang didukung oleh adanya fasilitas/sumber belajar yang cukup. Sekiranya tersedia, dianjurkan penggunaan media pembelajaran sehingga pelaksanaan pembelajaran matematika dapat lebih efektif. D. PENUTUP Menyelenggarakan pembelajaran matematika secara nyaman dan dapat membuat siswa terlibat aktif untuk mengikutinya merupakan hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi untuk menuju bangsa yang berkemampuan unggul dalam Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan mempraktekkan strategi pembelajaran di atas diharapkan nyawa matematika dapat terselamatkan. Dengan kata lain, siswa tidak lagi terjangkit penyakit fobia matematika. Dengan demikian siswa menjadi senang untuk belajar matematika yang tentunya akan berdampak pada penguasaan dan pemahaman terhadap materi matematika yang merupakan ilmu dasar untuk pengembangan sains dan teknologi. DAFTAR PUSTAKA Campbell, L&B and DeeDickinson.1992. Teaching and Learning Through Multiple Intelligences. New York: New Horison for Learning. Deporter, Bobbi.1999. Quantum Learning. Bandung : Penerbit Kaifa Gardner, Howart. 1985. Frames of Mind : The Teory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books. Ibrahim, Muslimin, dkk. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA-University Press. Masbur Muslich.2007. KTSP, Dasar Pemahaman Dan Pengembangan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Nurhadi.2002. Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual.Jakarta: Depdiknas. Puskur dan Balitbang.2002. Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Slavin, Robert. 1995. Cooperative Learning Theori, Research and Practice. New York. John Hopkins University. Sudjana, Nana. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suparno, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Filsafat. Sofyan, Herminanto.2005. Makalah Persentasi: Mendeteksi Potensi Siswa. Jakarta: Depdiknas. Sanjaya, Wina.2006. Strategi Pembelajaran. Bandung: Prenada Media Group

SELAMAT DATANG DI BLOG FORUM ILMIAH GURU KAB. BATANG

Alasan saya membuka blog ini , selain tugas saya sebagai sekbid.pengembangan profesi di Forum Ilmiah Guru adalah juga sebagai salah satu wahana untuk sharing komunikasi tentang kegiatan ilmiah guru yang berkaitan langsung dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di kabupaten Batang. Mulai dari pembicaraan bagaimana pembelajaran berkualitas dilaksanakan, kegiatan MGMP dan Lesson Study, sampai pada bagaimana seharusnya guru membuat Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Baik berupa Artikel, Makalah, KTI, dan sebagainya. Dalam blog ini rencana akan saya sajikan semua Naskah PTK hasil LKTI pada kegiatan Forum Ilmiah Guru Tahun 2007 dan 2008. Demikian juga untuk kegiatan-kegiatan lain seperti Lomba Inovasi Pembelajaran, Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran, Lomba Pembelajaran Berbantuan Komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya baik yang di adakan Depdiknas, LPMP, ITSF, dan pihak-pihak penyandang dana penelitian/penggagas lomba lainnya. Saya optimis bahwa sangatlah mungkin guru-guru di kabupaten Batang nantinya mampu berkompetensi dalam kegiatan Ilmiah. Terbukti selama dua tahun mengadakan FIG, wakil dari Batang mampu menyumbang nama harun bagi Pemerintah Kab. Batang. Peserta dari Batang banyak yang memperoleh kejuaraan di tingkat Propinsi. Semua berkat kerja sama dan kinerja yang optimal dari guru dan pengurus FIG Kab. Batang. Trimakasih anda ikut berkarya, mari kita bangun Batang tercinta ini.