Jumat, 25 Desember 2009

Pembentukan Karakter Anak-anak dan Kekerasan

Oleh Sitta R Muslimah

Rentang masa perkembangan anak semestinya dipenuhi kegembiraan sehingga berpengaruh positif bagi jiwanya. Akan tetapi, kecemasan dan ketakutan anak sekarang hadir di mana-mana: di sekolah, di jalanan, bahkan di rumah yang dihuni orangtuanya sekalipun. Kak Seto, dalam suatu kesempatan, pernah mengklaim bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua mencapai angka 80 persen.

Saya pikir, ketika anak akrab dengan kekerasan, ancaman kehilangan jati diri, kepercayaan, dan kemandirian dalam dirinya akan menghilang. Maka, menciptakan lingkungan yang menenteramkan anak adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Sebab, tanpa situasi tenteram dan tenang, anak akan merasa tertekan sehingga berakibat pada terganggunya perkembangan jiwa.

Jangan heran jika pribadi anak pada masa mendatang akan
memantulkan laku yang keras dan otoriter. Ia akan berubah menjadi warga keras, tidak toleran, pendendam, dan antisosial. Bahkan, timbul fanatisme berlebihan terhadap keyakinannya sehingga ia menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang mengarah pada kekerasan.

Kekerasan terhadap anak secara fisik atau psikis adalah perilaku masyarakat jahiliyah dan tidak berbudaya. Melakukan kekerasan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa anak sehingga harus kita redam. Mencaci, berkata-kata kotor, tidak sopan, dan menjewer anak akan membentuknya menjadi seorang anak yang tidak disiplin. Paling berbahaya lagi, kekerasan fisik dan psikis terhadap anak akan melahirkan generasi yang menyelesaikan sengketa dengan kekerasan juga.

Pelanjut bangsa

Dari sisi sumber daya manusia, anak adalah generasi penerus berlanjutnya suatu bangsa dan kelompok strategis yang harus diperhatikan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun. Saat ini, dengan jumlah penduduk berusia kurang dari 18 tahun sekitar 68 juta jiwa atau 30 persen, diperlukan perhatian yang tidak sekadar tertuang dalam bentuk peringatan rutin tahunan, misalnya Hari Anak saja.

Perhatian harus berlanjut sepanjang hayat dalam memperlakukan anak dengan cara yang baik dan beradab tanpa kekerasan. Menurut mantan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Peranan Wanita Rachmat Sentika (2007), kunci utama untuk menjadikan anak sebagai potensi negara dalam rangka keberlangsungan hidup dan kejayaan bangsa adalah komitmen pemerintah untuk menjadikannya prioritas utama pembangunan.

Menurut dia, upaya merealisasikan harapan bangsa untuk mencetak generasi penerus bangsa di Indonesia adalah menciptakan lingkungan yang mengutamakan perlindungan bagi anak, menghidupkan nilai dan tradisi yang memajukan harkat dan martabat anak, serta mengeksplorasi dan memobilisasi sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan perlindungan anak (www.kapanlagi.com).

Oleh karena itu, Indonesia sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang peduli terhadap anak. Sebab, pemimpin bangsa yang arif dan bijaksana berasal dari seorang anak yang sehat jiwa dan fisik. Ketika kita banyak memperlakukan anak-anak secara keras, berarti kita gagal membentuk generasi penerus bangsa. Pada posisi ini, anak adalah mustika atau mutiara berharga yang sering kita cari untuk dijadikan tumpuan berharap atas membaiknya Indonesia ke depan.

Pendidikan kasih sayang

Bu Muslimah, tokoh dalam novel Laskar Pelangi, yang sejak tanggal 25 September 2008 difilmkan, adalah potret seorang guru yang mendidik muridnya dengan kasih sayang. Akrab, tidak canggung, dan merasa seperti anak sendiri ketika mengajar muridnya seharusnya menginspirasi guru, orangtua, dan pejabat negara untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak. Jadi, upaya menciptakan kondisi jiwa anak yang sehat sehingga kelak mereka bisa berkontribusi untuk negara adalah menggagas pendidikan kasih sayang.

Hal itu merupakan salah satu bentuk pendidikan yang tidak hanya mengurus kemampuan intelektual siswa dan anak kita. Secara pribadi, saya sangat terharu dengan metode pendidikan kasih sayang yang diberikan Bu Muslimah kepada Harun, seorang murid yang mentalnya terbelakang. Beliau memberikan rapor khusus kepada Harun meskipun menurut standar pendidikan nasional ia tidak dapat dikategorikan sebagai murid yang pantas naik kelas. Maka, bagi guru dan orangtua di rumah, ketika anak-anak kita tidak mampu mencapai prestasi seperti yang kita inginkan, jangan lantas bertindak keras.

Teruslah memberikan motivasi dan bimbingan tanpa mengebiri kegembiraan anak-anak sebagai upaya mempraktikkan pendidikan kasih sayang di lingkungan sendiri. Kita tidak boleh seperti guru otoriter dan keras yang selalu menghukum muridnya ketika mereka tidak bisa menyelesaikan soal secara benar dan tepat. Kita tidak boleh juga seperti ayah dan ibu yang selalu overprotective karena ingin anaknya berprestasi tanpa mengindahkan kondisi mentalnya.

Untuk kepentingan anak seharusnya kita memberikan pendidikan yang bisa diterima anak tanpa merasa terpaksa. Ingat, proses pendidikan adalah wahana untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak, yang awalnya tidak tahu menjadi tahu. Ketika kita ingin semua murid atau anak kita pintar secara akademik, tanpa melihat potensi yang lain, itu sama saja dengan mendidiknya secara keras. Itulah kiranya yang tak pantas kita lakukan ketika mengelola anak-anak, titipan Tuhan, untuk kemajuan bangsa pada masa mendatang.

Oleh karena itu, mari kita perangi kekerasan anak dengan menggagas pendidikan kasih sayang bagi mereka. Mudah-mudahan dengan pendidikan kasih sayang mereka mampu menjadi generasi pelanjut bangsa yang selalu menyebarkan kebajikan bagi orang-orang di sekitarnya. Amin.

SITTA R MUSLIMAH Pemerhati Masalah Perkembangan Anak, Tinggal di Bandung


Kamis, 26 November 2009

Tinjau Ulang Ujian Nasional

Kompas:Kamis, 26 November 2009 | 03:26 WIB

Oleh Anita Lie

Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional.

Kasasi yang diajukan pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan ujian nasional dinyatakan ditolak MA (Kompas, 25/11/2009). Keputusan MA ini menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang esensi pendidikan daripada yang ditunjukkan Depdiknas yang bersikukuh melaksanakan ujian nasional.


Berbagai argumentasi sudah dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan ujian nasional. Sementara pemerintah masih akan kembali melakukan upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali. Sebaiknya semua pihak yang terlibat proses hukum ini bersikap arif dan mempertimbangkan realitas penyelenggaraan ujian nasional dan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan.

Indikator mutu

Hasil ujian nasional bukan indikator mutu pendidikan. Model assessment seperti dalam ujian nasional (mengambil bentuk pilihan ganda untuk kemudahan administrasi) menguji kemampuan menghafal fakta dan kemampuan berpikir konvergen. Sementara berbagai persoalan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir divergen, kreativitas, keterampilan memecahkan masalah, daya analisis, dan kemampuan mendesain.

Penetapan standar nasional pendidikan dan evaluasi berdasar ujian nasional dilandasi mitos, ketakutan, dan kelatahan. Dalam berbagai forum pendidikan, perbandingan antarnegara berupa hasil tes anak sekolah sering ditampilkan dan dijadikan alasan pembenaran penyelenggaraan ujian nasional yang diharapkan memacu prestasi dan daya saing global.

Tampaknya, ketakutan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di AS. Dalam buku barunya, Catching Up or Leading the Way, Prof Yong Zhao asal China yang mengajar di Michigan State University menyayangkan kebijakan No Child Left Behind (NCLB) oleh pemerintahan George W Bush yang mengharuskan ujian matematika, bahasa, dan sains secara nasional. Kebijakan ini dianggap sebagai kediktatoran di bidang pendidikan. Penghargaan terhadap sekolah yang siswanya berhasil dalam ujian nasional dan sebaliknya sanksi terhadap sekolah yang tidak berhasil telah menimbulkan ketersesatan dalam praktik pendidikan.

Buku ini merupakan hasil penelitian Yong Zhao terhadap pendidikan di China. Ironis, China, yang dulu amat menekankan perolehan pengetahuan dengan penghafalan fakta, menyadari kekeliruan. Pada dekade terakhir ini China mulai beralih pada proses pendidikan yang mendorong kreativitas. China mengakui dan mengagumi sistem pendidikan AS yang berhasil mengantar pemikir, ilmuwan, dan pejuang HAM melalui penghargaan terhadap kreativitas. Justru pada pemerintahan Bush, mutu pendidikan direduksi menjadi hasil ujian standar.

Apakah kebijakan ujian nasional di Indonesia terinspirasi dan didorong oleh ketakutan serupa seperti terjadi di AS? Apa pun latar belakangnya, kebijakan ujian nasional sebagai penentu kelulusan dan indikator keberhasilan institusi pendidikan atau suatu kabupaten/kota harus ditinjau ulang karena telah menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat dalam praktik pendidikan.

Kerusakan dalam sistem

Yang diuntungkan oleh kebijakan ujian nasional adalah pengelola bimbingan belajar dan penerbit buku-buku soal. Yang menyedihkan adalah ketergelinciran sebagian stakeholders pendidikan dalam menyikapi kebijakan ujian nasional. Proses di kelas 6, 9, dan 12 berubah menjadi kegiatan bimbingan belajar. Bahkan banyak sekolah sudah mengundang masuk dan meng-outsource-kan pendidikan siswa kepada bimbingan belajar. Yang paling tragis, pendidik terjerumus dalam tindakan tercela, mulai dari pencurian soal, mengganti jawaban siswa, memberi contekan kepada siswa, hingga membiarkan siswa mencontek.

Keterjerumusan ini juga terjadi di AS. Steven Levitt dan Stephen Dubner (Freakonomics) mencermati perilaku para guru di sekolah-sekolah negeri di Chicago yang menampung 400.000 siswa setiap tahun. Data 30.000 siswa per tahun dalam bentuk 100 juta jawaban pada ujian pilihan ganda matematika dan membaca, dianalisis dengan menggunakan algoritma. Ditemukan beberapa kejanggalan pola jawaban yang mengarah pada kecurangan yang dilakukan guru (mengganti jawaban siswa). Penelitian ini berujung pada pembuktian 5 persen guru di Chicago terlibat kecurangan. Dalam penelitian lain terhadap para guru di Negara Bagian North Carolina, 35 persen guru menyatakan mereka menyaksikan rekannya bertindak curang untuk ”meluluskan” siswanya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sebenarnya kasus-kasus serupa sudah diungkap di berbagai tempat. Pejabat pendidikan di tingkat nasional dan daerah menganggap enteng masalah ini dan menganggapnya sebagai kasus kecil dan tidak berarti. Mungkinkah kasus-kasus kecurangan dan manipulasi ujian nasional di Indonesia diungkap secara gamblang dan transparan? Bisa saja penguasa pendidikan melindungi dan menjaga ketat data ini sehingga kita tidak pernah tahu secara akurat, seberapa jauh kerusakan telah terjadi dalam sistem.

Namun, beberapa kasus, di mana guru tertangkap basah bertindak curang dan telah diungkap di media, sudah cukup untuk menyatakan kebijakan ujian nasional harus ditinjau ulang. Guru, sosok yang patut digugu lan ditiru, justru memberi contoh ketidakjujuran karena adanya tekanan sistemik berdasar ujian nasional. Ini merupakan tragedi nasional dan penjungkirbalikan esensi pendidikan.

Anita Lie Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya; Anggota Komunitas untuk Demokrasi




Rabu, 25 November 2009

COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION

COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VIII SEMESTER 1 PADA MATERI POKOK FAKTORISASI SUKU-SUKU ALJABAR
(ACTION RESEARCH CLASS ROOM)

Oleh
Hidayati
Guru SMP Negeri I Pringsurat Temanggung 56272
E_mail : hdyt_tmg@yahoo.com

KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) merupakan satu dari sekian banyak usaha pemerintah untuk digunakan sebagai landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkesinambungan. KBK muncul ke permukaan sebagai alternatif kurikulum yang konsepnya menawarkan otonomi pada sekolah (Kurikulum Berbasis Sekolah) yang mengarah kepada KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).Dalam KBK kompetensi dan materi pokok masih bertaraf standar Internasional, perlu dijabarkan oleh daerah atau sekolah menjadi silabus dan rencana pelajaran yang pembelajarannyapun harus mencakup materi lokal yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan potensi daerah setempat.

Team Assisted Individualization memerlukan guru yang mampu menjabarkan serangkaiam materi pembelajaran yang memilikki kekhasan yang pelaksanaannya ditunjukkan oleh model pembelajaran Team Assisted Individualization yang terdiri atas 8 komponen yaitu: Teams, Placement Test,Work Sheet, Team Study, Team Scores and Team Recognition, Teaching Group, Fact Test,Whole – Class Unit.
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Action Research Class Room/CRAR) yang dilaksanakan pada SMP Negeri I Pringsurat Temanggung 56272 dengan tujuan utama meningkatkan prestasi belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran Team Assisted Individualization.
Key Words: KBK,KTSP,Team Assisted Individualization,prestasi belajar siswa.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK adalah salah satu dari pilihan pemerintah Indonesia yang digunakan sebagai upaya dalam menentukan landasan dan pengembangan bagi pendidikan di Indonesia, agar lebih berkualitas dan berdaya kesinambungan yang tinggi. Kurikulum yang konsepnya menawarkan otonomi pada sekolah yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Sekolah adalah KBK yang dimunculkan ke permukaan sebagai salah satu pilihan yang diarahkan kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP). Materi Pokok dan kompetensi yang ada pada KBK masih bertaraf Standar Internasional.Karena itu kompetensi dan materi pokoknya harus dijabarkan oleh daerah atau sekolah menjadi silabus dan rencana pelajaran yang terinci.Pembelajarannyapun harus mencakup pada materi lokal (sekolah) yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan potensi daerah setempat.
Berkaitan dengan hal diatas Model Pembelajaran Team Assisted Individualization diharapkan mampu menolong keadaan yang ada pada kelas yang akan dilakukan tindakan.
Situasi terkini, pada sekolah-sekolah yang sudah mengimplementasikan KBK dapat dilihat pada masih banyaknya hal-hal yang harus dibenahi.Terutama perlu ditelaah kembali proses pembelajaran-proses pembelajaran dikelas yang praktiknya,pada pokoknya, harus mengedepankan pada mempersiapkan peserta didik untuk berpartisipasi didalam pembelajaran aktif di kelas secara kontinyu dan bertanggung jawab pada pembelajaran mereka masing-masing, agar kelak mampu terjun ke dunia kehidupan bermasyarakat sesuai tuntutan KBK,yang akan sangat berbeda, jika peran guru yang sangat dominan seperti selama ini dialihkan menjadi lebih sebagai fasilitator.
Peserta didik pada saat ini dibayang-bayangi ketakutan akan tuntutan-tuntutan mengejar nilai UAN yang tinggi,sehingga perannya sebagai peserta didik yang harus bukan sebagai penerima informasi saja terlupakan, maka diperlukan guru yang mampu mengedepankan kebutuhan peserta didik akan saling berperan serta di dalam proses pembelajaran aktif di kelas, terpenuhi.
Selain mempersiapkan peserta didik untuk mampu terjun ke dunia kehidupan masyarakat, KBK juga menuntut para guru mampu mempersiapkan peserta didiknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. SMP (Sekolah Menengah Pertama) adalah salah satu lembaga pendidikan dasar yang mempersiapkan para peserta didiknya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.Karena itu pengaruh yang sangat menentukan untk penguasaan konsep-konsep materi matematika pada jenjang selanjutnya (menengah ke atas) dimulai dari penguasaan konsep-konsep materi matematika pada tingkat dasar,dalam hal ini SMP. Penanaman konsep-konsep materi matematika memerlukan waktu yang sedini mungkin untuk menolong para peserta didik mengatasi kesulitan dan mampu menyelesaikan masalah sejak awal.
Materi Pokok Faktorisasi Suku Aljabar yang diberikan pada kelas VIII semester 1 membahas tentang pemfaktoran suku-suku aljabar.Untuk menyelesaikan masalah pada latihan-latihan yang disodorkan diperlukan ketrampilan-ketrampilan pendukung seperti kemampuan mengkuadratkan, menarik akar, membagi atau mengalikan bilangan positif dan negatif atau sebaliknya,kemampuan numerik dan kemampuan dalam menyelesaikan persamaan.Pada umumnya kesulitan yang dihadapi peserta didik dalam menyelesaiakan faktorisasi suku alajabar terletak pada pemahaman soal pada menarik akar,dan membagi atau mengalikan bilangan positif dan negatif atau sebaliknya. Peserta didik kurang mampu menarik akar dengan cepat,serta peserta didik kurang mampu mengalikan dan membagi bilangan positif dan negatif atau sebaliknya dengan cepat pula.Kesulitan-kesulitan peserta didik seperti itu memerlukan pengkomunikasian dengan peserta didik lainnya atau dengan guru.
Secara spesifik Slavin,Robert.E. (1995:2) mendefinikasikan Pembelajaran Kooperatif adalah sebagai metode belajar yang memungkinkan peserta didik bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil yang memilikki tingkat kemampuan yang berbeda dan saling berinteraksi dalam kelompok.Didalam pembelajaran Kooperatif pesaerta didik terdiri atas 4 sampai 6 orang belajar bersama ,mengerjakan tugas bersama didalam kelompok yang anggotanya heterogen. Setiap anggota saling membantu didalam memecahkan masalah atau mempelajari sesuatu.
Selanjutnya Slavin, Robert.E.(1995:98) menulis di dalam bukunya berjudul Cooperative Learning: Theory,Research and Practice, bahwa:”TAI was created to take advantage of the considerable socialization potential of cooperatif learning.Previous studies of group-paced cooperative learning methods on such outcome as relation and attitudes toward mainstreamed academically handicapped students”. Pernyataan diatas mengartikan bahwa TAI melatih para peserta didik untuk bersosialisai,dalam arti lain lagi dari keseluruhan model pembelajaran kooperatif maka TAI yang paling berpotensi untuk melatih peserta didik bersosialisasi dan membantu diketemukannya hubungan dan sikap yang positif bagi peserta didik yang berkemampuan akademik kurang.
Faktorisasi suku aljabar memerlukan kerjasama yang tinggi agar para peserta didik termotivasi dan bersemangat untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan lebih mengedepankan peran masing-masing anggota secara individual dengan tidak mengesampingkan peran didalam aspek-aspek kooperatif. TAI mempunyai ciri khas tersendiri yang berbeda dari tipe-tipe Cooperative Learning yang lain seperti JIGSAW,TGT,STAD dan yang lainnya.Ada 8 komponen dari TAI yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang digunakan untuk merangkai materi pembelajaran yaitu: Teams (pembentukan kelompok), Placement test (test-test penempatan), Work Sheet (lembar kreatifitas siswa), Team Study (belajar kelompok), Teams Scores and Team Recognition (Skoring Kelompok dan Pengakuan Kelompok), Teaching Group (kelompok-kelompok pembelajaran), Facta Test (tes-tes fakta), Whole - Class Unit (unit-unit kelas secara keseluruhan).
Pada 8 komponen dari TAI diupayakan dapat mendukung motivasi dan semangat para peserta didik untuk bersosialisasi dan membangun hubungan dan sikap yang mengarah kepada peningkatan kemampuan akademik yang positif dan hasil prestasi belajar yang tinggi.
Peserta didik yang dipilih adalah kelas VIII SMP Negeri I Pringsurat tahun pelajaran 2006/2007 selama ini mempunyai rata-rata nilai ulangan harian yang dapat dikatakan belum menggembirakan yaitu 5,9 dan ketuntasan belajar hanya 50 %. Peneliti bermaksud mengupayakan pertolongan yang dapat dilakukan dan yang paling mudah ditempuh adalah melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas.
Perumusan Masalah
Dengan menilik seluruh hal diatas maka peneliti merumuskan: Apakah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Team Assisted Individualization dapat meningkatkan hasil prestasi belajar siswa kelas VIII semester 1 SMP Negeri I Pringsurat tahun pelajaran 2006/2007 pada materi pokok faktorisasi suku-suku aljabar?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri I Pringsurat semester 1 pada materi pokok faktorisasi suku-suku alajabar dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Team Assisted Individualization.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan bantuan kepada guru SMP dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat,cepat dan mudah ditempuh untuk dapat menolong peserta didiknya bersosialisasi dan membantu diketemukannya hubungan dan sikap yang positif bagi peserta didiknya yang berkemampuan akademik kurang agar prestasi belajarnya meningkat.

METODOLOGI
Yang digunakan sebagai metode dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas. Subyek yang dijadikan sampel penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Negeri I Pringsurat semester 1 tahun pelajaran 2006/2007 sebanyak 3 kelas terdiri atas 155 orang.
Faktor yang diselidikki untuk peserta didik adalah prestasi belajar dari produk penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI berupa hasil tes.
Faktor guru yang diselidikki adalah kemampuan menerapkan model pembelajaran yaitu membangkitkan motivasi dan semangat para peserta didk untuk bersosialisasi dan membangun hubungan dan sikap yang mengarah kepada peningkatan kemampuan akademik yang positif dan prestasi belajar yang tinggi yang ditunjukkan oleh lembar observasi dan hasil tes para peserta didiknya.
Asapun indikator dari keberhasilan penelitian ini adalah ketuntasan belajar siswa yakni 85% dan rata-rata kelas 7,5.
Prosedur Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan melalui tiga siklus sebanyak 24 kali pertemuan selama satu bulan dari tanggal 20 Agustus 2006 sampai dengan 20 September 2006.
Tiap siklus dilaksanakan melalui empat tahapan yaitu Perencanaan, Pelaksanaan Tindakan, Observasi, Refleksi.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk prosedur kerja dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Langkah Perencanaan.
a. Temu Teknis antara Kepala Sekolah,peneliti dan observer.
b. Membuat satuan model pelajaran, RPP.
c. Membagi para peserta didik yang terdiri atas 4 orang menjadi 11 kelompok.
d. Menyusun soal-soal untuk digunakan pada siklus I,II,III.
e. Pembelajaran pada siklus I dengan su materi pokok penjumlahan dan pengurangan suku-suku sejenis,pada siklus II dengan sub materi pokok perkalian suku dua,pada siklus III dengan sub materi pokok pemfaktoran.

Langkah Pelaksanaan
a. Guru melaksanakan pembelajaran dengan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.
b. Kegiatan ini oleh guru harus mampu membimbing dan memotivasi siswa agar dapat lebih bersosialisasi dengan menumbuhkan hubungan dan sikap yang positif pada antar peserta didik terutama yang berkemampuan kurang.
c. Memberikan tes evaluasi akir pada setiap akhir siklus.

Langkah Observasi.
Observer mencatat semua kegiatan guru dan peserta didik pada lembar observasi yang sudah ditetapkan.
Langkah Refleksi.
Observer bersama guru mendiskusikan bersama hasil pengamatan, menganalisa, menafsirkan, menunjukkan, mengkonfirmasikan. Guru dapat memberikan refleksi, dan mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran diatas. Sehingga guru dapat mencari hal-hal yang perlu dibenahi untuk perbaikan pada tindak selanjutnya.

PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data hasil penelitian diketahui bahwa prestasi belajar siswa menjadi lebih baik setelah penerapan model.Yang paling menonjol aktifitas yang dapat diamati adalah Team Study dan Teaching Group. Sehingga kedua hal tersebut di samping keenam hal lainnya mendukung adanya kemajuan dalam proses pembelajaran aktif.Pada siklus I rata-rata hasil belajar peserta didik adalah 7.6 dengan tuntas belajar 100%. Siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik adalah 7,9 dengan tuntas belajar 100%. Siklus III rata-rata hasil belajar peserta didik adalah 8,3 dengan tuntas belajar 100 %. Semua peserta didik mengalami tuntas belajar.

SIMPULAN
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Proses pembelajaran aktif dikelas dapat terdukung dengan baik karena peserta didiknya mampu bersosialisasi, berinteraksi, dengan hubungan sikap yang positif terutama pada peserta didik yang berkemampuan kurang.


DAFTAR PUSTAKA

Amin Suyitno,1996. Tata Tulis Skripsi dan Karya Ilmiah, Semarang: FMIPA IKIP Semarang.

Depdikbud, 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama.Jakarta: Depdikbud.

Hidayati.2005. Cooperative Learning(Type Jigsaw I) Dalam Keefektifannya Pada Pokok Bahasan Persamaan Linear Dengan Dua Variabel Di Kelas II SLTP Prosiding Seminar Nasional Matematika di UNDIP tgl.27 Agustus 2005, ISBN 979 – 704 – 338 –X

Hidayati.2006. Group Investigation dalam Cooperative Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Pada Pokok Bahasan Statistika Di Kelas II SLTP, Makalah Konferensi Nasional Matematika dan Konggres Himpunan Matematika XIII di UNNES Semarang, tgl.24-27 Juli 2006.
http://www.esudh.edu/SOE/cl/whatis CL.ntml

Joko Sutarto.1994. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas SDM Memasukki PJPT II. Semarang : IKIP Semarang.
Pamella Robinson,at.al.2002.What is Cooperative Learning(CL)?

Scottish Mathematic Group.1991.Teori dan Penerapan Matematika SMP IA dan IIA(Terjemahan). Jakarta:Erlangga.

Slavin, Robert.E.1995. Cooperative Learning Theory Research and Practice.(2 th ed). New York: Allyn and Bacon.




PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMA

A. Abstrak
Pembelajaran Matematika di SMA, hingga dewasa ini pun, dipandang selalu memberikan tingkat kesulitan yang tinggi pada siswa. Pada kebanyakan siswa, mata pelajaran ini dipandang sebagai mata pelajaran yang sulit, bahkan menakutkan bagi mereka. Keadaan ini akan mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar siswa,
Kesulitan tersebut diatas, pada umumnya disebabkan oleh paling tidak dua kondisi : 1) Materi Pelajaran. Pada umumnya materi yang harus dipelajari dalam Matematika SMA, khususnya kelas XI bersifat abstrak, pada beberapa pokok bahasan, bahkan “terlalu jauh” dengan kehidupan siswa SMA pada umumnya. 2) Proses pembelajaran. Pembelajaran yang konvensional (menerangkan dan mengerjakan latihan soal) tidak memberikan daya tarik bagi siswa. Di dukung dengan materi pelajaran yang sulit, pembelajaran ini sering terjebak pada kondisi membosankan dan tidak memberi peluang siswa untuk belajar dengan perasaan nyaman.

Model Pembelajaran berikut dirancang untuk dapat menarik minat siswa, sekaligus memberikan suatu perasaan nyaman dalam mempelajarinya. Pada pelaksanaannya, pembelajaran ini mengembangkan kreativitas siswa dan memfasilitasi perbedaan kemampuan belajar tiap tiap siswa.
Penggunaan multi media dalam Tehnologi Informasi, memberikan banyak fasilitas untuk membuat pembelajaran menjadi menarik dan memancing rasa keingin-tahuan siswa. Fasilitas grafik yang disediakan dalam IT memberikan kemungkinan penggunaan materi pelajaran yang tidak bersifat linier. Penggunaan audio yang tepat dapat membantu siswa dalam belajar.
Peta konsep sebagai sebuah bentuk yang integrative dari kombinasi antara keluasan dan kedalaman materi pembelajaran, memberikan kemungkinan untuk menggambarkan juga hubungan antara masing masing sub dalam suatu materi pokok pembelajaran. Peta konsep ini dapat dibuat dirancang secara grafis, sehingga secara audio- visual memberikan cara pandang berbeda terhadap suatu proses pembelajaran.

B. PENDAHULUAN
Penentuan standart kelulusan SMA yang hanya 4,50 meningkat dari 4,25, tidaklah menggembirakan di tinjau dari segi kualitas lulusan. Itu pun di tingkat sekolah penyelenggara pendidikan di daerah disambut dengan penuh kekhawatiran. Khususnya hasil yang dicapai siswa pada salah satu dari 3 mata pelajaran yang diujikan yaitu matematika.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa Matematika masih menyandang predikat sebagai mata pelajaran yang sulit, menakutkan dan mematikan. Banyak kalangan orangtua, seringkali menganggap Matematika sebagai momok bagi anaknya, sehingga dicarilah berbagai usaha untuk memberikan pelajaran tambahan bagi anaknya. Salah satu sebabnya, adalah karena pencapaian hasil belajar mata pelajaran ini kurang memuaskan.
Rendahnya pencapaian hasil belajar ini, tidak dapat dilepaskan dari karakteristik matematika itu sendiri yang abstrak, berantai dan bersyarat. Ditunjang dengan pembelajaran yang seringkali bersifat membosankan, jauh dari dunia nyata siswa. Pembelajaran yang hanya mengembangkan dan berorientasi pada aspek kognitif saja, membuat mata pelajaran ini menjadi beban bagi siswa SMA. Dengan demikian lengkaplah sudah predikat matematika sebagai mata pelajaran seperti tersebut diatas.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemakaian musik-musik instrumentalia – klasik dapat merangsang dan menciptakan kondisi nyaman untuk belajar. Pada gilirannya perasaan senang, nyaman dan terakomodasi akan membantu pencapaian belajar siswa. Menjadi sebuah tantangan, Apakah mungkin pembelajaran matematika dilakukan dengan mengembangkan berbagai aspek, sehingga pembelajaran bersifat dinamis, aktif dan kreativ serta mengakomodasi perbedaan yang ada pada siswa. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang menyertakan berbagai aspek pada siswa, dan dikemas dalam suatu sajian yang bersifat audio visual, sehingga menumbuhkan minat siswa.
Peta Konsep
Seperti dikatakan Gordon Dreyden, dalam Revolusi Cara Belajar, ”Ingatlah puzzle: akan jauh lebih mudah jika Anda melihat gambar keseluruhannya lebih dahulu” Demikian juga Peta konsep, menggambarkan keseluruhan materi pelajaran , hubungan-hubungan dan kedalamannya. Peta konsep dapat memberikan pandangan sejauh mana dan selebar mana sebuah materi pokok akan dipelajari. Disisi yang lain, peta konsep juga memberikan peluang untuk memicu ketertarikan siswa dengan melibatkan ranah yang lain selain ranah kognitif.
Proses pembelajarannya sendiri di dasarkan pada sebuah Peta Konsep, yang dibangun pada awal pelajaran dengan menggunakan bantuan buku materi yang tersedia di sekolah.. Peta konsep ini dapat dianggap sebagai catatan yang bersifat non – linier, lebih hidup dengan menggunakan grafik – animasi dan audio yang mendukung. Salah satu kelebihan dari Peta konsep adalah keseluruhan dari materi yang akan dipelajari seolah olah tergambar dalam sebuah peta. Siswa menjadi senantiasa mengerti posisi dan sejauh mana siswa sedang mempelajari suatu materi pokok pembelajaran.
Hubungan antar sub materi pokok juga dapat (juga) tergambar dalam peta konsep ini, memberi kemudahan dalam melihat relasi kondisional yang banyak dimiliki dalam mata pelajaran matematika. Penglihatan secara lebih jelas ini, membantu siswa untuk memberi prioritas atau penekanan pada sub materi pokok yang penting dan esensial.

C. PENDASARAN

Model belajar konvensional - tradisional
Cara belajar yang selama ini dilakukan, menerangkan di depan kelas dan mengerjakan soal latihan tidak terbukti dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar matematika. Hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil pengukuran UAN matematika SMA yang senantiasa rendah. Pembelajaran yang hanya mengakomodasi aspek kognitif saja mungkin membantu siswa mempunyai inteligensi yang lebih, namun kurang membantu siswa yang belajar lebih lambat.
Pengalaman membuktikan bahwa hal-halyang berada diluar ranah kognitif dapat membantu pencapaian hasil belajar yang lebih baik. Misalkan pemakaian pola atau asosiasi. Pemakaian kalimat “ Semua sindikat tangannya kosong” membantu siswa dalam menguasai sudut-sudut dalam kuadran pada Trigonometri, begitu juga kalimat kata “sakti” MEJIKUHIBINIU, membantu siswa dalam mengingat berkas cahaya dalam proses dispersi cahaya. Akan ada cukup banyak contoh yang dapat ditemukan.
Cara belajar yang holistic – multi aspek
Dalam Quantum Learning, disebutkan bahwa pembelajaran yang menghasilkan pencapaian hasil belajar yang lebih baik adalah pembelajaran yang melibatkan sebanyak mungkin aspek aspek yang ada pada siswa. Pembelajaran, sebagai sebuah kegiatan subyek didik, haruslah diletakkan dalam konteks yang sesuai dengan kondisi siswa. Semakin banyak kedekatan dunia siswa yang dilibatkan dalam pembelajaran, semakin mudah bagi siswa untuk terlibat secara aktif.
Sebagai sebuah pembelajaran, hal yang utama yang harus terjadi adalah munculnya kegiatan-kegiatan belajar pada subyek didik. Pembelajaran, sebagai suatu kegiatan yang bersifat persuasif, tentulah harus dapat menggerakkan kemauan belajar. Sungguh, partisipasi siswa dalam pembelajaran menjadi syarat pokok terjadinya kegiatan pembelajaran.
Tekonologi Informasi dan komunikasi
Penggunaan perangkat teknologi Informasi, sangatlah membantu dalam usaha untuk melibatkan aspek aspek selain aspek kognitif. Pemakaian grafik / gambar dapat membantu dalam peningkatan pemahaman siswa. Penggunaan perangkat audio dapat membuat pembelajaran menjadi lebih hidup. Disisi lain, alunan musik yang tepat dapat merangsang dan mengkondisikan proses belajar.
Salah satu kelebihan dari perngkat multi media ini adalah fsilitas animasi. Dengan fasilitas ini, proses proses dalam matematika yang abstrak dapat dinyatakan, sehingga lebih mudah di pahami dan dimengerti oleh siswa, misalkan pada proses transformasi ataupun proses pembentukan benda putar pada integral.
Perangkat lunak yang digunakan dalam model pembelajaran ini adalah Microsoft Power Point. Sebetulnya terdapat perangkat lunak yang lebih canggih, misalkan Flash Multi Media, namun dari segi kemudahan dan kepraktisan, Powerpoint dirasa cukup untuk menyajikan pembelajaran Matematika.

D. HASIL DAN PENGUJIAN
Kondisi awal kelas pembanding dan kelas percobaan.
Untuk melihat homogenitas kelas pembanding dan kelas percobaan, digunakan nilai rapot siswa, pada saat siswa tersebut masih di kelas X. Rata rata dan variansi nilai ini dibandingkan. Pengujian atas variansi dan rata rata skor ini menunjukkan tingkat kemampuan mereka secara signifikan tidak berbeda.

Pembahasan Umum
Pada pengamatan yang dilakukan atas kegiatan yang sudah dijalankan , model pembelajaran yang dilakukan, secara signifikan memberikan hasil lebih baik . Namun demikian ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan untuk peningkatan kualitas pembelajaran :
a. Pembuatan peta konsep secara kelompok menyebabkan siswa tidak mempunyai salinan dari peta konsep yang mereka buat. Hal ini menyebabkan siswa tidak dapat mencermati peta tersebut pada kesempatan diluar kelas, misalnya kesempatan belajar di asrama.
b. Siswa pada umumnya menghendaki bentuk modul yang lengkap dan terinci, namun karena siswa sendiri mempunyai buku cetak, maka kebutuhan ini dirasa tidak terlalu mendesak. Untuk diketahui, modul yang disusun disesuaikan dengan rencana pembelajaran sehingga tidak dapat memuat materi secara keseluruhan. Pada beberapa bagian , modul ini justru lebih merupakan ringkasan materi dari apa yang akan dipelajari oleh siswa.
c. Hambatan yang sangat terasa adalah kemampuan siswa dalam menghitung yang relatif lemah. Cukup banyak kesalahan terjadi pada tingkat operasi dasar, mialnya penjumlahan dan perkalian. Untuk suatu tujuan tertentu, sesuai dengan kebijakan sekolah, ulangan harian tidak diperkenankan menggunakan alat bantu hitung. Perlu dilakukan penelitian lain untuk mengetahui kecukupan bekal kemampuan matematis dalam perhitungan aljabar.
d. Pengamatan dikelas menunjukkan , segi pengelolaan kelas kurang terakomodasi dalam model pembelajaran terkait. Pada umumnya siswa bekerja secara pribadi. Untuk membantu pemahaman dan pencapaian hasil belajar, segi pengelolaan ini – misalnya frekuensi kerja kelompok - perlu untuk di kelola secara maksimal.
Pengujian indikator
Indikator pertama yang telah direvisi : proporsi nilai minimal 7 untuk kelas percobaan lebih tinggi 20 % dibandingkan kelas pembanding. Statistik uji Z terhitung 1,182 jika dibandingkan dengan Z tabel sebesar 1,65. pda taraf keyakinan 10 % maka nilai minimal 7 kelas percobaan lebih tinggi 20% dibandingkan pada kelas pembanding !
Indikator kedua ; Rata rata nilai siswa di kelas percobaan harus lebih baik dari pada rata rata nilai di kelas pembanding. Dalam hal ini diambil dari skor murni ulangan harian. Nilai f hitung 1,22 terletak pada daerah 0,51 dan 1,95 menujukan kedua skor sama, sedangkan skor t hitung sebesar 2,085 lebih besar dari t tabel 2.06 menunjukan rata rata kelas percobaan lebih tinggi dari pada kelas pembanding
Pengujian indikator ketiga : Prosentase kepuasaan siswa kelas percobaan terhadap inotivasi yang dilakukan minimal 50 %. Angket yang disusun dilihat dari sudut pandang positif, sehingga tingkat kepuasan siswa terlihat dari respon yang menunjukkan pilihan setuju (S) dan sangat setuju (SS). Rekapitulasi seperti berikut ini
NO ASPEK YANG DI LIHAT RESPON
STS TS S SS
1 PENILAIAN PERFORMA GURU 1% 32% 57% 9%
2 PEMAHAMAN MATERI PEMBELJARAN 5% 28% 58% 9%
3 MEDIA DAN ALAT PEMBELJARAN 3% 34% 54% 9%

Pengujian indikator tambahan : Banyaknya siswa yang skornya mencapai SKBM dikelas percobaan lebih banyak di banding ketuntasan belajar di kelas pembanding. Sebagai bahan acuan, ditentukan SKBM – Standart Ketuntasan Belajar Minimum. Skor z hitung 1,182 jika dibandingkan dengan z tabel masih menunjukkan proporsi siswa yang mencapai SKBM pada kelas percobaan lebih tinggi daripada kelas pembanding.

E. KESIMPULAN
Dari pengamatan pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model ini, dapat dikatakan berhasil. Namun ada beberapa catatan yang perlu ditindak lanjuti, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hal hal berikut :
• Tingkat kecukupan bekal kemampuan berhitung siswa SLTP
• Pengelolan kelas perlu mendapat perhatian yang cukup, untuk membantu pemahaman dan pencapaian hasil belajar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyuningsih, Endang S.Pd, Pedoman Khusus Pengembangan silabus Matematika, Depdiknas, 2003
2. Dryden Gordon, Revolusi Cara Belajar, Mizan Media Utama, Bandung, 2001
3. Drost, SJ, Sekolah : Mengajar atau Mendidik ?, Kanisius Yogyakjarta, 2004
4. Darmaningtyas, Pendidikan Rusak Rusakan. LKiS, Yogyakarta, 2005




ALAT PERAGA BALOK GARIS BILANGAN DAN MANIK-MANIK:

Oleh: Yumiati dan Elang Krisnadi**
Alamat email: yumi@mail.ut.ac.id dan elang@mail.ut.ac.id

ABSTRAK

Membelajarkan matematika yang sifatnya abstrak bagi siswa SD yang tingkat perkembangan berpikirnya masih belum formal, idealnya menggunakan alat bantu pembelajaran. Penggunaan alat bantu pembelajaran matematika (biasa disebut alat peraga) berfungsi membantu penanaman dan pemahaman konsep secara bermakna.
Berdasarkan hasil wawancara para guru SD terungkap bahwa materi ”bilangan bulat” merupakan salah satu materi yang sulit dijelaskan kepada siswa SD kelas 4 dan 5. Hasil pengamatan terhadap buku-buku pembelajaran matematika yang beredar di sekolah tentang bilangan bulat, ternyata pengemasan materi yang disajikan tidak mendukung
guru untuk menyampaikan konsep secara benar dan konsisten. Sementara itu, dari hasil kajian terhadap pembelajaran bilangan bulat ditemukan bahwa sebagian besar guru dalam menjelaskan operasi bilangan bulat dilakukan secara abstrak dan terdapat 36,5% guru menjawab salah dalam menyelesaikan hasil operasi bilangan bulat.
Tulisan ini akan memperkenalkan alat peraga yang dapat digunakan untuk menjelaskan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat bagi siswa di sekolah dasar. Alat peraga tersebut adalah balok garis bilangan dan manik-manik. Berbeda dengan alat peraga bilangan bulat yang biasa digunakan oleh guru atau dalam buku-buku paket sekolah, prinsip kerja kedua alat peraga tersebut ”selalu konsisten”, sehingga dapat digunakan untuk menentukan hasil dari berbagai operasi hitung. Di samping itu, kedua alat peraga tersebut amat mudah dibuat, tahan lama, serta biayanyapun murah. Dengan mengenal dan menggunakan kedua alat peraga tersebut diharapkan para guru, khususnya guru SD tidak mengalami kesulitan dalam memperkenalkan operasi hitung bilangan bulat, terutama terhadap operasi pengurangan yang melibatkan bilangan negatif.

Kata kunci: Alat Peraga, Balok Garis Bilangan, Bilangan Bulat, Manik-manik Pembelajaran matematika, Siswa SD.

Pendahuluan
Pada kurikulum Sekolah Dasar (SD), mata pelajaran matematika memperoleh persentase waktu terbanyak dari waktu yang dialokasikan untuk seluruh mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menguasai IPTEKS di kemudian hari, (Pusposutardjo, 1999). Namun dalam kenyataannya, rata-rata hasil belajar mata pelajaran matematika untuk SD masih rendah dibandingkan dengan mata pelajaran lain dalam berbagai tes atau ujian. Untuk jenjang sekolah dasar nilai rata-rata NEM mata pelajaran matematika secara nasional adalah 6,02 (http://www.ebtanas.org/sddata.asp). Di tingkat internasional hal itu semakin nyata. Selama beberapa tahun Indonesia mengikuti IMO (International Mathematics Olympiad) prestasi wakil Indonesia selalu pada ranking bawah kecuali tahun 2003 yang naik agak ke tengah, yaitu ranking 37 dari 82 peserta. Demikian juga dalam TIMSS (Third International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme of International Student Assessment). Dalam TIMSS tahun 1999, untuk matematika, Indonesia menempati ranking 34 dari 38 negara. Sedangkan dalam PISA tahun 2001, Indonesia menempati ranking 39 dari 41 peserta (Marpaung, Y., 2004).
Hasil wawancara dari para guru SD yang berlokasi di sekitar Pondok Cabe Pamulang tentang seputar pemasalahan yang ada di sekolah pada saat menyampaikan materi matematika kepada siswa, terungkap bahwa mereka mengalami kesulitan untuk beberapa materi, terutama materi tentang ”bilangan bulat” yang mulai diperkenalkan kepada siswa di kelas 5. Juga berdasarkan pengamatan terhadap buku-buku pembelajaran matematika yang beredar di sekolah tentang bilangan bulat, ternyata pengemasan materi yang disajikan tidak mendukung guru untuk menyampaikan konsep secara benar dan konsisten.
Sementara itu, hasil kajian proses pembelajaran bilangan bulat yang dilakukan oleh Yumiati & Elang (2004) pada beberapa guru SD di Bogor, Pangkal Pinang, dan Bandar Lampung, sebagian besar guru menjelaskan operasi bilangan bulat langsung secara abstrak, misalnya pada operasi pengurangan bilangan bulat. Guru langsung menggunakan sifat bahwa pengurangan dalam bilangan bulat sama dengan penjumlahan dengan lawannya, contoh: 3 – (-2) = 3 + 2 = 5. Bahkan ada guru yang menggunakan perkalian bilangan negatif dengan bilangan negatif menghasilkan bilangan positif, padahal konsep perkalian bilangan negatif belum diajarkan kepada siswa. Di samping itu, ditemukan pula 36,5% guru menjawab salah dalam menyelesaikan hasil operasi bilangan bulat. Kesalahan yang ditemukan adalah:
•) -4 – 3 = 1 •) 6 – (-4) = 2 •) 5 – 7= 12
•) -4 – 3 = -1 •) 6 – (-4) = -2 •) 5 – 7= 2
Berdasarkan ketiga hal tersebut (rendahnya hasil belajar matematika siswa, kesulitan guru dalam menanamkan konsep matematika kepada siswa khususnya penanaman konsep bilangan bulat di SD, dan hasil kajian proses pembelajaran bilangan bulat), maka perlu dirancang suatu model pembelajaran bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga yang mudah didapat atau dibuat oleh guru, dan bermanfaat bagi peningkatan kualitas pembelajaran matematika.
Tulisan ini akan memperkenalkan alat peraga yang dapat digunakan untuk menanamkan atau menjelaskan operasi hitung bilangan bulat pada siswa SD.

Matematika dalam Kehidupan Sehari-hari dan Pengertiannya sebagai Ilmu
Dalam kehidupan sehari-hari, matematika tidak terlepas dari diri manusia sebagai alat bantu. Hampir setiap hari manusia secara tidak sadar menggunakan matematika, karena memang sebenarnya “matematika” diawal kemunculannya timbul dari kehidupan sehari-hari. Baru setelah matematika berkembang menjadi disiplin ilmu, maka ia dapat berkembang atas dirinya. Namun demikian, sering pula perkembangan matematika menjadi maju pesat karena diperlukan dan didorong oleh perkembangan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila matematika dikatakan sebagai “ratunya ilmu”.
Secara ilmu, matematika dikenal sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran yang sebelumnya sudah diterima. Dengan proses seperti itu dapat dirasakan bahwa keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Oleh karena itu, matematika dikenal pula sebagai ilmu pengetahuan yang dapat menstrukturkan pola berpikir sistematis, logis, kritis, cermat, dan konsisten (Ansjar, M. & Sembiring, R.K., 2000).
Selain itu, menurut Russefendi (1988) matematika selain sebagai ilmu deduktif juga merupakan sebagai suatu cara manusia berpikir, bahasa, bahasa simbol, internasional, dan sangat padat, ilmu pengetahuan mengenai struktur yang terorganisasi dengan baik, telaahan atau ilmu tentang pola dan hubungan, seni, serta matematika itu sebagai alat bantu.
Semua pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa dengan mempelajari matematika diharapkan manusia dapat berpikir secara matematis, yaitu dapat berpikir secara logis, kritis, praktis, bersikap positif terhadap matematika, dan berjiwa kreatif.

Kondisi Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Sampai saat ini, masih sangat kental terasa nuansa guru yang menyampaikan pelajaran matematika kepada siswa di Sekolah Dasar (SD) dengan hanya menekankan pada pencapaian kurikulum dan penyampaian materi secara tekstual semata daripada mengembangkan kemampuan belajar dan membangun kreativitas serta logika berpikir siswa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika proses pembelajaran selalu dimulai guru dengan menyampaikan definisi atau pengertian dari suatu objek abstrak secara intuitif, dilanjutkan dengan pengoperasian terhadap objek abstrak tersebut, serta diakhiri dengan pemberian contoh-contoh soal dan latihan atau pemberian pekerjaan rumah. Selain itu, di dalam menyampaikan definisi atau pengertian, guru cenderung melakukannya dengan pendekatan “doktrin-doktrin”, yang sama sekali tidak memberikan penjelasan atau pemaknaan yang terkandung secara konkret kepada siswa. Dengan pendekatan ini, siswa “dipaksa” untuk memahami objek abstrak. Menurut Haji (2002), penanaman konsep kepada siswa yang bersifat “pemaksaan” berakibat pada pola berpikir siswa dalam memahami materi yang cenderung “menghafal secara kering” dan kurang konprehensif. Akibatnya pemahaman siswa tentang suatu konsep menjadi tidak utuh. Kondisi ini menghambat siswa untuk dapat berinovasi secara bebas dan menyenangkan. Pada akhirnya, sukar diharapkan hasil belajar siswa yang baik.
Kondisi tersebut dibarengi dengan kenyataan bahwa hampir semua guru di SD tidak mempunyai bekal memadai untuk dapat menyampaikan konsep-konsep abstrak dalam matematika ke arah yang lebih konkret. Sebagai contoh, untuk mencari hasil dari soal pengurangan bilangan bulat yang berbentuk 2 – (-4), guru langsung memberikan bahwa bentuk tersebut dapat diubah menjadi 2 + 4, dengan alasan yang beragam di antaranya:
1. minus ketemu minus menghasilkan positif, atau
2. menggunakan sifat bahwa pengurangan bilangan bulat merupakan penjumlahan dengan lawannya.
Konsep yang pertama menggunakan konsep perkalian bilangan negatif dengan bilangan negatif menghasilkan bilangan positif, sementara konsep ini belum diberikan kepada siswa. Sedangkan konsep kedua guru tidak memberikan penjelasan secara konkret kepada siswa tentang bagaimana mendapatkan sifat tersebut atau mengapa sifat tersebut berlaku. Informasi yang diberikan kepada siswa dengan cara seperti itu tentu akan menjadi bumerang bagi guru yang tidak punya bekal pengetahuan, terutama jika ada siswa yang mempersoalkannya.
Situasi guru matematika ini didukung oleh hasil survey yang dilakukan Linggawati dan Frederick (1999), yang menyatakan bahwa masih banyak guru SD tidak siap mental dalam membelajarkan matematika. Dalam melaksanakan tugas sehari-harinya, guru banyak mengalami kesulitan atau kendala tentang cara mendesain proses pembelajaran yang kreatif agar siswa menyenangi pelajaran matematika. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di SD masih mempunyai masalah yang cukup mendasar dari segi sumber dayanya, yaitu guru.

Pendekatan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Dalam berbagai aspek kehidupan, matematika mempunyai peranan yang sangat penting, karena dapat mendorong perkembangan ilmu-ilmu lain (misal, dalam bidang fisika, kimia, biologi, dan ekonomi). Manfaat matematika yang begitu besar tersebut, menjadikan bidang ilmu ini menjadi prioritas utama. Namun demikian, karena sifat abstraknya mata pelajaran ini masih dipandang oleh sebagian besar siswa sebagai ilmu yang amat menakutkan, termasuk oleh siswa di sekolah dasar.
Berbagai pendekatan sebenarnya telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan matematika guna keberhasilan pembelajaran matematika di SD. Piaget (dalam Karso, 1991) mengisyaratkan agar dalam membelajarkan matematika di SD harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak, mengingat anak pada usia SD (7 – 12 tahun) berada pada tahap operasional konkret. Selanjutnya, Piaget menegaskan bahwa dalam menanamkan konsep pada anak dalam kategori tersebut perlu menggunakan objek kejadian konkret untuk kemudian dihubungkan dengan model atau ide abstraknya. Dengan demikian, untuk mempelajari objek abstrak dalam matematika di SD, anak memerlukan objek atau kejadian konkret atau alat bantu pembelajaran (alat peraga) yang dapat berfungsi sebagai perantara atau proses visualisasi konsep. Jadi pada jenjang sekolah dasar, pengorganisasian materi matematika yang bersifat konkret perlu diusahakan lebih banyak dari pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Semakin tinggi jenjang sekolahnya, semakin besar sifat abstraknya. Jadi, pembelajaran matematika tetap diarahkan kepada pencapaian kemampuan berpikir abstrak para siswa melalui proses abstraksi (Soedjadi, 2000). Dengan demikian, pembelajaran matematika di SD mempunyai 3 (tiga) ciri penting, yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak, berpola pikir deduktif dan konsisten, akan tetapi dalam penyampaiannya harus dibuat agar menjadi konkret dan induktif sesuai dengan karakteristik siswa SD.

Pengertian dan Kedudukan Media (Alat Peraga) dalam Pembelajaran Matematika
Dalam sistem pembelajaran secara umum (termasuk di dalamnya pembelajaran matematika), terdapat 3 (tiga) hal yang saling terkait erat, yaitu: siswa, guru, dan objek yang dipelajari. Ketiga komponen tersebut membentuk satu-kesatuan dalam suatu proses pembelajaran. Kelancaran proses pembelajaran didukung oleh faktor lain, seperti sarana penunjang (buku-buku, alat-alat pelajaran, laboratorium, komputer, dan sebagainya). Mengingat semua objek dalam matematika bersifat abstrak, berpola pikir deduktif, dan konsisten, diperlukan alat bantu atau alat peraga yang dapat mempermudah siswa belajar matematika, dan yang dapat membantu guru untuk menjelaskan matematika sesuai dengan karakteristik siswa. Secara skematik semua komponen-komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:













Bantuan alat peraga yang dapat memberikan gambaran konkret tentang konsep matematika sangat diperlukan agar siswa akan lebih mudah memahami dan menguasai kompetensi serta ide-ide yang dipelajari. Interaksi siswa dengan benda-benda konkret yang dimanipulasinya memberikan penguatan dan pemaknaan terhadap pemahaman dan penguasaan siswa dalam matematika. Pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar siswa kepada pengertian konsep. Untuk keperluan ini, diperlukan belajar melalui “berbuat dan pengertian” (doing and understanding), tidak hanya sekadar hafalan atau mengingat-ngingat fakta saja (rote learning) yang akan mudah dilupakan dan sulit untuk dapat diinternalisasikan.
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara. Media dapat pula diartikan sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Selanjutnya dalam pembelajaran matematika, istilah media sering disebut sebagai alat peraga. Dengan demikian, media atau alat peraga tersebut berfungsi sebagai perantara yang dapat digunakan untuk membantu penyampaian konsep-konsep yang bersifat abstrak atau sangat sulit untuk dapat dipahami dengan mudah oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamidjoyo (dalam Darhim, 1986) yang menyatakan bahwa media adalah semua bentuk perantara yang digunakan orang untuk menyebarkan ide sehingga ide tersebut sampai kepada penerima.
Media atau alat peraga dalam pembelajaran matematika adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai perantara atau medium dalam proses penyampaian ide-ide atau konsep-konsep matematika. Media atau alat peraga tersebut dapat berupa benda-benda konkret (misal, bangun-bangun geometri, kancing baju, lidi, dadu, gambar, atau ilustrasi dari suatu konsep, dan sebagainya) atau dapat juga berupa suatu paket alat yang di dalam penggunaannya harus mengikuti prinsip kerja yang berlaku, seperti: balok garis bilangan, manik-manik, batang Cuisenaire, neraca bilangan, blok Dienes, dan sebagainya. Semua paket alat tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan operasi hitung pada sistem bilangan tertentu.

Rasional Penggunaan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika
Beberapa penyebab terjadinya ketidaklancaran komunikasi antara guru dengan siswa pada pembelajaran matematika, serta terjadinya hambatan atau penyimpangan yang
mengakibatkan proses pembelajaran menjadi tidak efektif dan efisien diantaranya:
1. Guru kurang mampu dalam menyampaikan informasi, atau adanya kecenderungan verbalisme.
2. Adanya ketidakpastian siswa, atau adanya perbedaan daya tangkap para siswa.
3. Kurangnya minat.
4. Jumlah siswa dalam kelas yang relatif besar.

Bayangkan, bila seorang guru akan menjelaskan konsep tentang operasi hitung bilangan rasional (misal, 2 : , + , x , dan seterusnya) kepada siswa, tanpa alat peraga atau media apapun kecuali penjelasan yang bersifat verbal dalam bentuk rangkaian kata-kata (matematika sastra). Tentunya hal ini akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan untuk mencerna atau memahami apa yang telah disampaikan guru tersebut.
Alat peraga dalam pembelajaran matematika merupakan alat bantu dalam pengkonkretan konsep abstrak. Penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran mempunyai tujuan, antara lain, untuk:
1. pembentukan konsep,
2. pemahaman konsep,
3. latihan dan penguatan,
4. pelayanan terhadap perbedaan individu,
5. pengukuran,
6. pengamatan dan penemuan sendiri,
7. pemecahan masalah,
8. mengundang berpikir, berdiskusi, dan berpartisipasi aktif siswa (Ruseffendi, E.T., 1979).

Sementara itu, alat peraga dalam pembelajaran matematika umumnya berfungsi untuk, di antaranya:
1. menambah motivasi siswa untuk belajar matematika,
2. siswa akan lebih mudah memahami dan mengerti konsep-konsep matematika yang abstrak,
3. membantu daya tilik ruang dengan bantuan benda-benda ruang yang nyata seperti kubus, bola, dan sebagainya,
4. siswa menyadari adanya hubungan antara konsep-konsep matematika dengan benda-benda yang ada di sekitarnya, atau antara ilmu dengan alam sekitar dan masyarakat,
5. konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkret, dapat dijadikan objek penelitian dan dapat juga dijadikan alat untuk peneltian ide-ide baru dan relasi-relasi baru (Ruseffendi, E.T., 1979).

Pada dasarnya, secara individu kemampuan anak dalam memahami suatu konsep berbeda-beda, bahkan akan dicapai melalui tingkat yang berbeda-beda pula. Menurut Djaali (1999), hal terpenting yang harus diperhatikan guru dalam menyampaikan konsep matematika di SD adalah penggunaan benda-benda konkret yang jika memungkinkan ada di sekitar kehidupan sehari-hari anak. Tanpa menggunakan pendekatan ini, maka konsep-konsep abstrak dalam matematika tidak akan bermakna bagi siswa, dan pada akhirnya dapat diterka bahwa siswa akan mengalami kesulitan untuk menyerap konsep-konsep dalam materi berikutnya. Beranjak dari benda-benda konkret tersebut, guru kemudian diharapkan untuk mengupayakan adanya proses berabstraksi. Proses ini menurut Cooney (dalam Shadiq, 2000) biasanya diupayakan pada saat siswa telah menyadari adanya kesamaan di antara perbedaan-perbedaan yang ada atau kesamaan hasil dari proses yang berbeda. Selanjutnya, menurut Djaali, setiap konsep abstrak dalam matematika yang baru dipahami anak perlu segera diberikan penguatan supaya mengendap, melekat, dan tahan lama tertanam sehingga menjadi miliknya dalam pola pikir maupun pola tindakannya (internalisasi). Untuk keperluan inilah diperlukan belajar melalui berbuat dan mengerti. (tidak hanya menekankan pada proses hafalan saja).

Bilangan Bulat dan Kedudukannya dalam Struktur Kurikulum SD
Bilangan bulat yang terdiri atas bilangan asli (bulat positif), nol, dan bilanga negatif atau yang jika dinyatakan dalam notasi himpunan ditulis sebagai B = {. . . , -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, . . . } merupakan satu pokok bahasan di sekolah dasar. Dalam struktur kurikulum sekolah dasar, materi ini mulai diperkenalkan atau disampaikan kepada siswa di kelas 4 semester kedua dan kelas 5 semester pertama. Pengenalannya dimulai dari “mengenal bilangan positif dan negatif, membaca dan menulis lambang negatif, mengenal lawan suatu bilangan, operasi bilangan bulat yang meliputi penjumlahan (menjumlahkan bilangan bulat positif dengan bilangan positif, menjumlahkan bilangan negatif dengan negatif, dan sebaliknya, serta menjumlahkan bilangan negatif dengan bilangan negatif) dan pengurangan (mengurangi bilangan positif dengan bilangan positif, mengurangi bilangan positif dengan bilangan negatif atau sebaliknya, dan mengurangi bilangan negatif dengan negatif).

Membelajarkan Bilangan Bulat
Bilangan bulat merupakan salah satu dari jenis bilangan yang ada, dan bilangan ini sendiri ada agar operasi hitung yang melibatkan operasi seperti 2 – 6; 6 + . . . = 4; . . . + 8 = 7; dan sebagainya mempunyai hasil.
Bagi siswa SD kelas 4 dan kelas 5, bilangan bulat dikategorikan sebagai materi yang sangat abstrak. Untuk menanamkan konsep-konsep yang ada pada bilangan bulat (mulai dari pengertian bilangan bulat itu sendiri sampai pada operasi hitung yang diperkenankan) kepada siswa SD kelas 5, prinsipnya sama dengan membelajarkan matematika secara umum, yaitu menggunakan sarana alat bantu pembelajaran (alat peraga matematika). Untuk menanamkan pengertian bilangan bulat (terutama yang negatif) dapat digunakan pernyataan-pernyataan atau aktivitas kehidupan sehari-hari yang dikenal anak, misalnya enam derajat di bawah nol (menyatakan bilangan negatif 6), mengalami kerugian sebesar 50 rupiah (menyatakan bilangan negatif 50), 10 meter di bawah permukaaan laut (menyatakan bilangan negatif 10).
Untuk menanamkan atau menjelaskan operasi hitung pada sistem bilangan bulat dalam tahap pengenalan konsep secara konkret, dapat menggunakan alat peraga yang proses kerjanya mengacu pada pendekatan konsep kekekalan panjang, atau ”tangga garis bilangan” dan “ pita garis bilangan”. Modifikasi dari tangga garis bilangan atau pita garis bilangan adalah “balok garis bilangan” terbuat dari balok dengan modelnya menggunakan boneka, wayang, mobil-mobilan, atau lainnya yang terpenting adalah model mempunyai sisi muka dan belakang. Di samping itu ada juga alat peraga lain yang pendekatannya menggunakan konsep himpunan, yaitu “manik-manik” terbuat dari karton dengan bentuk setengah lingkaran.
Alat peraga balok garis bilangan dan manik-manik merupakan alat peraga yang menggunakan aturan dalam menggunakannya. Berbeda dengan alat peraga bilangan bulat yang biasa digunakan oleh guru atau dalam buku-buku paket sekolah, prinsip kerja kedua alat peraga tersebut selalu konsisten, sehingga dapat digunakan untuk menentukan hasil dari berbagai operasi hitung pada bilangan bulat. Di samping itu, kedua alat peraga tersebut amat mudah dibuat oleh guru, dan dengan biaya yang murah, serta tahan lama.

Alat Peraga “Balok Garis Bilangan”.
Prinsip kerja yang harus diperhatikan dalam melakukan operasi penjumlahan maupun pengurangan dengan menggunakan alat ini sebagai berikut.
1. Posisi awal benda yang menjadi model harus berada pada skala nol.
2. Jika bilangan pertama bertanda positif, maka bagian muka model menghadap ke bilangan positif dan kemudian melangkahkan model tersebut ke skala yang sesuai dengan besarnya bilangan pertama tersebut. Proses yang sama juga dilakukan apabila bilangan pertamanya bertanda negatif.
3. Jika model dilangkahkan maju, dalam prinsip operasi hitung istilah maju diartikan sebagai tambah (+), sedangkan jika model dilangkahkan mundur, istilah mundur diartikan sebagai kurang (-).
4. Gerakan maju atau mundurnya model tergantung dari bilangan penambah dan pengurangnya. Untuk gerakan maju, jika bilangan penambahnya merupakan bilangan positif maka model bergerak maju ke arah bilangan positif, dan sebaliknya jika bilangan penambahnya merupakan bilangan negatif, maka model bergerak maju ke arah bilangan negatif. Untuk gerakan mundur, apabila bilangan pengurangnya merupakan bilangan positif maka model bergerak mundur dengan sisi muka model menghadap ke bilangan positif, dan sebaliknya apabila bilangan pengurangnya merupakan bilangan negatif, maka model bergerak mundur dengan sisi muka menghadap ke bilangan negatif.

Akhir dari penggunaan alat ini adalah untuk mengarahkan pola berpikir siswa agar dapat memahami konsep yang berlaku pada bilangan bulat, bahwa a – b = a + (-b) atau a – (-b) = a + b. Agar sampai pada pemahaman yang diharapkan, maka kepada siswa diberikan beberapa kasus pada operasi hitung bilangan bulat yang berbentuk a + (-b) dan a – b ataupun bentuk a – (-b) dan a + b. Misal, bentuk operasi hitung yang akan diperagakan adalah 3 + (-5) dan 3 – 5. Dengan menggunakan balok garis bilangan, maka proses kerja yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

Untuk 3 + (-5):
Tempatkan model pada skala nol dan menghadap ke bilangan positif

Langkahkan model tersebut satu langkah demi satu langkah maju dari angka 0 sebanyak 3 skala. Hal ini untuk menunjukkan bilangan pertama dari operasi tersebut, yaitu positif 3.
Karena bilangan penjumlahnya merupakan bilangan negatif, maka pada skala 3 tersebut posisi muka model harus kita hadapkan ke bilangan negatif.


Karena operasi hitungnya berkenaan dengan penjumlahan, yaitu oleh bilangan (-5) berarti model tersebut harus dilang- kahkan maju dari angka 3 satu langkah demi satu langkah sebanyak 5 skala.

Posisi terakhir dari model pada langkah 4 di atas terletak pada skala -2, dan ini menunjukkan hasil dari 3 + (-5). Jadi 3 + (-5) = -2.

Untuk 3 – 5:
Tempatkan model pada skala nol dan menghadap ke bilangan positif.
Langkahkan model tersebut satu langkah demi satu langkah maju dari angka 0 sebanyak 3 skala (untuk menunjukkan bilangan pertama, positif 3).
Karena operasi hitungnya berkenaan dengan pengurangan, maka langkahkan model tersebut mundur dari angka 3 satu langkah demi satu langkah sebanyak 5 skala dengan posisi muka model tetap menghadap ke bilangan positif.

Posisi terakhir dari model pada langkah 3 di atas terletak pada skala -2, dan ini menunjukkan hasil dari 3 – 5. Jadi 3 – 5 = -2.
Untuk kelancaran penggunaan alat peraga, sajikanlah bentuk-bentuk operasi yang lain yang masih sejenis dengan bentuk a + (-b), misal: 1 + (-4); 3 + (-5); 2 + (-7); dan sebagainya dan juga yang masih sejenis dengan bentuk a – b, misal: 1 – 4; 3 – 5; 2 – 7; dan sebagainya. Sebagai catatan, angka-angka yang dilibatkan dalam operasi tersebut hendaknya diupayakan sama. Hal ini bertujuan untuk memancing pola pikir siswa agar proses abstraksinya berjalan.
Selanjutnya, ketika siswa sudah mampu mencari hasil penjumlahan dua bilangan bulat yang berbentuk a + (-b) dan mampu mencari hasil dari pengurangan yang berbentuk a – b (syarat b > a) dengan menggunakan alat peraga balok garis bilangan, maka proses berabstraksi dapat dimulai. Karena pada saat itu, siswa telah menyadari adanya kesamaan hasil yang didapat, yaitu: hasil dari 1 + (-4) dan 1 – 4 sama-sama bilangan -3; hasil dari 3 + (-5) dan 3 – 5 sama-sama bilangan -2; hasil dari 2 + (-7) dan 2 – 7 sama-sama bilangan -5; dan sebagainya. Selanjutnya, dengan bantuan guru melalui proses tanya jawab, siswa diharapkan mampu menghubungkan dua kondisi tersebut sampai dapat menyimpulkan bahwa: a – b = a + (-b) yang merupakan konsep pengurangan pada bilangan bulat. Namun, jauh sebelum hal ini dilakukan, proses berabstraksi dapat pula diupayakan pada saat menentukan hasil penjumlahan dua bilangan bulat yang berbentuk a + (-b) sebelum dikaitkan dengan bentuk pengurangan a – b. Sebab, untuk bentuk a + (-b) pun umumnya siswa mengalami kesulitan menentukan hasilnya jika tanpa bantuan alat peraga. Masalahnya hasil penjumlahan dalam bentuk ini dapat merupakan bilangan positif dan dapat juga berupa bilangan negatif. Jadi, dalam kondisi ini kiranya guru perlu menekankan adanya proses abstraksi untuk merumuskan suatu pola atau aturan yang dapat dijadikan acuan oleh siswa untuk menentukan hasil dari operasi penjumlahan yang berbentuk a + (-b) dengan a dan b untuk angka-angka yang lain.
Dalam situasi di kelas, agar proses abstraksi berjalan dengan baik dan lancar, maka penggunaan alat peraga yang mendukung tercapainya pemahaman anak terhadap suatu konsep perlu dimaksimalkan. Sebab, kegiatan nyata dengan menggunakan alat peraga umumnya sangat efektif untuk membantu siswa saat berabstraksi dan menangkap prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan untuk memahami konsep abstrak dalam matematika. Biasanya, kegiatan yang sangat menonjol saat guru melakukan proses abstraksi adalah selain adanya aktifitas peragaan alat bantu, juga terlihat aktifitas tanya jawab dari guru kepada siswa yang bertujuan untuk menggiring pola pikir siswa agar dapat menemukan suatu aturan, yang kiranya dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengenalkan konsep abstrak. Di mana aturan yang dirumuskan ini seolah-olah merupakan hasil penemuan siswa. Jadi, tanpa bantuan alat peraga diperkirakan guru akan merasa kesulitan untuk melakukan proses abstraksi.

Alat Peraga “Manik-manik”
Manik-manik dapat berbentuk setengah lingkaran yang apabila diameternya dihimpitkan atau digabungkan akan membentuk lingkaran penuh. Selain itu, manik-manik dapat pula berbentuk segitiga siku-siku sama kaki yang apabila sisi miringnya dihimpitkan akan membentuk bangun persegi. Bentuk alat ini dapat juga dimodifikasi ke dalam bentuk-bentuk lainnya, yang penting bentuk modifikasi alat tersebut harus sesuai dengan prinsip kerja alat peraga tersebut. Alat peraga manik-manik terdiri atas dua warna, satu warna untuk menandakan atau mewakili bilangan bulat positif, sedangkan warna yang satunya lagi untuk menandakan atau mewakili bilangan bulat negatif. Bagaimana dengan nol? Nol diwakili oleh dua manik-manik yang berbeda warna dihimpitkan.
Prinsip kerja yang harus diperhatikan dalam melakukan operasi penjumlahan maupun pengurangan dengan menggunakan alat ini sebagai berikut. Dalam konsep himpunan “operasi gabung” atau ”proses penggabungan” dapat diartikan sebagai penjumlahan dan “proses pemisahan” atau “pengambilan” dapat diartikan sebagai pengurangan.





Untuk 3 + (-5):


Untuk 3 – 5:





















Persepsi Guru terhadap Alat Peraga Balok Garis Bilangan dan Manik-manik
Alat peraga balok garis bilangan dan manik-manik sudah disosialisasikan kepada guru-guru di Tangerang. Guru-guru peserta sosialisasi diberikan angket untuk menjaring persepsi mereka terhadap kedua alat peraga tersebut. Jumlah guru yang mengisi angket ada 63 orang. Hasil olahan angket tersebut menunjukkan bahwa para guru sangat tertarik dengan kedua alat peraga tersebut, dan mereka mengganggap bahwa dengan menggunakan alat peraga tersebut para siswa akan lebih mudah memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Berikut persepsi guru terhadap kedua alat peraga.
1. Semua guru menyatakan bahwa kedua alat peraga cocok digunakan untuk siswa dalam menjelaskan operasi hitung bilangan bulat, dengan alasan: kedua alat peraga tersebut sangat sederhana; menggambarkan secara konkret proses perhitungan pada bilangan bulat; melalui alat peraga tersebut siswa mudah mempelajari konsep operasi hitung bilangan bulat; siswa dapat menerapkan secara langsung pengoperasiannya; tidak berbahaya; siswa lebih mudah memahami bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif dengan menetralkan bilangan tersebut; menarik dan tahan lama; serta mudah dibuatnya.
2. Sebagian besar guru (86%) belum pernah menggunakan alat peraga tersebut di kelas dengan alasan: baru mengenal kedua alat peraga; mengajar di kelas rendah yang belum ada materi bilangan bulat; belum tersedia di sekolah; tetapi para guru tersebut akan menggunakan salah satu alat peraga di kelas karena menarik.
3. Hanya 19% guru menyatakan pernah menggunakan alat peraga lain yang sejenis, yaitu menggunakan kertas warna atau lantai, namun mengalami kesulitan dalam menentukan hasil operasi hitung pengurangan.
4. Semua guru setuju jika kedua alat peraga harus tersedia di sekolah, dengan alasan yang hampir sama dengan poin 1, yaitu membuat siswa lebih mudah menentukan hasil operasi hitung bilangan bulat; memudahkan guru menyampaikan konsep operasi hitung bilangan bulat; membuat siswa tertarik dan aktif; siswa belajar sambil bermain; melatih kreativitas siswa; pembelajaran menjadi lebih bermakna; namun menurut guru, alat peraga tersebut harus dilengkapi juga dengan panduan cara menggunakannya.
5. Komentar umum guru tentang kedua alat peraga:
a. Balok garis bilangan
 Menarik, menyenangkan, dan lebih mudah digunakan
 Setiap sekolah seharusnya menyediakan alat peraga ini
 Semua guru menggunakan alat peraga ini
 Mudah dalam penggunaan dan pembuatannya
 Mungkin lebih dimengerti oleh siswa
 Alat peraga ini dapat membuat siswa bermain karena ada bonekanya
 Cocok untuk kelas rendah
b. Manik-manik
 Menarik, meskipun agak sulit
 Setiap sekolah seharusnya menyediakan alat peraga ini
 Lebih mempunyai ciri dan kelihatan lebih indah
 Semua guru menggunakan alat peraga ini
 Unik
 Dengan pendekatan konsep himpunan siswa lebih mudah memahami
 Cocok untuk kelas tinggi karena ada penetralan
 Warna-warninya menarik perhatian siswa

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Bilangan bulat merupakan salah satu konsep dalam matematika yang dikeluhkan oleh para guru SD sebagai konsep yang sulit untuk disampaikan kepada siswa terutama tentang bilangan negatif dan operasi pengurangan pada bilangan bulat.
2. Dalam matematika, objek yang dipelajari bersifat abstrak. Oleh karena itu, untuk menyampaikan materi ini kepada siswa di kelas seorang guru harus berupaya mengurangi sifat abstrak dari objek tersebut agar mudah dipahami siswa. Salah satu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut adalah dengan menggunakan alat peraga.
3. Alat peraga yang sesuai dengan kebutuhan bilangan bulat dan operasinya adalah balok garis bilangan dan manik-manik yang proses kerjanya mengacu pada pendekatan konsep kekekalan panjang dan himpunan.
4. Alat peraga balok garis bilangan dan manik-manik merupakan alat peraga yang menggunakan aturan dalam menggunakannya. Berbeda dengan alat peraga bilangan bulat yang biasa digunakan oleh guru atau dalam buku-buku paket sekolah, prinsip kerja kedua alat peraga tersebut selalu konsisten, sehingga dapat digunakan untuk menentukan hasil dari berbagai operasi hitung pada bilangan bulat. Di samping itu, kedua alat peraga tersebut amat mudah dibuat oleh guru, dan dengan biaya yang murah, serta tahan lama.
5. Para guru sangat tertarik dengan kedua alat peraga tersebut, dan mereka mengganggap bahwa dengan menggunakan alat peraga tersebut para siswa akan lebih mudah memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.

Saran
1. Berdasarkan tanggapan positif dari guru yang sudah mengenal alat peraga balok garis bilangan dan manik-manik, maka sosialisasi tentang kedua alat peraga tersebut perlu dilakukan lebih luas lagi.
2. Hendaknya setiap sekolah menyediakan kedua alat peraga ini, dan guru menggunakannya untuk memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran operasi bilangan bulat.
3. Untuk memudahkan guru menggunakan alat peraga balok garis bilangan dan manik-manik, maka alat peraga tersebut harus dilengkapi dengan panduan cara menggunakan dan cara membuatnya, serta video yang menayangkan tentang cara menggunakan dan cara membuatnya.
4. Perlu uji coba di sekolah-sekolah tentang penggunaan alat peraga balok garis bilangan dan manik-manik untuk memperkuat kelebihan kedua alat peraga tersebut terhadap alat peraga bilangan bulat yang lain.

Daftar Pustaka
Ansjar, M & Sembiring, R. K. 2000. Hakikat Pembelajaran Matematika di Perguruan Tinggi. Jakarta: Dikti–Diknas.
Anonim, http://www.ebtanas.org/sddata.asp.
Augustine, C.D. and Smith, C.W., Jr. 1992. Teaching Elementary School Mathematics. Ohio University, Athen: Harper Collins Publisher. Inc.
Darhim. 1986. Media dan Sumber Belajar Matematika. Jakarta: Karunika-UT.
Darhim. 1993. WorkShop Matematika. Jakarta: Karunika-UT.
Didi Suryadi, 1997. Alat Peraga dan Media Pengajaran Matematika. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud. Katunika UT.
Djaali. 1999. Materi Pelajaran Matematika SD Terlalu Abstrak dan Rumit. Jakarta: Kompas.
Haji, S. 2002. Pembelajaran Pematematikaan Horisontal dan Vertikal di SD. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Malang: 556-560.
John A. Van De Walle. 1990. Elementary School Mathematics. Teaching Developmetally. Virginia Commonwealth University: Longman.
Karso. 1991. Alat Peraga dalam Pengajaran Matematika dalam Pendidikan Matematika 3. Jakarta : Universitas Terbuka.
Krisnadi, E. 2002. Bilangan Bulat. Jakarta: Karunika-UT.
Linggawati dan Frederick. 1999. Guru Matematika Tidak Siap Mental. Jakarta: Kompas.
Marpaung, Y. 2004. Reformasi Pendidikan Matematika di Sekolah Dasar, dalam majalah Basis Edisi Khusus Pendidikan Matematika No: 07 – 08 tahun 2004.
Murwani, S. 1999. Pengajaran Matematika Rumit. Jakarta: Kompas.
Pusposutardjo, S. 1999. Indiginasi Nilai-nilai Seni dalam Pembelajaran Ilmu-ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam sebagai Bagian dari Proses Pembudayaan Peserta Didik. Paper presented at the National Workshop on Integration of Values of Art into Science Teaching, STSI Surakarta. Surakarta, December 1999.
Russefendi. 1988. Dasar-dasar Matematika Modern untuk Orang Tua Murid dan Guru. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. 1979. Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua Murid dan Guru. Bandung : Tarsito.
Shadiq. 2000. Belajar Dari Proses Penjumlahan Dua Bilangan Bulat untuk Membantu Siswa Belajar. Buletin Pelangi Pendidikan Vol. 2. Jakarta: Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta-DitJen DikDasMen.
Soejadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta : Dikti – Diknas.
Suroso. 2001. Peningkatan Daya Ingat Terhadap Pelajaran Matematika Melalui Penggunaan Media Pembelajaran. Buletin Pelangi Pendidikan Vol. 4. Jakarta: Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta-DitJen DikDasMen.
Suryadi, D. 1997. Alat Peraga dan Media Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika-UT.
Sutawidjaja. 1997. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Pengajarannya No.2 Tahun 26. Malang: UNM.
Wiratno, S., 2004. Inovasi Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Lokakarya Pengembangan Alat Peraga Matematika SD, Bogor.
Yumiati & Elang, 2004. Kajian Proses Pembelajaran Bilangan Bulat di SD. Makalah disajikan dalam Konferensi Nasional Matematika XII, Bali, 23 – 27 Juli 2004.





Aktivitas Menulis dalam Pembelajaran Matematika

Oleh: Izwita Dewi
Universitas Negeri Medan

Abstrak
Aktivitas menulis dalam pembelajaran dewasa ini dipandang sebagai jendela aktivitas kognisi manusia. Sebagaimana halnya dengan jendela, maka menulis dapat digunakan untuk melihat ke suatu tempat (dalam hal ini adalah untuk melihat/mengetahui representasi pemahaman siswa tentang pengetahuan matematika yang dimilikinya). Menulis dalam matematika dapat membantu siswa berpikir lebih eksplisit sehingga mereka dapat melihat dan merefleksikan pengetahuan dan pikirannya.


Kata Kunci: menulis dalam matematika
Kegiatan menulis dalam matematika merupakan salah satu aktivitas yang dapat meningkatkan penalaran matematika siswa. Sebab dengan menulis, siswa dapat menuangkan ide dan mengkomunikasikan apa yang dipahaminya tentang matematika yang telah dipelajarinya. Dari aktivitas menulis inilah guru dapat dengan mudah mengetahui apa yang dipahami siswa dan apa yang belum dipahaminya. Sebab dari tulisan yang dibuat oleh siswa, guru dapat membaca urut-urutan pikiran siswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan dan apa yang diketahui siswa tentang soal tersebut, serta bagaimana siswa harus menyelesaikannya.
Schlomer (1993), seorang guru matematika sekolah menengah umum di Indiana, mencari cara agar siswanya dapat terlibat secara lebih aktif berkomunikasi tentang matematika, baik dengan gurunya maupun dengan siswa lainnya. Ia juga ingin mengetahui bagaimana dan apa yang mereka pikirkan tentang matematika. Sehingga Schlomer memilih suatu metode penugasan yang dinamakan focused writing task.
Sejalan dengan Schlomer, Cangelosi (1992), berpendapat bahwa pelajaran matematika pada dasarnya menghendaki siswa menerima pesan (to receive message) melalui membaca, mendengar guru atau yang lainnya, dan menghendaki siswa mengirim pesan (to send message) melalui berbicara, menulis ataupun memasukkan data ke dalam komputer. The Nuffield Mathematics (Sumantri,1988:8) mengemukakan tiga aturan yang digunakan dalam mengajar, yaitu: aku dengar dan aku lupa, aku lihat dan aku ingat, aku kerjakan dan aku mengerti. Dari ketiga aturan tersebut terlihat bahwa apabila dalam pembelajaran siswa hanya mendengar saja, maka mereka akan mudah lupa. Bila mereka belajar dengan melihat mereka akan mudah mengingat, tetapi bila mereka belajar dengan melakukan dan ikut berpartisipasi, dalam hal ini menulis dalam matematika, maka mereka akan mengerti tentang pokok bahasan yang sedang mereka pelajari.
Toliver (2006) mengatakan “tidak hanya dapat saya gunakan kelas matematika untuk membangun kemampuan siswa untuk membaca, menulis, dan mendengar, tetapi dengan menekankan aktivitas tersebut saya dapat menjadi guru matematika yang lebih baik.” Dari pernyataan tersebut secara implisit dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi guru yang baik adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa melakukan aktivitas komunikasi matematika. Menjadi guru yang baik dan memberi kesempatan berkomunikasi secara matematika kepada siswa (salah satunya adalah aktivitas menulis) seperti merupakan dua sisi koin yang tidak mungkin dipisahkan. Tulisan ini akan menguraikan aktivitas menulis pembelajaran matematika.

Menulis dalam Matematika
Menulis merupakan salah satu cara manusia mengkomunikasikan, mengungkapkan, dan merefleksikan pikiran, ide, dan pengetahuan seseorang kepada orang lain. Rose (Baroody, 1993) mengatakan menulis merupakan proses berpikir keras yang dituangkan ke atas kertas. Tentu saja aktivitas menulis tidak terlepas dari bahasa. Kemampuan berbahasa dan berpikir saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Sunarto dan Hartono (2006) perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif yang berarti faktor intelek/kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa. Ketepatan meniru, memproduksi perbendaharaan kata-kata yang diingat, kemampuan menyusun kalimat dengan baik dan memahami atau menangkap suatu maksud pernyataan pihak lain sangat dipengaruhi oleh kecerdasan seseorang.
Siswa dapat membangun pengalaman mereka melalui bahasa. Ketika siswa diminta untuk mendeskripsikan atau menulis tentang apa yang mereka lakukan dan pikirkan, mereka tidak hanya membangun pemahaman mereka sendiri tetapi juga mengkomunikasikan tingkat pemahaman mereka kepada gurunya. Sangatlah penting bagi siswa untuk menjadi penulis matematika yang baik sehingga mereka dapat menjadi penyaji dan dapat menginterprestasikan grafik, tabel atau data matematika lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa perlu untuk menggunakan bahasa mereka sendiri untuk mengklarifikasi observasi dan penemuan yang mereka temukan kepada orang lain, ketika mereka mendalami dan menyelidiki (investigate) tentang matematika. Guru tentu saja dapat memberikan bantuan kepada siswa untuk membangun bahasa matematika lebih formal karena itu diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut N.S.W. Department of Education (1989) pembelajaran matematika dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahasa yang cocok. Bahasa, beserta simbol-simbol dan diagram yang digunakan dalam matematika, merupakan bagian penting dalam membentuk dan mengekspresikan ide-ide matematika dan bertindak sebagai jembatan antara representasi abstrak dengan representasi konkret. Kemahiran bahasa matematika dibangun melalui empat proses berikut, yaitu: berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis.
Menulis dalam matematika adalah menjelaskan konsep matematika dengan bahasa sendiri, membuat suatu kalimat matematika menjadi suatu model matematika, dan menginterprestasikan grafik. Bretzing & Kulhavy (Slavin, 1997) menemukan bahwa menulis menyatakan ide-ide utama dalam kata-kata yang berbeda atau dengan kalimat sendiri dan membuat catatan dalam persiapan pengajaran adalah strategi membuat catatan yang efektif, sebab cara ini menghendaki proses mental atas informasi yang lebih tinggi.
Masih berkaitan dengan kegiatan menulis, menurut Baroody (1993) ada beberapa kegunaan dan keuntungan dari menulis.
a) Menyimpulkan, yaitu siswa diminta untuk merangkum pelajaran dalam bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini berguna karena dapat membantu siswa fokus pada konsep-konsep kunci dari suatu pelajaran, menilai pemahaman dan memudahkan retensi. Hal ini diperkuat oleh Witttrock (Slavin, 1997) menyatakan bahwa " One effective way is to have students write one-sentence summaries after reading each paragraph." Selanjutnya,
b) Pertanyaan, yaitu siswa diminta untuk menuliskan pertanyaannya sendiri. Kegiatan ini berguna untuk membantu siswa merefleksi pada fokus yang tidak mereka pahami.
c) Penjelasan, yaitu siswa diminta untuk menjelaskan prosedur penyelesaian dan bagaimana menghindari suatu kesalahan. Kegiatan ini berguna untuk mempercepat refleksi, pemahaman, dan penggunaan kata-kata yang tidak sesuai.
d) Definisi, yaitu siswa diminta untuk menjelaskan istilah-istilah yang muncul dalam bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini berguna untuk membantu siswa berpikir tentang makna istilah dan menjelaskan pemahaman mereka terhadap suatu istilah.
e) Laporan (Reports), yaitu siswa diminta untuk menuliskan suatu laporan. Kegiatan ini berguna membantu siswa memahami bahwa menulis adalah suatu aspek penting dalam matematika untuk menyelidiki topik-topik dan isu-isu dalam matematika dan performan.
Ginsburg (Jones: 2006) menyebutkan siswa harus belajar menulis, membaca, dan memahami simbol-simbol matematika jika mereka ingin menjadi sukses dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika.

Aktivitas Menulis dalam Pembelajaran Matematika
Aktivitas menulis dalam pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan yang diperlukan dalam pembelajaran matematika. Mengapa aktivitas menulis diperlukan dalam pembelajaran matematika? Tentu banyak hal yang menjadikan menulis diperlukan dalam pembelajaran matematika. Salah satu faktor mengapa aktivitas menulis diperlukan adalah karena para peneliti dan pendidik belakangan ini mengakui menulis sebagai jendela aktivitas kognitif manusia dan diperlukan bagi pertumbuhan kognitif (Bruning et al. 1995).
Sebagaimana halnya dengan jendela, maka menulis dapat digunakan untuk melihat ke suatu tempat (dalam hal ini adalah untuk melihat/mengetahui pemahaman seorang siswa tentang materi matematika). Bruning et al. (1995) mengatakan, bagi peneliti studi tentang menulis menghasilkan beberapa tambahan wawasan yang mendalam bagi proses kognitif manusia, menunjukkan proses multidimensi dengan menggunakan elemen-elemen kognitif yang penting termasuk pemecahan masalah. Hal ini disebabkan karena ketika merencanakan aktivitas menulis, seorang penulis menggunakan tujuan-tujuan tertentu, kepekaan terhadap pembaca, dan pengetahuan tentang materi yang akan ditulis untuk mentransformasi pengetahuannya ke dalam bentuk ide yang baru. Sedangkan pendidik tertarik pada aktivitas menulis karena mereka memandang menulis sebagai alat perkembangan kognitif. Hal ini terjadi karena ketika merencanakan suatu tulisan, siswa harus mengekspresikan dirinya sendiri, menguji tulisannya sendiri, dan menggunakan proses konstruksi yang dianggap pendidik sebagai proses menuju pertumbuhan kognitif.
Johanning (2007) mengatakan pemecahan masalah matematika dan menulis yang melibatkan beberapa proses-proses berpikir (mengidentifikasi masalah, mengumpulkan informasi/sumber, mengungkapkan ide/argumen, dan merevisi/mengevaluasi penyelesaian); dapat memperkuat proses-proses dan keterampilan-keterampilan berpikir yang mendasari (underlie) menulis yang baik.
Pada uraian berikut diberikan contoh soal dan hasil wawancara yang dilakukan penulis untuk meminta siswa menuliskan pengetahuan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.

Soal 2: Sebutkanlah dengan bahasamu sendiri apa yang dimaksud dengan daerah hasil dari suatu fungsi.
Jawaban tertulis: daerah yang menjadi pilihan yang harus dipilih dengan benar oleh himpunan A dalam sebuah relasi.

Untuk memperjelas pemahaman siswa tentang daerah hasil dari suatu fungsi, dilakukan wawancara seperti berikut.

P: Yang daerah hasil yang mana di sini?
S: Yang N Bu
P: Itu daerah kawan apa daerah hasil?
S: Sama Bu
P: Daerah kawan dengan daerah hasil sama?
S: Daerah hasil yang dua ini Bu (menunjuk dua noktah pada himpunan N di gambar B)

Dari petikan wawancara di atas disimpulkan bahwa siswa dapat menentukan daerah hasil, tetapi siswa kesulitan menuliskan pengertian daerah hasil.

Soal 2: Berilah sebuah contoh dalam kehidupan sehari-hari suatu relasi tetapi bukan suatu fungsi.
Jawaban tertulis: Seorang anak pergi ke toko kue, di sana dia membeli banyak kue. Seperti kue sus, bika ambon, donat, dan risol.
Untuk memperjelas pemahaman siswa tentang fungsi, dilakukan wawancara seperti berikut.

P: Oke! Nah ini lagi, “berilah contoh dalam kehidupan sehari-hari suatu relasi tetapi bukan fungsi!”
S: Misalnya ada seorang anak pergi ke toko kue. Di toko kue itu dia membeli berbagai macam kue, misalnya kayak kue sus, donat, risol, humberger, piza, sosis
P: Bilang aja semua yang enak-enak, nanti kamu ndak selesai
S: Ha...ha
P: Terus gimana, kenapa kamu bilang itu relasi tetapi bukan fungsi, apa relasinya?
S: Hubungan, kan begini kan, misalnya anaknya Amir, dia pergi ke toko, relasinya membeli, ini A, ini B. Dia membeli kue sus, donat, segala macam (menulis)

A B







Kalau misalnya pemetaan itu, fungsi itu, dia kan anggota, eh, daerah asal harus dengan tepat memasangkan satu dengan anggota daerah kawan. Kalau ini, nggak, satu ini juga, ini juga, dia selingkuh, banyak kali ini
P: Oh, selingkuh? (kaget anak SMP udah ngerti selingkuh), ada selingkuhannya ya
U: Iya banyak kali

Dari petikan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa siswa dapat memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari tentang suatu relasi yang bukan fungsi dengan tepat.
Dari kedua hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa dengan menulis siswa sadar dengan langkah-langkahnya dalam menyelesaikan masalah. Guru juga dapat mengetahui sesungguhnya siswa paham tentang konsep fungsi tetapi sulit untuk menuliskannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mason dan McFeetors (2007) yang mengatakan menulis di dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa sadar tentang langkah-langkahnya dalam menyelesaikan masalah dan menjadi alat bagi guru untuk menilai seberapa baik pengetahuan siswa.
Penutup
Memberikan kesempatan menulis kepada siswa dalam pembelajaran matematika membuat siswa dapat menyadari apa yang sudah mereka pahami dan apa yang belum mereka pahami. Selain dapat digunakan untuk berbagi ide dan informasi, melalui menulis siswa dapat merefleksi pemahamannya tentang matematika. Menulis merupakan bagian penting dalam matematika. Ketika seorang siswa ditantang untuk berpikir dan bernalar secara matematika dan meminta mereka untuk mengkomunikasikannya secara tulisan, ini berarti mereka ditantang untuk belajar memperoleh pemahaman yang semakin jelas dan meyakinkan.

Daftar Pustaka
Baroody, Arthur J. (1993). Problem Solving, Reasoning, And Communicating (K-8). New York: Macmillan Publishing Company.
Bruning, R.H., Schraw, G.J., Ronning, R.R. (1995). Cognitive Psycology and Instruction.. Second Edition. USA: Prentice-Hall Inc.
Cangelosi, James; S. (1992). Teaching Mathematics in Secondary and Middle School Research- Based Approach.New York : McGraw- Hill.
Johanning, Debra I. (2007). Writing and Post-Writing Group Collaboration. In Language Strategies for Mathematics. http/www.language strategies for math.htm. Download 2 Juli 2007.
Jones, Sarah. (2006). Language and Diversity Assigment. http//www.darmouth.edu/-pubs/style/style_guide.pdf. Download 13-12-2006
Mason, Ralph T. dan McFeetors, P. J. (2007). Interactive Writing. In Language Strategies for Mathematics. http/www.language strategies for math.htm. Download 2 Juli 2007.
N.S.W. Department of Education. (1989). Mathematics K-6. N.S.W. Australia: Department of Education.
Schloemer, G; Cathy. (1993). Alligning Assesment with NCTM's Curriculum Standards. Mathematics Teacher.Vol 86.USA.
Slavin, Robert R. (1997). Educational Psychology and Practice. Fifth Edition. USA: Paramount Publishing.
Sumantri, Bambang. 1988. Metode Pengajaran Matematika untuk SD. Jakarta : Erlangga
Sunarto, H dan Hartono, B.Agung. (2006). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Toliver, Kay. (2006). Math and Communication. http//www. Thefutureschannel.com/Kay_Toliver/Math_and_Communication.php. Download 12-5-2006.

REFEKSI SESUDAH LIMA TAHUN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)*

Oleh

Yansen Marpaung **

Abstrak

Pendidikan Matematika Realistik Idonesia (PMRI) pertama kali diujicobakan secara terbatas pada akhir tahun 2001 di kelas I, II dan III di beberapa SD/Min di Jawa.
Pada tahun ajaran 2002/2003 PMRI diujicobakan secara lengkap di kelas I di 12 SD/MIN di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, tahun 2003/2004 mulai diimplementasikan di kelas I, tahun 2004/2005 di kelas I dan II, tahun 2005/2006 di kelas I-III, tahun 2006/2007 di kelas I – IV dan diujicobakan lengkap di kelas V, tahun 2007/2008 dimplementasikan di kelas I-V dan diujicobakan lengkap di kelas VI di sekolah-sekolah tersebut. Sejak tahun 2003 mulai dilakukan sosialisasi dan diseminasi pada SD/MIN lain di berbagai daerah di Indonesia.
Sekarang sudah banyak sekolah yang melakukan ujicoba PMRI baik di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Perluasan Implementasi PMRI di sekolah-sekolah dilaksanakan dengan pendekatan bottom-u pbukan dengan top-down.
Semester lalu, Pusat Studi Pembelajaran Matematika (PSPM) USD bekerja sama dengan P3G Matematika melakukan suatu penelitian untuk mengkaji proses pembelajaran dan dampaknya bagi siswa di 3 SD Non-PMRI dan 3 SD PMRI di Yogakarta. Penelitian dilakukan di kelas IV dan kelas V. Dalam kesempatan ini akan disajikan perbedaan prestasi siswa kelas IV dalam menyelesaiakan soal pilihan ganda dan strategi mereka dalam menyelesiakan suatu soal non-rutin. Siswa di SD Non-PMRI memilki prestasi yang lebih baik dari pada siswa PMRI dalam menjawab soal-soal pilihan ganda, tetapi dalam menyelesaikan soal non-ruin siswa-siswa di sekolah PMRI lebih unggul dari siswa Non-PMRI.



Selasa, 24 November 2009

PENGARUH PENGUASAAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF TERHADAP PENYELESAIAN SOAL PROBLEM SOLVING*)

Oleh: Anton Noornia**)


Abstrak

Berkisar dua dasawarsa ini perkembangan dalam psikologi bidang pendidikan berjalan cukup pesat. Salah satunya adalah berkembang konsep metakognisi yang pada intinya menggali pemikiran orang tentang berpikir ”thinking about thingking”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penguasaan kemampuan metakognitif oleh seseorang ternyata berpengaruh pada
kemampuannya akan problem solving matematika. Tentu saja ini menarik karena kemampuan problem solving matematika adalah kemampuan yang paling diharapkan dikuasai siswa setelah mereka belajar matematika. Tetapi ternyata di Indonesia pengetahuan tentang konsep metakognitif ini belum banyak dikaji, oleh sebab itu menarik untuk membahasnya agar hal ini menjadi perhatian dan membuka wawasan mengenai pentingnya kemampuan metakognitif dikuasai oleh siswa. Menurut sebuah penelitian menunjukkan siswa yang menguasai kemampuan metakognitif akan menjadi lebih berkemampuan dalam menghadapi permasalahan. Siswa juga akan memeroleh keuntungan terutama rasa percaya diri (confidence) dan menjadi lebih independen sebagai pebelajar, bahkan siswa yang berkemampuan rendah akan tetapi aktif belajar dengan proses metakognitif ternyata menjadi lebih mampu memecahkan permasalahan standard dibanding siswa yang sama yang tidak belajar dengan pengajaran metakognitif.



A. PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia patut dihargai, walaupun belum sepenuhnya memuaskan berbagai pihak. Pemerintah sedikit demi sedikit telah memberikan perhatian pada proses pendidikan dasar dan menengah dengan memberikan dana bantiuan operasional sekolah (BOS) per siswa, sehingga diharapkan sekolah tidak perlu lagi memungut dana masyarakat yang terlalu besar. Di sisi lain, pemerintah juga telah memberikan kebebasan yang lebih luas kepada sekolah untuk memenej adminstrasi sekolah
*) Disajikan pada Konferensi Matematika II dan Kongres Guru Matematika I di UPI 25 – 27 Agst 2007
**) Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
dengan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sedangkan di bidang materi pelajaran, melalui penetapan Kurikulum 2006 atau orang sering menyebutnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah telah memberi kebebasan pada guru dan sekolah untuk merancang sendiri penyajian materi, urutan dan proses pembelajarannya.
Bila melihat isi KTSP tidaklah terlalu banyak berbeda dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sebelumnya dicangkan akan diterapkan. Perbedaan mendasar hanyalah pada uraian kurikulum yang lebih simpel dan memberi ruang kepada guru untuk berimprovisasi dengan materi. Hal yang mendasar seperti tujuan belajar dari tiap materi tetaplah relatif sama. Kita ambil contoh matematika. Tujuan belajar matematika yang tertuang dalam kurikulum adalah sebagai berikut (Diknas, 2006).
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah .
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Tujuan ini tidak terlalu banyak berbeda dengan tujuan kurikulum bidang matematika sebelumnya. Ternyata isi kurikulum ini juga tidak terlalu berbeda dengan kurikulum di negara-negara lain, sebutlah Singapura yang kemampuan matematika siswanya dianggap telah lebih maju, dimana kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah (problem solving) menjadi tujuan utama dalam belajar matematika. Dalam tulisannya seorang peneliti bidang matematika di Singapura menyatakan (Foong. 2005) bahwa dalam kurikulum matematika di Singapura kini, kemampuan penyelesaian masalah merupakan tujuan dari proses belajar-mengajar matematika., seperti terlihat pada gambar di bawah ini





.




Selanjutnya Foong berpendapat (2002: 135) bahwa mengajar melalui pemberian masalah-masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun konsep matematika dan mengembangkan keterampilan matematikanya. Masalah akan mengarahkan siswa untuk menggunakan heuristik seperti untuk menyelidiki dan menggali pola sebaik mereka berpikir secara kritis. Untuk menyelesaikan masalah, murid harus mengamati, menghubungkan, bertanya, mencari alasan, dan mengambil kesimpulan. Keberhasilan dalam memecahkan masalah sangat erat hubungannya dengan tingkat kemampuan dan pengamatan seseorang terhadap proses berpikir siswa sendiri.
Untuk menguasai kemampuan problem solving matematika, ternyata seorang peserta didik dituntut untuk menguasai sekurang-kurangnya 5 aspek, seperti yang digambarkan oleh kurikulum matematika Singapura di atas, yaitu; kemampuan konsep matematika, kemampuan dalam menguasai skill algoritma matematika, kemampuan proses bermatematika, mampu bersikap yang positif terhadap matematika dan kemampuan metakognisi. Tiga aspek yang pertama umumnya telah dilakukan oleh guru kita di depan kelas. Aspek keempat yaitu sikap positif kini juga mulai banyak dimiliki siswa terutama dengan ditetapkannya matematika sebagai salah satu materi yang diujikan dalam UAN, dan juga munculnya bentuk kompetisi-kompetisi yang baik, seperti olimpiade tingkat nasional dan internasional disemua jenjang pendidikan, banyak memacu sekolah dan siswa untuk menguasai matematika.
Sejauh ini aspek yang belum banyak disentuh berkenaan dengan syarat penguasaan problem solving adalah aspek kemampuan metakognisi. Istilah ini memang asing bagi telinga sebagian besar guru. Bahkan mungkin banyak yang tidak mengetahui mengenai aspek kemampuan metakognisi, Apa sebenarnya metakognisi ini? Di luar negeri sendiri penelitian tentang metakognisi ini baru dimulai sekitar 1 atau 2 dekade terakhir. Walaupun istilahnya telah dimasukkan dalam kosakata psikologi pendidikan selama dua puluh tahun terakhir, masih saja terjadi debat berkenaan dengan apa metakognisi itu. Satu alasan yang menjadi kebingungan para ahli adalah fakta bahwa terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu fenomena yang sama (contoh self-regulation, executive control), atau suatu aspek dari fenomena itu (contoh, meta-memory), dan istilah ini sering digunakan dan dapat dipertukarkan dalam sebuah literatur berkaitan dengan arti metakognisi.
Menarik untuk dikaji lebih jauh, benarkah kemampuan ini berpengaruh terhadap kemampuan problem solving matematika siswa? Sejauh mana sumbangsih kemampuan metakognisi ini dalam proses problem solving matematika? Apakah jika kemampuan itu tidak dimiliki maka siswa akan sulit menyelesaikan problem solving matematika? Bagaimana tehnik mengajarkan kemampuan metakognitif oleh guru kepada siswa? Sejauhmana penelitian-penelitian telah mengembangkan kemampuan metakognitif ini, dan bagaimana hasilnya berkaitan dengan kemampuan problem solving matematika? Pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah menarik untuk dibahas, lewat pembahasan ini diharapkan akan membuka cakrawala kita mengenai salah satu aspek penting dalam meningkatkan kemampuan problem solving matematika siswa kita.
B. PERMASALAHAN
Permasalah yang diangkat dan dibahas pada tulisan ini adalah,
1. Apa sebenarnya metakognitif itu?
2. Bagaimana peran kemampuan metakognitif dalam meningkatkan kemampuan problem solving matematika siswa, didasarkan pada kajian hasil penelitian yang telah dilakukan?
3. Bagaimana strategi mengajarkan kemampuan metakognisis ini pada siswa?
C. PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih jauh mengenai metakognisi, terlebih dahulu akan membicarakan mengenai kedudukan problem solving dalam matematika. Menurut Gagne, sebenarnya kedudukan problem solving adalah sebagai objek tidak langsung dari belajar matematika. Gagne berpendapat (Bell. 1978: 108),
“ ... These objects of mathematics learning are those direct and indirect things which we want students to learn in mathematics. The direct objects of mathematics learning are facts, skills, concepts, and principles; some of the many indirects objects are transfer of learning, inquiry ability, problem solving ability, self-discpline, and appreciation for structure of mathematics. ...”
Penjelasan Gagne tadi jelas mengungkapkan bahwa problem solving dalam matematik adalah merupakan objek tidak langsung darii belajar mateatika. Itu berarti bahwa problem solving dalam matematika akan tumbuh sendirinya jika siswa belajar matematika dengan baik di dalam kelas. Tampaknya pandangan ini sekarang berubah, problem solving dalam matematika tidak lagi dipandang sebagai objek langsung. Kini penguasaan problem solving matematika tidak lagi menunggu untuk tumbuh dengan sendirinya di dalam diri siswa, akan tetapi banyak pendidik justru menjadikan problem solving matematika sebagai objek langsung yang harus dipelajari oleh siswa di dalam kelas. Hal ini seperti tergambar pada kurikulum Singapura di atas tadi. Kini para pendidik justru mengajarkan problem solving dalam matematika itu agar siswa mampu menghadapi tugas-tugas yang bersifat problem solving.
Ketika seseorang diihadapkan pada permasalahan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, maka dia harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelesaikannya. Terdapat empat aspek yang harus diperhatikan ketika seseorang berhadapan dengan problem solving, yaitu;(1) memahami masalah, (2) beragam pendekatan, dan (4) penyelesaian masalah, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah kreativitas. (Matlin, 2003: 360).
Dalam bukunya mengenai penyelesaian masalah, yaitu ‘How to solve it’ G. Polya menawarkan cara menyelesaikan sembarang masalah, tidak terkecuali matematika, yaitu dalam 4 langkah perencanaan (Houston, 2005: 18):
1. Understand the problem.(memahami masalah)
2. Devise a plan.(merancang/memikirkan rencana penyelesaian)
3. Execute the plan.(melaksanakan rencana)
4. Look back.(memeriksa kembali)
Selama memahami masalah banyak metode alternatif yang bisa diterapkan, misalnya dengan membuat gambar, tabel, diagram atau bagan untuk lebih memahami secara visual dari masalah yang diberikan. Masalah adalah konstruksi dari suatu penyajian internal Greeno menyatakan, bahwa memahami masalah memiliki 3 syarat yaitu: koheren, korespondensi dan hubungan dengan latar belakang pengetahuan (Matlin, 2005: 362).
Untuk membuat pendekatan terhadap masalah dapat digunakan beragam strategi, seperti algoritma, heuristik (aturan yang disepakati dalam pemecahan masalah, meliputi pencarian secara efektif, melihat proporsi ruang masalah yang lebih memungkinkan menghasilkan solusi), analogi (Matlin, 2005: 370–376). Sedangkan yang hal-hal yang mempengaruhi dalam memecahkan masalah oleh masing-masing individu adalah:
• Keahlian, apakah dia pemula atau expert
• Pengetahuan dasar
• Memori atau ingatan
• Kemampuan menyajikan pemikiran
• Ragam penguasaan pendekatan pemecahan masalah
• Elaborasi keadaan awal
• Kecepatan dan ketelitian
• Ketrampilan metakognitif
• Kesiapan mental
Bila kita melihat hal-hal yang mempengaruhi dalam memecahkan masalah, ternyata di dalamnya terdapat apa yang disebut keterampilan metakognitif. Apa sebenarnya kemampuan metakognitif itu?
“Metakognis" merupakan istilah terbaru di dalam psikologi pendidikan. Apa sebenarnya metakognisi itu? " Metakognisi " sering secara mudah didefinisikan sebagai "thinking about thinking." Walaupun istilahnya seperti sesuatu yang menakutkan akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Bila kita menyadari, sebenarnya selama beraktivitas dalam keseharian setiap orang selalu bekerja dengan metakognitifnya. Kesadaran akan keberadaan metakognisi memungkinkan seseorang berhasil sebagai pelajar, dan hal itu berkaitan kecerdasan atau inteligen. Mengetahui dan menyadari bagaimana kita belajar dan mengetahui strategi kerja mana yang terbaik adalah sebuah kecakapan berharga yang membedakan pebelajar ahli (expert learners) dari pebelajar pemula (novice learners).
Banyak para ahli yang menyatakan mengenai arti dari metakognitif ini. Ada yang berpendapat bahwa metakognisi atau kesadaran terhadap proses belajar adalah resep untuk keberhasilan dalam belajar (Winn, W. dan Snyder, D., 1996). Akan tetapi bila para ahli mendengar istilah metakognitif, mereka selalu mengaitkannya dengan pandangan Flavell (1979), dia mengatakan,
”Metacognition consists of both metacognitive knowledge and metacognitive experiences or regulation. Metacognitive knowledge refers to acquired knowledge about cognitive processes, knowledge that can be used to control cognitive processes”
.
Dalam pendangannya metakognisi itu berisi pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada bagaimana seseorang memeroleh pengetahuan tentang proses kognitif, yaitu pengetahuan yang dapat digunakan orang tersebut untuk mengontrol proses kognitifnya. Jadi jelas dalam hal ini metakognitif adalah sesuatu aktivitas abstrak, yang kasat mata dan terkadang tidak disadari telah dimiliki oleh seorang individu karena dia merupakan proses mental. Sedangkan pengalaman metakognitif adalah hasil langkah dan tahapan olah pikirnya selama ini dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya (regulation). Sementara itu Flavell (1979) lebih jauh mengatakan bahwa “metacognitive knowledge devide into three categories:. knowledge of person variables, task variables and strategy variables”.
Padangan lain terhadap metakognitif diajukan oleh Winn, W. & Snyder, D. (1996), yaitu bahwa
“Metacognition is an important concept in cognitive theory. It consists of two basic processes occurring simultaneously: monitoring your progress as you learn, and making changes and adapting your strategies if you perceive you are not doing so well”

Winn dan Snyder ingain menegaskan seperti halnya Flavell bahwa metakognisi merupakan konsep mental yang sangat penting dalam teori kognitif. Aktivitas metakognitif sebenarnya merupakan dua proses kognitif yang mendasar yang muncul pada saat bersamaan ketika seseorang memanfaatkannya, yaitu: memonitor peningkatan/kemajuanmu selagi seseorang itu belajar, dan pada saat yang sama seseorang itu juga membuat pengubahan dan adaptasi strateginya ketika dia merasa dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Jadi metakognisi adalah sesuatu yang berkenaan dengan refleksi diri, tanggungjawab pribadi dan inisiatip seperti halnya seseorang mempersiapkan tujuan dan memenej waktu dalam bekerjanya.
Banyak para ahli yang memperdebatkan arti dari metakognisi ini. Akan tetapi walaupun terdapat beberapa perbedaan antara definisi, semua pada prinsipnya menekankan pada sebuah peran metakognitif, yaitu proses eksekutif dan proses mengatur kognitif.(Livingston, 1997). Lebih jauh, ia dalam situsnya yang dia beri judul Metacognition: An Overview menyatakan bahwa,


“Metacognition refers to higher order thinking which involves active control over the cognitive processes engaged in learning. Activities such as planning how to approach a given learning task, monitoring comprehension, and evaluating progress toward the completion of a task are metacognitive in nature. …”

Livingston ingin mengatakan bahwa metakognisi mengacu pada berpikir tingkat tinggi yang merupakan proses kognitif yang dilibatkan secara aktif selama proses belajar. Aktivitas-aktivitas belajar seperti merencanakan bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap tugas yang diberikan, memonitor pengertian, mengevaluasi kemajuan ke arah penyelesaian tugas adalah merupakan kemampuan metakognitif yang alami. Oleh karena itu, ternyata metakognisi memain peranan yang sangat penting dalam kesuksesan belajar siswa. Mengembangkan kemampuan metakognitif ternyata penting sekali untuk mempelajari aktivitas dan belajar dan untuk membantu siswa menentukan bagaimana mereka dapat belajar lebih baik dalam memanfaatkan sumber daya kognitif mereka yaitu dengan cara mempertajam kemampuan metakognitifnya.
Sedangkan pendapat para ahli lain seperti Ridley, Schutz, Glanz & Weinstein (1992) mengenai kecakapan metakognisi adalah bahwa
"Metacognitive skills include taking conscious control of learning, planning and selecting strategies, monitoring the progress of learning, correcting errors, analyzing the effectiveness of learning strategies, and changing learning behaviors and strategies when necessary."

Pada prinsipnya jika dikaitkan dengan proses belajar, kemampuan metakognitif adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari tahap perencanaan, memilih strategi yang tepat sesuai masalah yang dihadapi, kemudian memonitor kemajuan dalm belajar dan secara bersamaan mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama memahami konsep, menganalisis keefektifan dari strategi yang dipilih. Dan bagian akhir sebagai bentuk upaya refleksi, biasanya seseorang yang memilki kemampuan metakognitif yang baik selalu mengubah kebiasaan belajar dan juga strateginya jika diperlukan, karena mungkin hal itu tidak cocok lagi dengan keadaan tuntutan lingkungannya.

1. Pengertian metakognisi dalam kedudukannya sebagai strategi berpikir
Seperti telah disebutkan di awal tadi bahwa mengetahui dan menyadari bagaimana kita belajar dan mengetahui strategi kerja mana yang terbaik adalah sebuah kecakapan berharga yang membedakan pebelajar ahli (expert learners) dari pebelajar pemula (novice learners). Bagaimana keduanya dibedakan adalah sebagai berikut (Ertmer, P.A. & Newby, T.J., 1996).
“Novice Learners don't stop to evaluate their comprehension of the material. They generally don't examine the quality of their work or stop to make revisions as they go along. Satisfied with just scratching the surface, novice learners don't attempt to examine a problem in depth. They don't make connections or see the relevance of the material in their lives. Expert learners are "more aware than novices of when they need to check for errors, why they fail to comprehend, and how they need to redirect their efforts."
Artinya kurang lebih, bahwa seorang pebelajar pemula (Novice Learners) tidak terbiasa mengevaluasi pengertian mereka terhadap materi. Mereka biasanya tidak menguji kualitas pekerjaan mereka atau berhenti untuk membuat perbaikan selama mereka bekerja. Cukup merasa nyaman hanya dengan membahas masalah di permukaannya saja, novice learners tidak mencoba untuk menguji masalah lebih dalam. Mereka tidak membuat hubungan atau melihat relevansi dari materi dengan kehidupan nyata mereka. Sedangkan Pebelajar Ahli (Expert Learners) lebih peduli/sadar dibandingkan novices learners, dimana mereka selalu butuh mengecek setiap kesalahan yang mungkin dibuat, bertanya mengapa mereka gagal memperoleh kemajuan/mendapatkan hasil, dan bagaimana mereka butuh mengalihkan tujuan dari usaha yang telah dilakukan.
Blakey and Spence (1990) (Schafersman, 1991) menggambarkan tehnik untuk memfasilitasi metakognisi atau "thinking about thinking. (berpikir tentang berpikir)” adalah sebagai berikut,
“Citing the educational value of student-owned learning, the authors suggest that thinking about one's own behavior is the first step towards directing that behavior and learning how to learn. The strategies they discuss as a means to developing metacognition include: "identifying 'what you know' and 'what you don't know'"; "talking about thinking"; "keeping a journal"; "planning and self-regulation"; "debriefing the thinking process"; and "self-evaluation."”

Mereka bependapat bahwa nilai pendidikan, dari sebuah proses belajar belajar siswa sendiri, diartikan bahwa memikirkan tingkah laku diri sendiri adalah langkah pertama yang mengarah ke arah kepada tingkah laku belajar dan belajar bagaimana belajar. Suatu strategi yang mereka diskusikan sebagai sebuah arti bagi pengembangan metakognisi, termasuk di dalamnya: "mengidentifikasi 'Apa yang kamu tahu' dan 'Apa yang kamu tidak tahu'"; "bicara tentang berpikir"; "mengembangkan atau membuat jurnal"; "merencanakan dan regulasi diri"; "debriefing (bertanya kembali untuk memperoleh informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan untuk melengkapi) proses berpikir"; dan "evaluasi diri."
Jadi dalam hal ini metakognisi dikembangkan melalui proses berpikir seseorang berkenaan dengan tingkah laku yang dilakukannya. Mengembangkan metakognisi pada dasarnya adalah meningkatkan proses berpiikir seseorang dalam rangka mengontrol apa yang dipikirkannya, apa yang dikerjakannya itu, berkenaan dengan tugas yang diberikan, telah memenuhi tuntutan yang diminta dari tugas tersebut atau belum. Hal itu dapat dilakukan selama dia bekerja atau setelah selesai mengerjakan sebuah tugas, dan hal ini dapat dilakukan dengan menuliskan jurnal.
Kaitan antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis (critical thingking). Schafersman (1991) berpendapat bahwa “Critical thinking means correct thinking in the pursuit of relevant and reliable knowledge about the world. Another way to describe it is reasonable, reflective, responsible, and skillful thinking that is focused on deciding what to believe or do”. Jadi pemikiran kritis berarti berpikir dengan benar dalam rangka pencarian pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang sesuatu di sekitar kita. Cara yang lain untuk mengartikannya berpikir kritis adalah masuk akal (reasonable), reflektif, berbertanggung jawab, dan berpikir cakap dan terampil yang kesemuanya itu dipusatkan untuk memutuskan apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Lebih lanjut Schafersman (1991) menyatakan Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang relevan, secara efisien dan kreatif mereka menyusun dan berbuat melalui informasi yang dikumpulkannya itu, bernalar secara logika berdasar informasi, dan datang dengan kesimpulan yang reliabel dan dapat dipercaya tentang lingkungan yang memungkinkannya tinggal dan berhasil di dalamnya. Pemikiran kritis bukanlah kemampuan berpikir biasa, yaitu berpikir yang tidak sekedar mampu memproses informasi, seperti misalnya mengetahui tanda lampu mereah adalah untuk berhenti atau mampu mengetahui besarnya jumlah uang kembalian dari kasir supermarket. Kemampuan berpikir kritis yang benar adalah berpikir tingkat tinggi (higher-order thingking), yang memungkinkan seseorang untuk hal-hal yang global, luas dan analitis, sehingga dengan berpikir kritis memungkinkan seseorang menjadi individu yang lebih bertanggung jawab
Anak-Anak tentu saja tidak memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk berpikir kritis, mereka pun belum mampu mengembangkannya kemampuan ini secara alami. Pemikiran kritis adalah suatu kemampuan belajar yang harus dipelajari. Kebanyakan individu tidak pernah mempelajarinya secara sengaja. Pemikiran kritis tidak bisa diajarkan dengan mempercayakan kepada siswa sebaya atau oleh kebanyakan orang tua menyampaikannya. Diperlukan instruktur yang berpengetahuan tentang berpikir kritis itu, dan mereka terlatih dalam menyampaikan ketrampilan dan informasi yang sesuai dalam berpikir kritis. Para instruktur atau guru matematika dan ilmu pengetahuan alam atau sains, umumnya adalah orang-orang tepat dalam mengajarkan dan dianggap memiliki informasi dan ketrampilan ini.
“Critical thinking is the ability to think for one's self and reliably and responsibly make those decisions that affect one's life. Critical thinking is also critical inquiry, so such critical thinkers investigate problems, ask questions, pose new answers that challenge the status quo, discover new information that can be used for good or ill, …” (Schafersman, 1991)

Pemikiran kritis adalah kemampuan untuk berpikir bagi dirinya sendiri, dengan kemampuan itu seseorang menjadi percaya diri dan bertanggung jawab dalam membuat keputusan yang mempengaruhi kerjanya. Pemikiran kritis adalah juga inkuiri yang kritis, seperti halnya berpikir kritis dalam menyelidiki permasalahan, itu berarti kritis dalam bertanya, kritis dalam bersikap terhadap jawaban lain yang menantangan sebagai sesuatu yang belum pasti benar salahn ya (status quo), dan juga kritis terhadap informasi baru yang dapat digunakan untuk sesuatu yang baik atau jelek.
Berikut dinyatakan beberapa sifat dan karakteristik seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang disampaikan oleh Raymond S. Nickerson (Schafersman, 1997), terjemahan beberapa di antaranya adalah:
• menggunakan bukti dengan terampil dan seimbang
• mengorganisir pemikiran dan mengartikulasikannya dengan singkat dan dengan jelas
• memahami perbedaan antara memberi alasan/menalar dan merasional-kan
• memahami gagasan pada derajat/tingkat kepercayaan tertentu
• berusaha untuk mengantisipasi konsekwensi tindakan alternatif yang mungkin
• dapat belajar independen dan memiliki kerpercayaan dalam melaksana-kannya
• menerapkan teknik dan strategi pemecahkan masalah dalam menyelesai-kan materi apapun
• dapat membangun sebuah permasalahan yang disajikan secara informal ke dalam bentuk yang formal, seperti matematika, dan sekaligus dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah.
• terbiasa mempertanyakan pendapatnya sendiri dan berusaha untuk memahami pandangan/asumsinya secara kritis juga implikasi dari pandangannya itu
• mengenali kemungkinan yang keliru dari pendapatnya sendiri, mengenali kemungkinan penyimpangan yang mungkiun dari pendapatnya, dan menyadari bahaya pada bukti menurut pilihan pribadi
• menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas
Semua kemampuan di atas tidaklah dapat dikuasai seseorang tanpa dia sendiri menyadari akan kemampuan dirinya. Seseorang yang memiliki kemampuan menyadari kemampuan diri dan sekaligus dapat mengontrolnya, dapat dikatakan seseorang tersebut memiliki kemampuan metakognitif.

2. Apa yang menyebabkan seseorang memiliki kemampuan metakognitif
Seperti telah diuraikan bahwa kemampuan kognitif dapat dipelajari seseorang dengan bantuan instruktur yang ahli dan mengenrti bagaiamana cara mengembangkan kemampuan metakognitif melalui proses berpikir kritis. Akan tetapi untuk anak-anak berusia muda, umumnya mereka tidak cukup hanya diajarkan oleh instruktur yang berpengalaman dalam mengembangkan kemampuan metakognitif ini, mereka juga harus cukup matang kognitifnya untuk siap menerima bentuk proses kognitif yang tinggi ini. Sehingga pada walnya mereka mungkin hanya menguasai dasarnya saja dalam menguasai ketrampilan ini. Hal ini juga diungkapkan pula oleh Brown, Armbruster, & Baker, 1984; Brown, Day, & Jones, (1983) dalam buku mengenai metakognitif yang tersedia secara on line sebagai berikut.
“Young children possess only the beginnings of metacognitive and cognitive skills. They are able to direct their attention (the beginning of a metacognitive skill) but they lack other sophisticated skills needed to integrate higher order thought processes. In contrast, mature thinkers and strategy users possess a wide variety of higher-order, goal-specific, monitoring skills, in addition to factual and rocedural knowledge to which they can apply these thinking skills”


Anak-Anak yang masih kecil hanya mampu menguasai kemampuan ketrerampilan awal dari kognitif dan metakognitif. Mereka sudah mampu mengarahkan perhatian mereka (sebagai suatu awal dari keterampilan metakognitif), akan tetapi mereka kurang menguasai ketrampilan canggih yang lain yang diperlukan untuk mengintegrasikan proses berpikir tingkat tinggi. Sebaliknya, siswa yang lebih dewasa dan pengguna strategi memiliki suatu variasi tingkat tinggi yang lebih luas, tujuan yang lebih spesifik, keterampilan memonitor, sebagai tambahan pengetahuan faktual dan prosedural yang mereka dapat terapkandalam keterampilan berpikir.
Oleh karena itu, dengan adanya tambahan kemampuan dalam memahami dengan baik strategi yang lebih luas, pelajar dewasa juga dapat mengetahui kapan, dimana, dan bagaimana cara menerapkan strategi dan pengetahuan mereka. Mereka mengembangkan ketrampilan ini melalui perolehan dan strategi overlearning (belajar yang lebih jauh dan mendalam) dan penggunaannya dikombinasikan dengan pengetahuan yang senantiasa ditingkatkan. Saat ini pengetahuan tentang pengembangan kognitif dan ketrampilan metakognitif baru mulai ke berkembang. Sebagai pengetahuan yang meluas, satu cara cara yang lebih efektif untuk melatih berpikir ketrampilan metakognitif, adalah ketika belajar di dalam kelas. (Pressley & Levin, 1983a, 1983b; Pressley, 1986; Pressley, Borkowski, & Schneider, 1987)
Teori Kognitif dan metakognitif secara mendasar berakar pada konstruktivisme, termasuk di dalamnya ide dari Piaget,dan dalam pandangan kontemporer dari sains kognitif dan pemrosessan informasi. Satu alasan berkembangnya operasional formal pada seorang pebelajar dewasa adalah bahwa mereka lebih berkemampuan dibandingkan anak-anak yang lebih muda pada penggunkaan kemampuan metakognisi yang tepat, terutama untuk mangasimilasi dan mengakomodasi informasi. Sudah barang tentu, pebelajar dewasa memeroleh kemampuan metakognitif tingkat tinggi ini menlalui proses bertahap dari asimilasi dan akomodasi seperti ketika mereka meningkat dari tahap sensorimotor ke tahap operasional formal..
Sepanjang hidupnya, seorang pemikir yang sukses sudah mengembangkan banyak keterampilan berpikir. Akan tetapi banyak juga pelajar mampu mengembangkan ketrampilan berpikir efektif "automatically" melalui berpikir mengenai permasalahan pada tingkatan masalah dengan kompleksitas yang sesuai dengan kemampuannya. Sehingga baru-baru ini, perhatian sedikit lebih spesifik telah ditujukan kepada pengajaran metakognitif atau ketrampilan pemikiran lain. Hal ini dikarenakan sejumlah besar pebelajar, terutama yang memiliki masalah di sekolah, telah melakukan strategi yang tidak efektip dalam rangka mengambangkan kemampuan berpikirnya, sudah barang tentu sebagai akibatnya fokus lebih besar kini dialamatkan kepada bagaimana cara memberi pengajaran ketrampilan berpikir yang baik dan benar sehingga akan lebih produktif.
Jika seorang pebelajar akan menggunakan kemampuan kognitif dan strategi kognitif yang efektif, mereka harus memiliki kecakapan seperti yang diungkapkan Garner berikut ini, seperti yang tertulis dalam buku on line yang berjudul Teaching Thinking Skills.
1. Mereka harus dapat memonitor proses kognitif mereka.
2. Mereka harus menentang menggunakan strategi primitif yang dengan pemikiran dangkal dalam melaksanakan pekerjaan
3. Mereka harus memiliki pengetahuan dasar yang memadai..
4. Mereka harus menyiapkan sekumpulan tujuan dan membuat atribut-atribut yang mendorong penggunaan strategi kognitif .
5. Mereka harus mentransfer strategi berpikir untuk situasi yang baru yang mana mereka akan gu akan dengan tepat.
3. Ragam strategi metakognitif dalam Problem Solving
Bila kita ingin melihat beragam strategi metakognitif yang bisa dilakukan siswa, maka kita dapat mengkajinya melalui tahapan-tahapan kerja dalam penyelesaian masalah. Kemampuan problem solving atau pemecahan masalah telah banyak menjadi tujuan belajar matematika di hampir semua negara di dunia. Penguasaan terkadap kemampuan ini sekarang menjadi kecakapan yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan hidup di masa-masa yang akan datang. Kemampuan mengontrol berpikir diri sendiri ini juga ada dalam tiap tahapan dalam problem solving. Pada tiap tahap dalam menyelesaikan masalah siswa harus memonitor berpikirnya sekaligus membuat keputusan-keputusan dalam melaksanakan tahapan yang dipilihnya itu agar masalah dapat terselesaikan dengan baik bahkan pada tahap akhir, siswa harus mempertanyakan kembali atas jawaban yang dibuatnya apakah jawabannya benar-benar telah sesuai dan apakah memungkinkan ada cara lain yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah yang diberikan itu. Uraian ragam kemampuan metakognitif dalam tiap tahapan penyelesaian masalah asdalah sebagai berikut. (Pugalee, 2004)
• Tahap Orientasi: meliputi strategi pengertian, analisa informasi dan kondisi-kondisi, penilaian kefamiliaran dengan suatu tugas awal dan penyajiannya kemudian, penilaian kesukaran masalah dan harapan untuk berhasil, diawali dengan siswa mencoba untuk menjadi terbiasa dengan situasi masalah. Perilaku metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi;
 reading/rereading
 pengenalan dan penyajian bagian-bagian,
 analisa kondisi-kondisi dan informasi, dan
 penilaian terhadap tingkat kesukaran soal
• Tahap Organisasi: meliputi identifikasi sasaran antara dan tujuan utama, perencanaan global, dan perencanaan lokal diperlukan guna menyelesaikan rencana global. Perilaku metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi,
 identifikasi sasaran antara dan utama/akhir,
 membuat dan menerapkan rencana global, dan
 organisasi data. Perilaku umum seperti ini membantu siswa dalam pemahaman bagaimana informasi pada masalah berhubungan dengan tugas pemecahan masalah, mencakup perumusan tujuan dan rencana.
• Tahap Execution: meliputi capaian tindakan lokal, monitoring kemajuan rencana global dan lokal, dan membuat keputusan. Perilaku Metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi;
 mengadakan tujuan lokal,
 membuat kalkulasi,
 monitoring tujuan dan
 pengalihan rencana
• Tahap Verifikasi: meliputi evaluasi keputusan dan hasil rencana yang dieksekusi. Peneliti menentukan bahwa empat kategori perilaku ini berdampak pada performance penyelesaian suatu tugas mathematika yang luas. Perilaku metakognitif yang berhubungan dengan kategori ini meliputi;
 keputusan mengevaluasi dan
 keputusan hasil.

4. Ragam dan hasil kajian mengenai Metakognitif
Penelitian mengenai pengaruh penguasaan kemampuan metakognitif terhadap peningkatan kemampuan problem solving matematika telah cukup banyak dilakukan.
a. Ditinjau dari kedudukan guru dalam meningkatkan kemampuan metakognitif siswa
Kedudukan guru dalam meningkatkan kemampuan metakognitis siswanya sangatlah penting. Guru dapat bertindak sebagai fasilitator yang memberikan arahan dan bimbingan melalui pertanyaan-pertanyaan menggiring, sehingga siswa menyadari akan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Sejak akhir 1970, metakognisi memperoleh banyak perhatian dalam literatur pendidikan. Swanson mendefinisikan metakognisi sebagai “…the knowledge and control one has over’s thingking and learning activities. …” (Kramarski et. al.,2002; 225). Pada sekitar akhir abad ke 20 Schoenfeld, Mayer (1987); Lester, Garofalio dan Kroll (1989); Cardel-Elawar (1995); serta Kramarski dan Mevarech, (1997) telah memulai mendisain metode pengajaran yang berbasis pada melatih siswa untuk mengaktifkan proses metakognitif selama penyelesaikan tugas matematika. (Kramarski et. al., 2002: 226). Bentuk ini kemudian dikenal dengan pengajaran metakognitif.
Elemen umum yang utama dari pengajaran metakognitif adalah melatih siswa yang bekerja dalam kelompok kecil untuk mampu beralasan secara matematika seperti merumuskan dan menjawab serangkaian pertanyaan metakognitif yang ditujukan pada diri sendiri (Kramarski et. al., 2002: 228). Pertanyaan ini difokuskan pada:
(a) comprehending the problem, (contoh, Bicara tentang apa soal yang sedang dihadapi ini sebenarnya?);
(b) membangun connections (hubungan) antara pengetahuan lama dan baru (contoh, Apa perbedaan atau persamaan antara soal yang sedang ditangani dengan soal yang pernah kamu selesaikan? dan mengapa?);
(c) menggunakan strategi yang tepat untuk menyelesaikan soal (Strategi/ taktik/prinsip apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan soal? Dan mengapa?);
(d) reflecting pada proses dan penyelesaian (contoh, Kesalahan apa yang telah saya lakukan di sini? Atau Apakah penyelesaiannya masuk akal?).
Hal yang menarik adalah bahwa dalam kebanyakan penelitian seperti Schoenfeld (1987), Kramarski dan Mevarech (1997), dan van Hoek, den Eden dan Terwel (1999), pengajaran matekognitif dikerjakan dalam setting kooperatif dimana sejumlah kecil siswa 4 – 6 orang belajar bersama. Pendekatan kooperatif-metakognitif didasarkan pada teori kognitif dalam belajar yang menekankan pentingnya peran elaborasi dalam membangun pengetahuan baru. Penerapan pengajaran metakognitif dalan setting belajar kooperatif dapat menyajikan kondisi yang tepat untuk siswa mengelaborasi penalaran matematika mereka (Kramarski et al. 2002).
Tampak jelas bahwa peran guru dalam mengembangkan kemampuan metakognitif siswa sangatlah penting. Tidak hanya mengembangkan pengajaran metakognitif, pada beberapa penelitian guru juga didorong untuk menerapkan strategi dalam belajar-mengajarnya, sehingga strategi yang diterapkannya dapat memacu munculnya kemampuan metakognitif siswa. Seperti penelitian yang dilakukan Lobato dan Clarke (2005: 102) yang memperlihatkan bagaimana pembelajaran yang memungkinkan guru cukup banyak berbicara ketika mengajar ternyata mampu meningkatkan pemahaman siswa akan konsep yang disajikan. Akan tetapi dalam hal berbicara banyak ini, berbicara yang dimaksud adalah berbicara yang lebih menekankan pada 3 hal,
1) Dalam hal sebuah fungsi berbicara (yang mana melibatkan perhatian kepada niat (intention) guru, sesuatu yang alamiah dari kegiatan mengajar, dan interpretasi siswa terhadap kegiatan mengajar/belajar) dibanding suatu bentuk dari aksi komunikatif guru.
2) Dalam hal konseptual dari apa yang dibicarakan dibanding prosedural isi dari informasi baru.
3) Dalam hal suatu hubungan terhadap aksi yang lain dibanding sebagai sebuah aksi terisolasi. Reformulasi ini menyelesaikan kembali beberapa perhatian dalam mengajar sebagai suatu kegiatan TELLING, dan membantu menetapkan legitimasi dari penyajian informasi baru dengan perspektif konstruktivis pada belajar.
b. Beberapa hasil penelitian
Beberapa penelitian menunjukkan, apabila siswa diberi kesempatan dan latihan untuk mengembangkan kemampuan metakognitif, maka mereka akan menjadi penyelesai soal yang baik. Karena mereka menjadi memiliki kemampuan mengidentifikasi proses berpikirnya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Oleh karena itu, Memberikan siswa cara dimana mereka dapat memonitor belajar dan proses berpikir mereka sendiri dapat menjadi sesuatu yang efektif dalam membantu mereka menjadi penyelesai masalah yang lebih baik dan akhirnya menjadi pemikir yang lebih baik untuk setiap tugas matematika. Menurut Schraw (1998) Mempromosikan metakognisi mulai dengan membangunan suatu kesadaran berpikir di antara pelajar bahwa metakognisi itu ada, akan sangat membantu dalam menjadikan siswa menjadi lebih dasar dan peduli akan kemampuan yang dimilikinya, dan ini tentu sedikit berbeda dengan kognisi dan pengaruh sukses akademis. Jadi memang langkah pertama untuk mencapai pengertian yang mendalam terhadap mental model kita sendiri sederhananya adalah menjadi individu yang sadar akan proses berpikirnya sendiri (Gartmann, Freiberg. 1998; Panoura, Phillipou. 2005)
Menuliskan apa yang dipikirkan dan respon-respon yang muncul selama menyelesaikan tugas-tugas matematika ternyata sangat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah selanjutnya. Hal ini disebabkan dengan melihat-lihat kembali proses berpikirnya melalui catatan yang dibuatnya sangat mambantu siswa untuk melihat bermacam alternatif pendekatan dalam menyelesaikan tugasnya. Guru perlu menyadarkan siswa, bahwa lewat menuliskan apa yang dipikirkan selama menyelesaikan tugas ternyata sangat memungkinkan untuk mereka mendapatkan dan mencari alternatif jawaban lain. Hal ini sejalan dengan hasil kesimpulan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa para siswa yang menuliskan proses memecahkan masalah mereka, menghasilkan solusi benar yang lebih tinggi secara statistik dibanding siswa yang menggu-nakan think-aloud proses. Di sisi lain ternyata terdapat hubungan antara keberhasilan siswa dalam menyelesaaikan soal semacam problem solving yang memiliki beragam alternatif cara menjawab dibandingkan jenis soal yang sedikit memiliki kemungkinan cara menjawab (Gartmann, Freiberg. 1998; Pugalee. 2004).
Sebaliknya penelitian juga memperlihatkan, bila siswa nampak tidak acuh pada ketidakberhasilan/ketakefektifan terhadap semua strategi yang digunakanya. Niscaya siswa tersebut atau pun kita tidak akan dapat meningkatkan capaiannya. Pelajar yang trampil di dalam metakognitif, mengukur-diri dan, oleh karena itu, sadar akan kemampuan mereka akan melakukan pikiran secara strategis lebih baik daripada mereka yang tidak acuh pada pada kerja sistem mental mereka sendiri (Panaoura, Philipou, 2005).
Strategi atau pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru juga mengisyaratkan dapat memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan dan melatih kemampuan kognitifnya. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang menyimpulkan bahwa nilai dari ekspresi verbal dalam membantu memperjelas berpikir. Hal itu bisa terjadi ketika mereka bekerja dalam kelompok, seperti belajar kooperatif, membuat log atau jurnal, dan menulis laporan. Hal ini didukung oleh penelitian lain yang menempelkan pengajaran metakognitif pada proses belajar yang menerapkan pendekatan belajar kelompok kooperatif. Hasilnya siswa yang berkemampuan rendah akan tetapi aktif belajar dengan proses metakognitif ternyata menjadi lebih mampu memecahkan permasalahan standard dibanding siswa yang sama yang tidak belajar dengan pengajaran metakognitif. (Gartmann, Freiberg. 1998; Kramarski et. al., 2002)
Mengutip Scrhraw (2000) Panaoura berpendapat bahwa kebanyakan peneliti setuju bahwa metakognisi adalah bangunan yang sangat penting untuk belajar, tetapi sangat sulit diukur. Utamanya hubungan permasalahan dengan metakognisi adalah menemukan cara untuk merekam dan membuat tersedianya sebuah pemikiran metakognitif lain. Mengidentifikasi dan mengukur metakognisi keduanya yang sekarang ini lebih dipercayakan pada penafsiran subjektif peneliti dalam mengukur mengenai apa kognitif dan metakognitif. Dimana niscaya tidaklah mudah untuk para siswa yang sangat muda untuk menyatakan pemikiran mereka tentang sistem kognitif mereka dan kemampuan kognitif mereka. Kita mendukung pandangan bahwa dalam usaha kita untuk mengukur kemampuan metakognitif, adalah sangat mungkin kita mencampuri proses metakognitif siswa selagi mereka sedang sibuk berpikir dengan keras memikirkan sistem kognitif mereka sendiri. Oleh sebab itu harus terus diupayakan untuk menemukan cara dalam rangka mengevaluasi dan menemukan bagaimana sebenarnya, terutama siswa-siswa yang masih muda, mereka berpikir dalam rangka menyelesaikan tugas matematika. Menuliskan apa yang dipikirkan bisa merupakan suatu alat untuk pendukung suatu kerangka metacognitive dan bahwa proses ini jadi lebih efektif dibanding penggunaan proses think-aloud. Siswa yang membangun dan menuliskan rencana global terlebih dahulu memungkinkan untuk mencapai keberhasilan dalam memecahkan masalah dimana rencana itu dinyatakan atau termasuk dalam uraian dari proses memecahkan masalah mereka. Jadi memang masih sangat terbuka penelitian yang menggali pengetahuan tentang pemanfaatan kemampuan metakognitif oleh siswa dalam melakukan aktivitas keseharian, terutama ketika mereka berhadapan dengan soal-soal problem solving.
Melihat keunggulan dari penguasaan kemampuan metakognitif terhadap kemampuan dalam problem solving matematika berdasar hasil-hasil penelitian, sudah barang tentu kemampuan ini perlu dikuasai oleh siswa. Siswa yang menguasai kemampuan metakognitif akan menjadi lebih berkemampuan dalam menghadapi permasalahan. Siswa juga akan memeroleh keuntungan terutama rasa percaya diri (confidence) dan menjadi lebih independen sebagai pebelajar. Kemandirian seperti ini akan mengarah pada kesadaran akan ownership (kepemilikan), akibatnya siswa dapat mengejar kebutuhan intelektual mereka sendiri dan menemukan bahwa informasi dunia bisa beraada dalam genggamannya. Adalah tugas pendidik untuk mengakui keberadaan, menanamkan, memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan metakognitif dari semua siswanya.
Sebuah situs menuliskan bagimana efek membelajarkan kemampuan metakognitif pada siswa akan menjadikan mereka:
Pebelajar yang dikembangkan dengan baik secara metakognitif:
• Percaya bahwa mereka dapatg belajar (Are confident that they can learn).
• Membuat ukuran akurat terhadap pertanyaan Mengapa mereka berhasil dalam belajar?. (Make accurate assessments of why they succeed in learning)
• Berpikir jernih mengenai ketidaktepatan ketika kegagalan muncul selama menyelesaikan tugas (Think clearly about inaccuracies when failure occurs during tasks)
• Mereka secara aktip mencari untuk memperluas daftar ragam/literatur mengenai strategi belajar (Actively seek to expand their repertoire of strategies for learning)
• Mencocokkan strategi dengan tugas belajar, membuat penyesuaian ketika diperlukan (Match strategies to the learning task, making adjustments when necessary.)
• Bertanya untuk memperoleh bimbingan pada teman sebaya atau guru. (Ask for guidance from peers or the teacher)
• Mengambil waktu untuk berpikir mengenai apa yang mereka pikirkan (Take time to think about their own thinking)
• Memandang diri sendiri sebagai pebelajar dan pemikir terus-menerus. (View themselves as continual learners and thinkers) (http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/learning/lr1metp.htm)
Tentu saja menjadikan siswa memiliki kemampuan metakognitif bukanlah hal yang sederhana. Tetapi karena besar manfaatnya bagi siswa dalam mencapai kemampuan problem solving matematika, maka hal ini layak untuk dicoba. Cara mengajarkan dan melatihkan kemampuan metakognitif ini dikenal dengan istilah CSI (Cognitive Strategy Instruction). CSI adalah sebuah pendekatan pengajaran yang menekankan pada pengembangan kecakapan dan proses berpikir sebagai sebuah arti untuk meningkatkan belajar. Tujuan dari CSI adalah untuk memungkinkan semua siswa untuk menjadi lebih strategis dalam belajar terutama dalam menyelesaikan soal problem solving matematika, meyakinkan diri, fleksibel, dan produktif dalam perolehan belajarnya (Scheid, 1993). Halpern (Livingston. 1997) dalam tulisannya menyebutkan CSI didasarkan pada sebuah asumsi bahwa terdapat strategi kognitif yang dapat diidentifikasi, yang sebelumnya dipercaya digunakan hanya oleh siswa yang terbaik dan terpandai tapi sebenarnya dapat juga dipikirkan juga oleh kebanyakan siswa. Penggunaan strategi ini telah dihubungkan dengan keberhasilan belajar (Borkowski, Carr, & Pressley, 1987; Garner, 1990).
Strategi metakognitif harus langsung diajarkan kepada siswa setelah siswa memperoleh sebuah pemahaman terhadap konsep atau kemampuan matematika. Guru dapat menjadi model bagi siswa untuk mengembangkan strategi kognitif ini, dan ini biasanya sangat efektif untuk meyakinkan siswa dapat mengerti bagaimana itu bekerja, bagaimana menggunakannya, dan dalam keadaan bagaimana itu harus digunakan. memberi kesempatan siswa untuk berlatih menggunakan strategi metakognitif adalah juga komponen yang sangat penting dari pengajaran strategi metakognitif. Selain itu membuat poster-poster mengenai beragam strategi metakognitif yang ditempelkan di dinding kelas juga akan sangat membantu untuk menyajikan isyarat visual. Strategi ini selain dapat ditempatkan pada dinding kelas atau papan buletin; strategi ini dapat juga ditulis pada buku individu siswa.
Berikut beberapa tips penting untuk guru yang ingin mengimplementasikan strategi metakognitif pada siswa di kelasnya.
1. Strategi harus diimplementasikan setelah siswa memperoleh pengertian/pemahaman mengenai konsep atau skill.
2. Strategi harus diajarkan menggunakan pengajaran secara sistematik yang jelas.
3. Strategi harus memberi siswa kesempatan berlatih secara mandiri, dimana, pada gilirannya, mereka akan membangun secara lancar dan menguasai kecakanan itu secara mandiri.
4. Strategi terutama akan sangat membantu untuk siswa yang memiliki kesulitan bergerak dari sebuah level pemahaman representasional ke level pemahaman abstrak karena strategi itu mengharuskan siswa secara independen melatih pemecahan masalah pada level abstrak. Melakukan pengulangan kerja sering dibutuhkan siswa untuk menetapkan sebuah kerja memorinya terhadap konsep atau skill yang sedang dipelajari.
5. Siswa menggunakan dan menampilkan sesuatu menggunakan strategi yang harus bisa dimonitor, baik oleh guru maupun dirinya sendiri. Strategi siswa memang hanya ada dalam pikiran siswa sendiri. Oleh sebab itu penting bagaimana seorang guru dapat membimbing mereka untuk menyertakan atau menggunakan strategi yang dipilih siswa sendiri dalam memecahkan masalah matematika, itulah kuncinya
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang di urakan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut
• Metakognisi itu berisi pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada bagaimana seseorang memeroleh pengetahuan tentang proses kognitif, yaitu pengetahuan yang dapat digunakan orang tersebut untuk mengontrol proses kognitifnya.
• Aktivitas metakognitif sebenarnya merupakan dua proses kognitif yang mendasar yang muncul pada saat bersamaan ketika seseorang memanfaatkannya, yaitu: memonitor peningkatan/kemajuan selagi seseorang itu belajar, dan pada saat yang sama seseorang itu juga membuat pengubahan dan adaptasi strateginya ketika dia merasa dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak benar.
• Metakognisi adalah sesuatu yang berkenaan dengan refleksi diri, tanggungjawab pribadi dan inisiatip seperti halnya seseorang mempersiapkan tujuan dan memenej waktu dalam bekerjanya.
• Kaitan antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis (critical thingking).
• Berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan problem solving matematika, karena permasalahan non-rutin yang biasa muncul dalam tugas-tugas berbentuk problem solving menuntut kecakapan berpikir tingkat tinggi.
• Untuk menguasai kecakapan problem solving matematika dibutuhkan penguasaan sekurang-kurangnya 5 aspek, yaitu; kemampuan memahami konsep matematika, kemampuan dalam menguasai skill algoritma matematika, kemampuan proses bermatematika, mampu bersikap yang positif terhadap matematika dan kemampuan metakognisi.
• Siswa yang diberi kesempatan dan latihan untuk mengembangkan kemampuan metakognitif akan menjadi penyelesai soal yang baik. Mereka menjadi berkemampuan mengidentifikasi proses berpikirnya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Oleh karena itu, Memberikan siswa cara dimana mereka dapat memonitor belajar dan proses berpikir mereka sendiri dapat menjadi sesuatu yang efektif dalam membantu mereka menjadi penyelesai masalah yang lebih baik dan akhirnya menjadi pemikir yang lebih baik untuk setiap tugas matematika.
• Strategi metakognitif harus langsung diajarkan kepada siswa setelah siswa memperoleh sebuah pemahaman terhadap konsep atau kemampuan matematika. Guru dapat menjadi model bagi siswa untuk mengembangkan strategi kognitif ini.
• Cara mengajarkan dan melatihkan kemampuan metakognitif ini dikenal dengan istilah CSI (Cognitive Strategy Instruction). CSI adalah sebuah pendekatan pengajaran yang menekankan pada pengembangan kecakapan dan proses berpikir sebagai sebagai sebuah usaha untuk meningkatkan belajar.








DAFTAR KEPUSTAKAAN



Bell, Frederick H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). Washington: Win. C. Brown Publishers

Carr, M., Kurtz, B. E., Schneider, W., Turner, L. A., & Borkowski, J. G. (1989). Strategy acquisition and transfer among German and American children: Environmental influences on metacognitive development. Developmental Psychology, 25, 765-771

Ertmer, P.A. & Newby, T.J. (1996). The expert learner: strategic, self-regulated, and reflective. Instructional Science 24: 1-24. Netherlands: Kluwer Academic Publishers [ON LINE] Tersedia: http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/metacognition/start.html (24 Feb 2007)

Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive monitoring: A new area of cognitive-developmental inquiry. American Psychologist, 34, 906-911.

Foong, Pui Yee .(2002). Using Short Open-ended Mathematics Questions to Promote Thinking and Understanding. National Institute of Education, Singapore, [ON LINE] Tersedia: http://www.math.unipa.it/~grim/ SiFoong.PDF

Garner, R. (1990). When children and adults do not use learning strategies: Toward a theory of settings. Review of Educational Research, 60, 517-529.

Gartmann, Shirley and Freiberg, Melissa. (1998) Metacognition and Mathematical Problem Solving: Helping Students to Ask The Right Questions. The Mathematics Educator. Volume 6 Number 1

Houston, Kevin, (2005). How to Think Like a Mathematician. Leeds:University of Leeds

Kramarski, Bracha et al. (2002). The Effects of Metacognitive Instruction on Solving Mathematical Authentic Tasks. Educational Studies in Mathematics. Vol. 49, No. 2

Livingston, Jennifer A (1997). Metacognition: An Overview. [ON LINE] Tersedia: http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html (24 Feb 2007)

Lobato, Joanne et. al. (2005) Initiating And Eliciting In Teaching: A Reformulation Of Telling. Journal for Research in Mathematics Education 36: 101–136, 2005. NCTM

Matlin, Margaret W. and Geneseo, Suny. (2003). Cognition (5th Ed.). New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Miles, Don et. al. (2003) Experiences With The Metacognitive Skills Inventory. 33rd ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference. November 5-8, 2003, Boulder, CO.

Mohamed, Mohini and Nai, Tan Ten, (2005). The Use Of Metacognitive Process In Learning Mathematics. The Matthemattiics Educattiion iintto tthe 21stt Centtury Projjectt. Uniiversiittii Teknollogii Mallaysiia Reform, Revolution and Paradigm Shifts in Mathematics Education. Johor Bahru, Malaysia, Nov 25th – Dec 1st 2005

Panaoura, Areti, and Philippou, George (2005) Young Pupils´ Metacognitive Abilities in Mathematics in Relation to Working Memory and Processing Efficiency. University of Cyprus, Cyprus

Price, J. (1996). President’s Report: Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603-608

Pugalee, David K. (2004). A Comparison of Verbal and Written Descriptions of Students’ Problem Solving Processes. Dalam Educational Studies in Mathematics. 55: 27 – 47. New York: Kluwer Academic Publishers

Ridley, D.S., et.al. (1992). Self-regulated learning: the interactive influence of metacognitive awareness and goal-setting. Journal of Experimental Education 60 (4), 293-306.

Scheid, K. (1993). Helping students become strategic learners: Guidelines for teaching. Cambridge, MA: Brookline Books.

Schafersman, Steven D. (1991) An Introduction To Critical Thinking [ON LINE]


Winn, W. & Snyder D. (1996). Cognitive perspectives in pyschology. In D.H. Jonassen, ed. Handbook of research for educational communications and technology, 112-142. New York: Simon & Schuster Macmillan [ON LINE} Tersedia: http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/metacognition/start.htm

_________. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan . Jakarta: DEPDIKNAS
_________, Teaching Thinking Skills. [ON LINE] Tersedia: http://education.calumet.purdue.edu/vockell/EdPsyBook/Edpsy7/edpsy7_intro.htm (24 Feb 2007)



SELAMAT DATANG DI BLOG FORUM ILMIAH GURU KAB. BATANG

Alasan saya membuka blog ini , selain tugas saya sebagai sekbid.pengembangan profesi di Forum Ilmiah Guru adalah juga sebagai salah satu wahana untuk sharing komunikasi tentang kegiatan ilmiah guru yang berkaitan langsung dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di kabupaten Batang. Mulai dari pembicaraan bagaimana pembelajaran berkualitas dilaksanakan, kegiatan MGMP dan Lesson Study, sampai pada bagaimana seharusnya guru membuat Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Baik berupa Artikel, Makalah, KTI, dan sebagainya. Dalam blog ini rencana akan saya sajikan semua Naskah PTK hasil LKTI pada kegiatan Forum Ilmiah Guru Tahun 2007 dan 2008. Demikian juga untuk kegiatan-kegiatan lain seperti Lomba Inovasi Pembelajaran, Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran, Lomba Pembelajaran Berbantuan Komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya baik yang di adakan Depdiknas, LPMP, ITSF, dan pihak-pihak penyandang dana penelitian/penggagas lomba lainnya. Saya optimis bahwa sangatlah mungkin guru-guru di kabupaten Batang nantinya mampu berkompetensi dalam kegiatan Ilmiah. Terbukti selama dua tahun mengadakan FIG, wakil dari Batang mampu menyumbang nama harun bagi Pemerintah Kab. Batang. Peserta dari Batang banyak yang memperoleh kejuaraan di tingkat Propinsi. Semua berkat kerja sama dan kinerja yang optimal dari guru dan pengurus FIG Kab. Batang. Trimakasih anda ikut berkarya, mari kita bangun Batang tercinta ini.